Bagikan artikel ini :

God of The Future (Tuhan atas Masa Depan)

Karen Amstrong seorang penulis tentang agama-agama pernah membuat karya berjudul, “Masa Depan Tuhan” dimana ia mencoba menelaah konsepsi Tuhan dari mula kehidupan sampai kepada konteks modern. Melalui survei sejarah atas konsepsi Tuhan dari berbagai agama, Karen juga memberikan sedikit gambaran tentang kira-kira bagaimana dan hal apa yang akan menjadi fokus daripada wacana ketuhanan di masa yang akan datang. Hanya saja, ketika kita bicara tentang topik Tuhan dan masa depan, lebih tepat seseorang membahas tentang “Tuhan (atas) Masa Depan” bukan “Masa depan (dari) Tuhan”. Mengapa? Karena masa depan adalah milik-Nya. Masa depan berada dalam kedaulatan-Nya.

Masa depan bukan sebuah realitas yang tidak terdefinisikan, atau berada dalam kondisi nihil total sebab firman Tuhan jelas menyatakan bahwa Tuhan adalah yang “alfa” dan “omega” (Wahyu 1:8). Artinya, masa depan itu tidak mengkerangkai Allah tetapi Allah yang mengkerangkai masa depan. Jikalau Tuhan adalah yang berdaulat atas masa depan, di dalam iman Kristen, “takdir” (fate) tidak memiliki tempat dalam wawasan kristiani. Di dalam film seri Terminator (Terminator 2: Judgement Day), tokoh utama bernama Sarah Connor mengukir tulisan di kayu, “no fate”. Tepat sekali, ini adalah suatu pernyataan yang benar dalam iman Kristen, sebab jikalau Tuhan ada, maka takdir adalah omong kosong!

Sejarah tidak digerakkan oleh suatu “random force” atau kuasa tanpa pribadi (fate), melainkan sejarah bergerak ke depan oleh Allah. Tuntunan Tuhan yang sempurna dalam kebaikan-Nya yang merancangkan masa depan indah dan mulia bagi ciptaan-Nya, sebab yang namanya Allah yang mencipta (Creator) tidak dapat dipisahkan dari Allah yang memelihara (Sustainer). Itu sebab Amsal dapat berkata dengan yakin, “Masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak hilang” (Amsal 23:17-18). Masa depan ada, karena Tuhan ada, dan Tuhan yang ada itu adalah Tuhan atas masa depan (The God of Future).

Di zaman sekarang ini, tentu ada banyak tekanan dan kekhawatiran dalam menghadapi masa depan. Jürgen Moltmann seorang teolog Jerman dalam salah satu tulisannya pernah berkata bahwa hari-hari ini begitu banyak tekanan atas masa depan, dalam bentuk yang ia sebut dengan “pressure of progress”.

Alhasil, setiap orang selalu diperhadapkan pada pertanyaan yang menakutkan dan mengelisahkan, “what’s next?” Mungkin pertanyaan “what’s next” tersebut berkenaan dengan trend ekonomi global, mungkin soal masalah pribadi yang tidak kunjung selesai, mungkin soal sakit penyakit yang selama ini menggerogoti, atau tentang hasil penerimaan lamaran pekerjaan, dan seterusnya.

Tentu upaya manusia untuk menerka masa depan apa yang terjadi (what’s next) ada batasnya. Karena ada banyak hal yang “unexpected” – terjadi di luar nalar perhitungan kita. Ini wajar. Manusia bukan Tuhan. Futurology tentu menjadi sebuah sains yang absurd untuk dipertahankan. Maka dari itu, pertanyaan yang penting untuk ditanyakan yaitu, apa pengharapan kita ketika kita dihantui oleh pertanyaan, “what’s next” yang mengucang jiwa?

Di dalam iman Kristen jawabanya hanya satu, yaitu Tuhan, The God of Future. Di dalam Tuhan, kondisi seburuk apapun yang terjadi di masa depan, di penghujung waktu yang kita akan temukan adalah Tuhan, bukan kehampaan (“void” atau istilah dari Volaire, “nothingness”). Jika Tuhan adalah Tuhan atas masa depan, maka Tuhan-lah masa depan setiap kita yang percaya pada-Nya. Itu sebab dalam proses kita menyongsong masa depan yang Tuhan persiapkan, bagian kita adalah untuk menaati perintah-Nya dan berpegang pada Janji-Nya, sambil memandang kepada Kristus Yesus yang akan menyempunakan iman kita. Sebagaimana Ibrani 12:2 menuliskan, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” (YCT)