Bagikan artikel ini :

Doomer Versus Rasul Paulus

Jika Anda sering berselancar di dunia internet, khususnya jika Anda adalah generasi millennial seperti saya, Anda mungkin pernah mendengar istilah doomer. Istilah ini berasal dari kata doom yang berarti “malapetaka” atau “kehancuran.” Doomer adalah sebuah julukan di jagat maya yang disematkan kepada individual yang memiliki pandangan yang kelewat pesimis terhadap dunia ini. Karakter doomer digambarkan sebagai sesosok anak muda yang selalu muram, memakai sweater hitam, tidak punya pekerjaan, tinggal di kamar yang sempit dengan pencahayaan yang sangat minim, mengandalkan bir dan rokok sebagai satu-satunya hiburan, selalu menghabiskan waktu di depan komputer, berjalan pada malam hari, dan pada umumnya berakhir dengan bunuh diri. Singkatnya, doomer adalah mereka yang nihilis dan menjalani hidup yang hampa.

Mungkin Anda berpikir bahwa doomer adalah sebuah ejekan. Namun kenyataannya, banyak millennial yang mengaku bahwa dirinya adalah doomer. Doomer menjadi sebuah fenomena yang banyak ditemukan pada kawula muda, bahkan merefleksikan keadaan masyarakat modern zaman ini. Hal ini disebabkan karena generasi millennial dan Gen-Z yang banyak menghabiskan waktu di internet dipaparkan dengan informasi yang mengerikan seputar permasalahan global, misalnya seperti teori konspirasi yang berputar-putar soal masalah kehancuran ekologis, kekuasaan perusahaan-perusahaan besar terhadap dunia bisnis, individu-individu berpengaruh yang mengatur politik di balik layar, pembuatan senjata biologis, senjata biologis yang menyamar sebagai ‘vaksin’, dan sebagainya. Semua ini berujung pada kepunahan manusia. Padukan hal ini dengan quarter-life crisis, yakni kondisi psikologis yang dialami orang berusia 20-an yang pada umumnya bergumul dengan pengangguran menahun, putus cinta mendalam, dan ketakutan akan masa depan. Akhirnya, banyak anak muda yang hidup tanpa harapan dan tujuan hidup. “Untuk apa berjuang hidup, jika toh kita semua akan mati?” Begitu berpengaruhnya budaya ini, sampai-sampai menjadi sebuah trend musik tersendiri. Lagu-lagu galau ini memiliki lirik yang menunjukkan keputusasaan dan perasaan apatis terhadap dunia ini. Tidak heran angka bunuh diri makin tinggi.

Anehnya, fenomena ini terjadi justru di masa-masa kemajuan teknologi yang sangat pesat. Kemajuan ini membuat hidup manusia menjadi makin nyaman. Kita tidak perlu lagi berburu dan bertaruh nyawa untuk sepotong daging. Kita tidak perlu hidup nomaden dan tiap saat bertarung dengan cuaca yang buruk. Sebagian besar dari kita tidak perlu membajak sawah atau menjagal ternak untuk makan. Kita hampir selalu terlindung di bawah atap. Jika lapar, kita tinggal memencet tombol untuk memesan makanan di aplikasi-aplikasi ojek online.

Bandingkan keadaan kita, khususnya anak-anak muda yang menyematkan julukan doomer untuk dirinya sendiri, dengan keadaaan salah satu rasul paling terkenal, yakni Rasul Paulus. Sama seperti doomer, Rasul Paulus berada di kamar yang sempit dengan pencahayaan yang sangat minim seketika menulis Surat Filipi. Rasul Paulus ada di penjara. Doomer masih memiliki komputer, rokok, dan bir untuk menemaninya, tetapi Rasul Paulus tidak memiliki apapun. Namun, manakala doomer selalu muram, Rasul Paulus selalu bersukacita. Kata “sukacita” muncul 16 kali di sepanjang surat Filipi. Ia mengatakan kepada jemaat Filipi, “bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: bersukacitalah!” (Fil. 4:4, bandingkan dengan Fil. 3:1).

Rasul Paulus memiliki segala alasan untuk menjadi doomer. Ia kehilangan hidup yang nyaman dan berprestise ketika ia meninggalkan kehidupannya yang lama sebagai orang Farisi dan menjadi pengikut Kristus. Di bawah kekaisaran Roma yang mengontrol segala aspek hidup manusia, orang-orang Kristen dianiaya. Orang-orang sebangsanya, orang-orang Yahudi, ikut memusuhinya. Bahkan di antara orang Kristen sendiri, ia berkali-kali harus berhadapan dengan pangajar sesat. Di sebuah surat ia menuturkan penderitaannya sepanjang pelayanannya (2 Kor. 11:23-27). Seluruh dunia seolah-olah memusuhi Paulus.

Di dalam Surat Filipi, ia mengatakan bahwa ada pemberita-pemberita Injil yang melakukan pelayannnya dengan motivasi yang tidak benar, yakni untuk memperberat bebannya selama di penjara. Namun, apakah Paulus menjadi pesimis dan berpikiran negatif terhadap pemberita-pemberita Injil ini? Tidak! Kenyataannya ia malah mengatakan, “tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita” (Flp 1:18). Paulus bisa melihat kebaikan di tengah penderitaan yang dialaminya.

Mengapa Rasul Paulus tidak menjadi doomer di tengah kondisi yang mengerikan ini? Dalam nasihatnya kepada jemaat Filipi, ia membeberkan rahasia sukacitanya. “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kami lihar padauk, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Fil. 4:8-9). Ini adalah rahasia sukacita Paulus. Ia memiliki sebuah cara pikir yang berbeda dari doomer, bahkan dari orang-orang pada umumnya!

Cara pikir Rasul Paulus bukan sekedar positive thinking atau optimisme yang digembar-gemborkan para motivator. Pada intinya, yang ditawarkan hanyalah rebranding dari pepatah yang tak pernah lekang waktu, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Ini memotivasi kita untuk memulai sesuatu yang baru meskipun sulit atau menerima keadaan yang berat saat ini karena semua itu akan mendatangkan keuntungan masa depan bagi kita. Memang pepatah ini sering benar, tetapi ada kalanya ini tidak terjadi. Adakalanya orang-orang tertentu mengalami penderitaan, tetapi mereka tidak menerima keuntungan apapun di masa depan. Penulis surat Ibrani mengatakan bahwa ada orang-orang yang menderita, tetapi sampai mati pun mereka tidak memperoleh apa yang dijanjikan selama mereka hidup di dunia (Ibr. 11:36-39).

Jadi, cara pikir seperti apa yang membuat Rasul Paulus tidak menjadi seorang doomer? Jawabannya adalah cara pikir yang berfokus kepada kemuliaan Kristus! Ini yang sebenarnya dikatakannya ketika ia berhadapan dengan pemberita-pemberita Injil yang bermotivasi menjatuhkannya. “Yang penting Injil diberitakan,” adalah cara pikir Rasul Paulus yang membuatnya sanggup bertahan di tengah penderitaan dan perseteruan. Tidak ada yang lebih benar, lebih mulia, lebih adil, lebih suci, lebih manis, dan lebih sedap didengar daripada Injil, dan inilah yang dipikirkannya. Ini pula yang ia nasihatkan kepada jemaat Filipi dan kepada setiap kita.

Cara pikir yang berfokus kepada Injil dan “yang penting Injil diberitakan” adalah sesuatu yang harusnya dimiliki oleh orang Kristen. Namun di dunia modern ini, kemajuan teknologi serta kenyamanan hidup yang meningkat secara ironis menyebabkan kita makin self-centered dan egois. Jika kita berfokus pada diri sendiri, lebih-lebih jika berharap kepada dunia yang tentunya akan mengecewakan kita ini, maka cepat lambat kita akan berakhir sebagai seorang doomer. Sebaliknya, ketika mengarahkan pandangan kepada Injil yang benar dan mulia, kita tidak akan putus asa arena janji-Nya “Ya” dan “Amin”.

Di tengah persebaran informasi yang gila-gilaan, baik itu berita yang benar maupun hoax, pikiran kita akan mudah sekali menjadi takut dan putus asa akan masa depan kita. Pikiran yang diisi dengan hal-hal inilah yang akan menjadikan seseorang doomer. Bagaimana dengan kita? Apakah kita mengizinkan informasi-informasi ini memenuhi kepala kita, atau apakah kita mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang benar, mulia, adil, suci, manis, dan sedap didengar?*(DBO)