Bagikan artikel ini :

Fobo

FOBO adalah sebuah akronim masa kini yang merupakan singkatan dari “Fear of Better Option” yang berarti “Takut akan Pilihan yang Lebih Baik”. Alih-alih senang karena banyak pilihan, hal ini justru menimbulkan kebingungan dan ketakutan mengambil keputusan.

Bagaimana fenomena FOBO terjadi? Seorang psikolog Amerika bernama Barry Schwarts di dalam bukunya yang berjudul Paradox of Choice mengatakan bahwa selama ini ada asumsi, khususnya di dalam Masyarakat Barat, bahwa kesejahteraan dan penghidupan manusia akan meningkat jika kebebasan meningkat. Sehingga, untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia, kebebasan harus dimaksimalkan dengan memberikan banyak pilihan.

Asumsi inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya pilihan di masa kini, mulai dari jurusan kuliah, cara mencari penghasilan, investasi dengan 1001 macam bentuknya, bahkan pasangan hidup yang bisa dipilih secara online! Tetapi, apakah banyaknya pilihan ini membuat generasi Millenials dan Gen-Z lebih bahagia daripada generasi sebelumnya, yakni Baby Boomers dan Gen-X? Tidak! Nyatanya, banyak orang muda yang mengalami Quarter-life Crisis atau Krisis Perempat Baya. Di zaman banyak pilihan ini, justru banyak anak muda berusia 18-30 tahun yang mengalami depresi karena bingung, tidak tahu arah hidup, bahkan merasa hidupnya tidak berarti karena tidak dapat melangkah ke depan. Semua ini terjadi, karena begitu banyaknya pilihan yang diperhadapkan kepada mereka. Hal ini tentunya tidak dialami oleh generasi Baby Boomers dan Gen-X.

Jadi, Schwarts di dalam buku tersebut mengambil kesimpulan bahwa asumsi “makin banyak pilihan, kesejahteraan makin meningkat” adalah sebuah asumsi yang salah. Kenyataannya, tidak hanya banyaknya pilihan tidak menguntungkan kita, malah merugikan.

Schwarts menjabarkan 3 problem yang disebabkan oleh banyaknya pilihan dan solusi untuk problem tersebut. Problem pertama adalah Analysis Paralysis, yakni ketika seseorang lumpuh dan tidak bisa mengambil keputusan, lantas memilih untuk tidak memilih. Dengan kata lain, tidak melakukan apapun. Solusi yang ditawarkan oleh Schwarts adalah dengan mengurangi jumlah pilihan.

Problem kedua adalah High Expectation and Dissatisfaction. Sadar atau tidak, ekspektasi kita akan sesuatu berbanding lurus dengan jumlah pilihan yang diperhadapkan kepada kita. Contohnya adalah investasi. Zaman dulu, ketika pilihan investasi hanya emas atau simpan di bawah bantal, orang akan memiliki ekspektasi yang rendah terhadap pilihannya, “yah, rupanya hanya naik 1%. Tetapi nggak apa-apa. Ini lebih baik daripada simpan di bawah bantal.” Sekarang, dengan banyaknya pilihan, ekspektasi meningkat karena banyaknya pilihan, dan ini mudah membuat kita kecewa, “ternyata hanya naik 20%! Seharusnya aku investasi ini atau itu saja! Bisa untung sampai 50%!” Solusi yang ditawarkan Schwarts adalah mudah saja, selalu miliki ekspektasi rendah terhadap sesuatu.

Problem ketiga adalah Self-doubt yang berujung kepada depresi. Hal ini terjadi ketika seseorang yang telah mengambil keputusan merasa menyesal akan keputusan yang diambil dan menyalahkan dirinya sendiri. “Aku memang bodoh. Seharusnya aku tidak memilih ini.” “Aku manusia yang tidak berguna. Memilih pekerjaan yang benar saja tidak bisa.” Solusi yang ditawarkan Schwarts untuk problem ini adalah mengembangkan kepercayaan diri atau self-confidence.

Tetapi, apakah hanya ketiga solusi itu cara untuk menghilangkan problem FOBO, ketakutan akan banyaknya pilihan, dalam hidup kita? Tidak! Salomo, seorang raja yang sangat berhikmat tetapi pernah jatuh ke dalam penyembahan berhala, di akhir hidupnya menulis dalam Pengkhotbah 11:1-6 cara untuk menghadapi problem ini.

Pertama, bagaimana cara menghadapi Analysis Paralysis? Salomo dalam ayat 3-4 memperingatkan bahwa mereka yang terus-menerus berpikir, “ah, mungkin besok adalah waktu yang lebih baik untuk menabur” pada akhirnya tidak akan menuai. Demikian pula dengan mereka yang terus berpikir, “ah, mungkin pilihan yang ini adalah pilihan yang lebih baik.” Mereka tidak akan mengambil keputusan dan tidakan, dan pada akhirnya akan terjebak dalam keadaan yang serba tidak jelas. Di ayat 5, Salomo memberikan alasannya, manusia tidak bisa dan tidak akan bisa melihat masa depan, apalagi mengontrol masa depan. Mau dipikir-pikir sekeras apapun, kita tidak akan pernah tahu cara kerja Tuhan, termasuk konsekuensi yang Ia izinkan terjadi dari pilihan-pilihan yang kita akan ambil.

Jadi, bagaimana solusi Salomo? Sederhana saja. Ayat 6 mengatakan bahwa solusinya adalah mengambil sebuah keputusan dengan gagah berani, kemudian menghidupi pilihan tersebut dengan sepenuh kerajinan. Ibarat orang yang sudah memilih hidup bersama seorang gadis, tidak mungkin ia terus melirik gadis-gadis lain sambil berpikir “aku akan coba cari pengganti kalau pernikahanku dengannya gagal”, kan? Sebaliknya, begitu ia memutuskan berbagi hidup dengan gadis itu, ia akan memperjuangkan pilihan tersebut. Tentu saja nasihat ini tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak boleh memiliki plan-B atau rencana antisispasi. Sebaliknya, Salomo justru mengatakan “janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari.” Maksudnya adalah, karena kita tidak tahu mana yang akan berhasil – benih yang ditabur di pagi hari atau di petang hari – maka kita sebaiknya punya rencana cadangan. Justru karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kita harus mengupayakan segalanya semaksimal mungkin. Jadilah orang yang berani dan rajin, demikian pesan Salomo.

Kedua, problem High Expectation. Salomo memberikan solusi untuk problem ini dalam ayat 2, yakni dengan cara berderma dengan sangat murah hati! “Hah? Apa hubungannya berderma dengan ekspektasi tinggi?” Ekspektasi tinggi yang timbul dari banyaknya pilihan akan membuat kita tidak mudah puas. Namun prinsip yang perlu diingat adalah bahwa kepuasan memang tidak terdapat pada pilihan itu sendiri, melainkan dengan bagaimana kita menggunakan pilihan tersebut! Misalnya, Anda salah memilih investasi sehingga Anda hanya untung 20% dibandingkan rekan-rekan Anda yang untung 50%. Namun, ketika Anda melihat orang-orang yang hidup dari belas kasihan orang lain dan menggunakan sebagian dari 20% itu untuk menolong mereka, Anda akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan melebihi mereka yang untung 50% tetapi uangnya hanya tergeletak di bank saja. Apa yang Anda anggap sebagai kebodohan dalam mengambil keputusan, ternyata dapat dipakai Tuhan untuk memberkati orang lain! Jadilah orang yang murah hati, demikian pesan Salomo.

Ketiga, problem Self-Doubt yang membawa kepada depresi. Penyesalan terjadi ketika seseorang tidak kunjung melihat hasil yang baik dari keputusan tersebut, dan penyesalan ini membuatnya menyalahkan dan mengutuki diri sendiri. Harus bagaimana sekarang? Solusi dari Salomo terdapat dalam ayat 1. Roti adalah makanan pokok pada masa itu yang melambangkan kehidupan. Melemparkan roti ke air ibarat mengambil pilihan yang beresiko tinggi, seperti misalnya memulai usaha baru, berinvestasi, membayar biaya pendidikan, bahkan membesarkan anak. Apakah seseorang akan langsung melihat upah dari pilihan dan kerja kerasnya? Tidak! Kalau meminjam istilah ekonomi, semua ini adalah “investasi jangka panjang.”

Ibarat melemparkan roti ke air, ibarat menginvestasikan hidup. Kapan hasilnya terlihat? Kapan hasilnya datang? Jawab Salomo, “engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu.” Tidak ada yang instan di dunia ini. Kalaupun ada, biasanya adalah hal-hal yang kurang baik. Terbiasa makan junk food dan es krim memberikan kenikmatan instan saat ini, tetapi mendatangkan sakit-penyakit di kemudian hari. Fitness, sebaliknya, terasa menyiksa saat ini dan hanya bisa dilihat hasilnya “lama setelah itu.” Jadilah orang yang gigih dan tekun, demikian pesan Salomo.

Adakah Anda sedang bimbang tenggelam dalam begitu banyaknya pilihan yang melumpuhkan Anda? Ingat nasihat Salomo dalam bagian ini. Beranilah melangkah dan usahakan pilihan tersebut dengan kerajinan, berdermalah dengan kemurahan hati, dan tetaplah gigih dan tekun meski buah dari pilihan tersebut belum Anda lihat saat ini.     (DBO)