Haters Gonna Hate (Pembenci Akan Selalu Membenci)
Natal identik dengan sukacita. Hal ini dapat kita baca di dalam Lukas 2:8-20, yakni kisah mengenai sukacita para gembala ketika para malaikat “memberitakan kabar baik”—atau dalam bahasa aslinya euangelizomai yang secara literal berarti “menginjili”—kepada mereka. Para gembala ini lantas melihat sendiri Sang Bayi yang adalah Juruselamat seluruh dunia. Jika para gembala, orang-orang dari kalangan rendah di dalam kelas sosial pada masa itu, tidak terlewatkan untuk menjadi penerima sukacita tersebut, tentulah perkataan malaikat dalam ayat 10—bahwa kelahiran Tuhan Yesus adalah kesukaan besar bagi segala bangsa—adalah benar, bukan? Kedatangan-Nya membawa sukacita bagi semua orang tanpa terkecuali!
Tetapi, benarkah demikian?
Bagaimana dengan Herodes yang dikisahkan malah menjadi resah dan paranoid Sang Raja baru akan merebut kerajaannya (Mat. 2:3, 13, 16)? Bagaimana dengan sebagian besar orang-orang Yahudi yang tiga puluh tahun kemudian menolak-Nya ketika Ia datang sebagai milik kepunyaan-Nya (Yoh. 1:11)? Bagaimana dengan imam-imam kepala dan orang-orang Farisi yang mengatakan, “Ia adalah ahli waris, mari kita bunuh dia, supaya warisannya menjadi milik kita” (Mat. 21:33-46)? Bagaimana dengan mereka? Bukankah mereka tidak menganggap ini sebagai berita sukacita? Jadi, bagaimana mungkin kedatangan Tuhan Yesus adalah “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (Luk. 2:10)?
Anda yang mengikuti pop culture, misalnya Anda menjadi fans dari boyband atau girlband Korea tertentu, atau selebriti, aktor, influencer, atau bahkan pejabat tertentu, tentunya akan tahu dengan istilah haters. Haters, secara literal artinya pembenci atau orang yang membenci, adalah sekelompok orang yang melontarkan ujaran kebencian, fitnah, bahkan bersama-sama merencanakan untuk berbuat ulah yang kadang menyebabkan rusaknya reputasi orang terkenal tersebut, biasanya secara terorganisasi.
Mengapa para haters melakukan tindakan yang demikian merugikan, padahal tidak ada untungnya sendiri untuk mereka? Karena haters pada umumnya adalah orang-orang yang iri akan keberhasilan orang lain sehingga energinya mereka gunakan, bukan untuk memotivasi dan membangun diri sendiri, malah untuk menjatuhkan orang lain. Apakah perilaku ini akan berubah ketika orang yang dibenci tersebut melakukan kebaikan? Tidak. Sebaliknya, kebencian tersebut malah makin menjadi-jadi.
Jadi, apa yang harus dilakukan kepada kelompok haters? Jawabannya adalah: abaikan saja. Haters gonna hate—“pembenci akan selalu membenci”—demikian kata orang. Tidak peduli apapun yang orang itu lakukan, mereka toh akan membencinya. Satu-satunya cara untuk memadamkan kebencian haters adalah membuat orang yang dibenci tersebut mengalami kegagalan, kehilangan pamor, dan sebagainya. Jadi, daripada stres sendiri memikirkan segelintir orang-orang yang sirik, lebih baik dianggap tidak ada saja.
Salah satu contoh kasus aksi haters adalah ketika Taylor Swift mengadakan semacam voting sekolah yang mana sekolah yang mendapat suara tertinggi akan mendapatkan hadiah berupa donasi, berikut konser live dari penyanyi Amerika tersebut. Kesempatan ini dipakai para haters untuk mengerjai Taylor Swift. Mereka secara berbondong-bondong memberikan suara kepada Sekolah Horace Mann, sekolah yang khusus menangani murid-murid yang tuli dan mengalami gangguan pendengaran. Apa yang dilakukan Taylor Swift? Meski tidak jadi membawakan konser di sekolah tersebut, Taylor Swift memberikan donasi dari kantong pribadinya sendiri, yang kemudian mendorong beberapa sponsor lain untuk menyumbang dalam jumlah besar. Bagaimana dengan anak-anak tuli yang sebenarnya ingin bertemu Taylor Swift secara langsung, meski tidak dapat mendengarnya? Tidak masalah. Taylor Swift memberikan tiket gratis konsernya di Boston kepada siapa saja murid Sekolah Horace Mann yang ingin menghadirinya.
Respon yang cukup bijaksana dari Taylor Swift dan tim penyelenggara. Namun, para haters ini tetap saja mencemooh tindakan Taylor Swift yang dianggap seolah-olah melarikan diri dari janji dengan memberikan donasi, seolah-olah uang bisa menyelesaikan semua masalah. Intinya adalah, tidak peduli apapun yang Taylor Swift lakukan, para haters tetap saja akan membencinya. Haters gonna hate.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal. Bagaimana mungkin kabar kelahiran Sang Juruselamat adalah “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” jika sekelompok orang menganggapnya sebagai kabar buruk? Lebih-lebih lagi, ini adalah kabar buruk bagi kebanyakan orang-orang Yahudi sendiri, orang-orang yang sebangsa dengan Tuhan Yesus! Meskipun murid-murid-Nya yang pertama berbangsa Yahudi, perlu diingat pula bahwa mayoritas orang-orang Yahudi menolak-Nya, bahkan sampai saat ini. Kalaupun mereka pernah merasakan kesembuhan, jamahan tangan-Nya, serta roti yang Ia berikan untuk mereka, tetap saja mereka hanya menerima berkat tersebut tetapi menolak-Nya, seperti tanah berbatu-batu yang menerima dengan gembira, tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebenar saja (Mat. 13:20-21). Itulah sebabnya hanya dalam sepekan saja mereka berbalik dari “Hosana!” (Mrk. 11:9) menjadi “salibkan Dia!” (Mrk. 15:3). Jadi, apanya yang kabar baik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak usah jauh-jauh melihat ke buku teologi ini-itu maupun memakai teori psikologi ini-itu. Jika hubungan Allah dengan manusia diibaratkan dengan istilah pop culture, semua manusia adalah haters Allah. Bagaimana tidak? Manusia telah jatuh ke dalam dosa dan selalu di dalam pemberontakan dengan Allah (Rom. 1:18-32; 3:9-18,23). Sejak manusia pertama memilih untuk memetik buah pengetahuan yang baik dan jahat, respon alamiah manusia ketika berhadapan dengan Allah adalah membenci-Nya. Apapun yang Allah lakukan, entahkah menunjukkan kasih atau menghukum, entahkan memberikan berkat maupun memurkai, manusia akan tetap membenci-Nya dan “menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dpuji selama-lamanya” (Rom. 1:25). Jadi, tidak usah heran ketika Herodes, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, serta mayoritas orang Yahudi justru menolak-Nya. Justru respon seperti ini adalah hal yang natural dari manusia berdosa.
Jika demikian, apakah ada orang yang dapat sungguh-sungguh bersukacita karena kedatangan-Nya? Jawabannya adalah ya. Memang, secara alamiah manusia tidak akan bisa bersukacita dan menyambut kehadiran Sang Firman yang menjadi daging. Secara alamiah manusia dalam keberdosaannya akan menolak-Nya. Secara alamiah manusia adalah haters Allah. Tetapi ketika anugerah Allah menjamahnya lewat Roh Kudus yang melahirbarukan dirinya, saat itulah seseorang dapat menerima kedatangan Sang Juruselamat. Ia merasakan sukacita tersebut dan berubah dari sikapnya sebagai haters. Itulah sebabnya sukacita adalah buah Roh. Artinya, sukacita adalah buah yang dihasilkan seseorang ketika Roh Kudus telah ada di dalam hatinya. Sukacita bukan sekedar suatu perasaan yang bisa manusia buat-buat sendiri, bukan sekedar ‘gembira’ karena menerima berkat-berkat dari Allah. Sukacita yang sejati bertahan dalam segala keadaan, apapun yang terjadi, karena ia tahu Allah selalu besertanya.
Itulah sebabnya justru para gembala miskin yang bersukacita. Ketika mereka pulang, mereka tetap menjadi gembala, kalangan orang-orang rendahan dan papah. Kondisi finansial dan struktur sosial mereka tidak berubah. Besok mungkin mereka akan dimarahi dan dipotong gajinya oleh pemilik domba-domba yang mereka urus karena mereka meninggalkan kawanan domba yang jadi tanggung jawab mereka. Tapi dlm semua keadaan itu, mereka tetap bersukacita dlm Allah yang menyelamatkan mereka (Hab. 3:17-19), karena mereka tahu Ia kini beserta dengan umat-Nya (Mat. 1:23).
Tidak hanya terbatas kepada para gembala, kelahiran Sang Juruselamat adalah “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” karena dari setiap suku bangsa dan bahasa, Allah memilih orang-orang yang akan dikaruniai-Nya anugerah untuk percaya dan menerima Anak-Nya dengan sukacita. Jadi, bagaimana dengan kita yang terpisah 2000 tahun dan bermil-mil jauhnya dari kisah kelahiran Tuhan Yesus? Adakah kita merasakan sukacita ketika diingatkan lagi tentang kabar “kesukaan besar untuk seluruh bangsa” ini? Jika kita telah kehilangan kasih yang mula-mula (Why. 2:4) dan menjadi suam-suam kuku (Why. 3:16), marilah kita meminta Roh Kudus memberikan kembali sukacita dalam hati kita.*(DBO)