Bagikan artikel ini :

Empat Kasih Dalam Perjamuan Kudus

Gereja Protestan mengenal dua macam sakramen, yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Baptisan adalah sebuah sakramen yang mengawali perjalanan orang percaya dalam kehidupan imannya sebagai murid Kristus di tengah komunitas umat Tuhan (Mat. 28:19-10). Perjamuan kudus adalah sebuah sakramen yang terus menerus dilakukan orang percaya seumur hidupnya untuk mengingat karya penebusan Kristus (1Kor. 11:17-34). Keduanya menjadi alat anugerah yang disediakan Allah untuk menguatkan iman orang percaya, sebagai tanda dan meterai akan perjanjian anugerah Allah dengan orang percaya.

Di dalam pelaksanaan di gereja, perjamuan kudus biasanya dilakukan dengan suasana khidmat karena kita menyadari seberapa besarnya dosa kita dan betapa besar anugerah-Nya yang menyelamatkan kita, bahkan mengundang kita makan semeja dengan Dia untuk menerima kuasa dan kasih-Nya. Kekhidmatan juga muncul karena kita diminta untuk fokus kepada dosa dan pertobatan sebelum menerima perjamuan kudus dan tentu saja dosa bukan sesuatu untuk dijadikan mainan atau bahan guyonan. Aura kesakrakalan yang meliputi pelaksanaan perjamuan kudus sungguh dapat dimengerti. Namun demikian, ada aspek lain yang hilang jika kita terlalu menekankan pada aspek kekhidmatan. Aspek itu akan membawa kita lebih menyadari bahwa perjamuan kudus bukan sekadar ritual tetapi menjadi penggerak emosi kita yang terdalam dan membawa komitmen luas dalam kehidupan melalui perjamuan kudus. Aspek itu adalah kasih. Ada beberapa macam aspek kasih yang terlibat dan dapat dirayakan ketika kita mengikuti perjamuan kudus dengan segenap hati.

Kasih pertama yang dirayakan adalah kasih Allah kepada kita (Yoh. 3:16, 1Kor. 11:24-25). Inilah yang memungkinkan kita untuk merayakan aspek-aspek kasih yang lain. Setidaknya ada dua aspek kasih Allah yang dirayakan pada perjamuan kudus. Yang pertama adalah kasih yang diberikan Kristus melalui pengorbanan-Nya bagi manusia berdosa supaya setiap manusia yang percaya kepada-Nya dapat diselamatkan. Inilah kasih terbesar yang diberikan Allah dan diterima manusia. Ini kasih yang tak dapat dimengerti akal sehat, sebab ini dilakukan-Nya ketika kita masih berdosa dan memberontak kepada Dia (Rm. 5:8). Kristus melakukannya tanpa meminta syarat apapun dari kita karena memang kita tidak mampu berkontribusi untuk keselamatan kita sendiri; kita hanya menerima karya Kristus tersebut (Ef. 2:8-9). Pada waktu perjamuan, ingatan akan kasih ini akan membawa ucapan syukur yang amat besar dari dalam hati kita kepada Allah.

Aspek kasih Allah kepada kita yang kedua adalah melalui panggilan-Nya terus menerus untuk membawa kita dalam persekutuan dan kesatuan yang lebih mendalam melalui perjamuan kudus. Dia memerintahkan kita menjalankan perjamuan kudus untuk menjadi saluran anugerah-Nya yang khusus dan mengingatkan kita akan kasih dan penyertaan-Nya di sepanjang hidup kita. Melalui perjamuan kudus kita diingatkan bahwa kita tidak hidup sendirian tetapi bersama saudara seiman lainnya. Dia juga mengingatkan kita untuk selalu menjadi berkat bagi dunia, sekaligus memberikan pengharapan pasti akan sukacita dan kemuliaan yang menantikan kita di akhir zaman. Dia terus menerus memanggil kita seumur hidup untuk makan semeja dengan-Nya dan menerima makanan rohani dari-Nya. Ketika kita menyadari kasih Allah yang seperti ini, hati kita akan dipenuhi dengan rasa sukacita sekaligus kekuatan untuk menjalani hidup di dunia (Flp. 4:13).

Kasih kedua yang kita rayakan adalah kasih kepada sesama orang percaya. Pada kehidupan komunitas Kristen mula-mula, sangat mungkin bahwa perjamuan kudus adalah bagian yang terkait langsung dengan perjamuan kasih di dalam komunitas itu. Ini dapat terlihat dari surat Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 11:20-22 yang menegur jemaat di Korintus karena mereka makan dengan tidak peduli kepada orang lain sehingga ada jemaat yang kelaparan dan ada yang sampai mabuk. Hal ini mengindikasikan ada makanan dan minuman nyata selain dari roti dan anggur yang menjadi simbol perjamuan kudus. Makanan dan minuman ini dinikmati beramai-ramai sebagai sebuah perjamuan kasih atau love feast (bdk. Yudas 12). Di bagian akhir perjamuan kasih baru dilakukan perjamuan kudus. Jadi perjamuan kudus dilakukan dalam konteks komunitas yang ditebus, yang saling mengasihi dan saling memberi. Di masa kini, sekalipun biasanya perjamuan kudus diadakan tanpa didahului perjamuan kasih, perhatian kepada sesama jemaat, siapapun dia dan dari latar belakang atau strata sosial manapun, perlu diingatkan & terus menerus dibangun melalui perjamuan kudus. Itulah juga sebabnya perjamuan kudus tidak pernah bisa dilakukan sendirian, tetapi selalu ada aspek komunalnya. Hal ini mendorong kita untuk terus menyadari bahwa kita adalah bagian anggota tubuh Kristus yang sama2 menjadi musafir dalam perjalanan iman. Kesadaran akan kesatuan dan kasih ini akan mendorong kita menikmati persekutuan dan saling membagi kasih dan perhatian kepada sesama.

Kasih ketiga di dalam konteks perjamuan kudus adalah kasih kita kepada Tuhan. Kasih ini diungkapkan melalui komitmen untuk menjalani kehidupan yang lebih kudus dan berkenan kepada Tuhan sebagai respon atas kasih Allah kepada kita. Jika memang kita telah mengalami, merasakan dan dapat bersyukur atas kasih Tuhan yang telah menyelamatkan kita dari kubangan dosa dengan harga sangat mahal, tentunya kita tidak ingin lagi hidup dengan sembarangan berbuat dosa. Hidup kita telah menjadi milik Kristus (2Kor. 5:15) dan kita harus memuliakan Dia dengan setiap aspek hidup kita (Kol. 3:23). Kita akan berusaha hidup lebih mengikuti kehendak Tuhan karena itulah yang menyenangkan hati-Nya. Di dalam upaya menjalankan kehidupan yang lebih menjauhi dosa, kita tahu juga penyertaan Roh Kudus yang menegur, memimpin dan memberikan kuasa kepada kita untuk berhasil. Kesadaran akan hal ini akan membawa semangat dan komitmen yang baru untuk hidup lebih bersungguh-sungguh.

Kasih kepada Tuhan juga dapat diungkapkan melalui pengharapan dan kerinduan kita untuk berjumpa dengan Kristus di akhir zaman nanti dan menikmati Perjamuan Kawin Anak Domba yang agung bersama seluruh orang percaya di segala zaman (Why. 19). Di dunia sekarang, nama Kristus sering dihina dan umat Tuhan sering dianiaya; kita mengenal Dia juga dengan sangat terbatas. Namun di akhir zaman nanti kita akan mendapatkan sukacita yang sempurna, bukan hanya karena kita melihat Dia muka dengan muka, tetapi bagaimana Dia mengalahkan Iblis selamanya, dan memberi bukti akan kebenaran dan keadilan-Nya yang sempurna.

Kasih keempat yang terlibat adalah kasih kita kepada orang yang belum percaya. Di dalam 1 Korintus 11:26, Rasul Paulus mengajarkan bahwa ketika kita melakukan perjamuan kudus, maka kita sesungguhnya sedang memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang kembali. Dengan perkataan lain, kita diingatkan bahwa ketika melakukan perjamuan kudus, ada unsur kesaksian kepada seluruh dunia, termasuk kepada orang belum percaya, tentang Yesus yang sudah mati bagi dosa manusia, yang kita rayakan (1Kor. 1:23). Itu juga artinya, perjamuan kudus seharusnya mendorong kita untuk memberitakan Injil lebih luas lagi kepada banyak orang, entah melalui hidup yang menjadi teladan karena kita mengasihi Dia (aspek kasih yang ketiga) atau melalui proklamasi berita Injil secara langsung melalui perkataan kita. Kita mengasihi orang yang belum percaya dan rindu agar mereka dapat diselamatkan sehingga mengalami segala macam kebaikan Tuhan dan kekayaan surgawi sebagaimana telah kita alami (Ef. 1:3, 18-19; 2Kor. 8:9).

Jadi, di dalam perjamuan kudus ada aspek khidmat karena kita memang berhadapan dengan Allah yang kudus dan menyadari begitu banyaknya dosa yang kita terus lakukan sekaligus begitu dahsyatnya pengampunan yang diberikan Tuhan kepada kita. Namun kesadaran akan kasih yang sedemikian hadir dalam berbagai bentuk melalui perjamuan kudus akan menggugah emosi, membawa sukacita dan kehangatan serta komitmen baru dalam hidup kita selama dan setelah menjalankan perjamuan kudus. Kita akan pulang dari perjamuan kudus dengan sukacita, rasa syukur yang mendalam, kasih kepada Tuhan dan sesama yang diperbarui.(TDK)