Bagikan artikel ini :

Double-Minded

William Barclay [Injil Matius Pasal 1-10. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995] memberikan pemahaman mendalam tentang tempat “hamba” di dalam budaya dunia timur tengah kuno, dan mengaitkan pemahaman tersebut dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen.

Pertama, di hadapan hukum hamba bukanlah manusia yang berpribadi melainkan seperti benda. Seorang hamba sama sekali tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri. Tuannya bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap si hamba. Di hadapan hukum seorang hamba adalah suatu alat yang hidup atau bernyawa. Tuannya dapat menjualnya, menghukumnya, memukulnya, membuangnya, bahkan membunuhnya. Tuannya memperlakukan dia sama seperti ia memperlakukan semua benda dan harta miliknya yang lain.

Kedua, hamba tidak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri. Setiap saat dalam hidupnya adalah milik tuannya. Di dunia modern seperti sekarang ini berlaku pengaturan jam kerja dalam jumlah tertentu, dan di luar jam kerja tersebut orang bisa bebas mempergunakan waktu yang ada. Waktu di luar jam kerja adalah waktu milik orang itu sendiri. Orang bisa mengisi waktunya dengan berbagai kegiatan atau memperkembangkan bakat dan minatnya sendiri. Dia mungkin bekerja sebagai penjaga kantor pada jam-jam kerja, tetapi di luar jam kerjanya dia mungkin seorang pemain sepak bola yang baik. Dia mungkin menghayati hidup yang sesungguhnya justru dengan sepak bola tersebut dan bukan pada jam kerja yang mengikatnya. Mungkin ada juga orang lain yang bekerja sebagai buruh pabrik pada jam-jam kerja, tetapi di luar jam tersebut dia memimpin suatu yayasan sosial yang sangat giat. Mungkin di dalam kegiatan sosial itulah dia menemukan kebahagiaan penghayatan hidup sepenuhnya, di mana dia bisa menyatakan kepribadiannya yang utuh. Tetapi tidak demikian dengan keadaan para hamba zaman dahulu di timur tengah kuno. Para hamba itu sama sekali tidak punya waktu bagi dirinya sendiri. Jam kerjanya adalah sama dengan jam hidupnya. Dan karena seluruh hidupnya adalah milik tuannya, maka seluruh waktunya pun adalah milik tuannya. Dia adalah milik tuannya dari pagi sampai dengan pagi lagi.

Begitulah juga hubungan kita dengan Allah. Di sini kita tidak mempunyai hak apa-apa atas diri kita. Allah adalah pemilik tunggal yang mutlak atas seluruh hidup kita. Kita tidak boleh bertanya, “Apa yang ingin aku lakukan?” Tetapi kita seharusnya selalu bertanya, “Apa yang Allah ingin aku lakukan?” Kita tidak dapat berkata, “Aku akan mengerjakan apa yang Allah kehendaki aku kerjakan” dan pada waktu yang lain mengatakan, “Aku akan mengerjakan apa yang aku kehendaki”. Tidak ada waktu sama sekali bagi orang Kristen untuk tidak menjadi Kristen. Tidak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk bisa melonggarkan norma-norma kristianinya, seperti kalau dia sedang ada di luar jam kerja. Pelayanan kepada Allah secara sepenggal-sepenggal dan sewaktu-waktu tidaklah cukup. Menjadi orang Kristen berarti menjadi orang yang hidup secara kristiani sepanjang waktu dan di mana saja, lahir dan batin. Di dalam kekristenan tidak ada tempat bagi pendapat yang mengatakan bahwa seseorang bisa Kristen pada waktu dan tempat tertentu, sedangkan pada waktu dan tempat yang lain berhenti dari Kristen. Allah sendiri yang menghendaki agar orang Kristen benar-benar menjadi Kristen secara luar-dalam, kapan saja dan di mana saja.

Orang yang hidup parsial dan dikotomis, Alkitab katakan sebagai orang yang mendua hati [double-minded, renungkan beberapa ayat Alkitab berikut: Mat. 6:24, 23:25-28; Luk. 11:39-40, 16:13; 1 Kor. 10:21; 1 Tim. 3:8; Yak. 1:8, 4:4; 1 Yoh. 2:15-17; Wah. 3:15-18; 1 Sam. 7:3; 1 Raj. 18:21; 2 Raj. 17:33; Mzm. 12:2-3; Ams. 25:26; Yes. 29:13; Hos. 10:1-2]. Pemazmur mengatakan, “I hate double-minded men … Menjauhlah dari padaku, hai penjahat-penjahat; aku hendak memegang perintah-perintah Allahku” [119:113-115]. Itu sebab penulis Kitab Yakobus mengajak orang yang seperti ini untuk mendekat kepada Allah dan bertobat, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa, dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati / double-minded!” [4:8].

Soli Deo Gloria. [Ar2]