Bagikan artikel ini :

Hikmat Manusia Dan Hikmat Dari Tuhan

Dalam pemahaman umum, hikmat atau kebijaksanaan sangat diperlukan dan dicari untuk menjalani kehidupan di dunia dengan baik, membawa keberhasilan dan bukan penderitaan. Ada banyak kata bijak dan cerita inspirasi dari seluruh dunia yang bertebaran melalui buku maupun sosial media. Pada masa sebelum pandemi, ada banyak pula motivator di dunia maupun tanah air yang pengajarannya ditunggu banyak orang. Manusia membutuhkan sesuatu yang akan memotivasi hidup, mendorong kemajuan diri dan membawa perubahan menjadi lebih baik. Hal ini menjadi salah satu faktor pembawa kemajuan dunia tetapi juga menjadi pendorong kehancuran sebagian dunia. Misalnya, kata-kata penuh inspirasi dan propaganda dari Hitler dan Nazi Jerman membakar banyak rakyat Jerman masa itu untuk mendukungnya namun semangat untuk berubah, rajin belajar dan bekerja juga menjadi pendorong kemajuan dunia. Hikmat dari dunia semacam ini sangat terbatas, saling berkontradiksi sebab didapat dari sumber yang terbatas, yakni ciptaan dan diolah oleh manusia yang berdosa, yang berusaha mencari Allah tetapi tidak mampu menemukannya, apalagi memuliakan Allah. Alkitab mengatakan bahwa hikmat dunia semacam ini adalah sebuah kebodohan bagi Allah (1 Korintus 3:19) dan semua rancangan orang berhikmat dunia adalah kesia-siaan (1 Korintus 3:20).

Berbeda dengan hikmat dunia, hikmat yang berasal dari Tuhan memiliki kualitas yang sangat berbeda. Hikmat dari Tuhan berasal dari Allah Pencipta langit dan bumi, Sosok yang mahatahu, tidak terbatas, mahakuasa dan mahakasih. Orang yang memiliki hikmat dari Tuhan berarti memiliki sumber yang tertinggi untuk menjalani kehdupan dengan benar, kudus dan memuliakan Allah. Semua yang superlatif menjadi gambaran dari orang yang memiliki hikmat dari Tuhan. Memiliki hikmat dari Tuhan berarti memiliki kemampuan untuk memandang dan menjalani kehidupan dari perspektif Tuhan sehingga bisa hidup dengan baik, kudus dan memuliakan Dia.

Dari manakah hikmat dari Tuhan ini bisa kita peroleh? Sesuai namanya, hikmat dari Tuhan adalah pemberian Allah yang diperoleh secara bertahap melalui perjalanan orang percaya bersama Allah. Yang paling dasar bagi seseorang untuk mendapatkan hikmat ini adalah takut akan Tuhan (Amsal 9:10). Maksudnya adalah kita perlu untuk memiliki hati yang bertekad untuk menaati, menghormati, memuliakan Tuhan dan segera bertobat ketika kita gagal untuk melakukan hal itu. Itu artinya sebuah kehidupan yang berorientasi kepada Tuhan. Ini hanya mungkin ketika seseorang telah ditebus oleh Kristus dan memiliki hidup yang baru. Hanya orang yang telah lahir baru yang memiliki kapasitas untuk mencari segala sesuatu tentang Tuhan.

Sumber utama hikmat dari Tuhan adalah Firman Tuhan. Berulangkali di dalam Alkitab ditegaskan bagaimana Firman Tuhan memberikan hikmat bagi yang membaca dan menaatinya dengan serius (misalnya di berbagai ayat di Mazmur 119). Kata-kata Allah adalah sumber hikmat utama orang percaya. Firman Allah adalah kebenaran dan ketika ditaati akan membawa hidup yang kudus dan berbeda dari cara hidup dunia. Karena Firman Allah kekal dan berkuasa, maka kebenaran yang didapat dari Firman tersebut akan cocok untuk dijalani dalam kondisi apapun, sekalipun tidak ada yang tahu seperti apa masa depan kita.

Sumber kedua untuk memperolah hikmat dari Tuhan adalah dengan hidup bersama orang-orang yang juga memiliki hikmat tersebut dan belajar dari teladan hidup orang-orang tersebut. Firman Tuhan mengatakan, “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:10). Ketika kita hidup bergaul dengan orang-orang demikian, kita bisa memperhatikan bagaimana mereka hidup dekat dengan Tuhan dan bagaimana mereka menerapkan hikmat yang diperoleh dalam keseharian.

Sumber ketiga adalah melalui kesalahan dan dosa yang dilakukan. Ini bisa jadi agak aneh, tetapi kita memang tidak mungkin untuk selalu menjalani hidup sesuai dengan hikmat yang diperoleh. Namun sebagai orang percaya, Roh Kudus akan mengingatkan ketika kita salah jalan dan berdosa. Jika memiliki hati yang takut akan Tuhan, kita akan segera bertobat setelah ditegur, berusaha menjauhkan diri dari dosa tersebut dan tidak lagi mengulanginya. Kita belajar bahwa jalan yang sudah ditempuh ternyata tidak benar. Dengan demikian hikmat dari Tuhan akan semakin meresap dalam hidup kita.

Kita bisa mendapatkan hikmat dari berbagai sumber tersebut ketika kita meminta kepada Allah. Firman Tuhan mengatakan jika kekurangan hikmat, kita bisa minta kepada Allah yang akan memberikan hikmat tersebut (Yak. 1:5). Artinya, Allah memang senang dan selalu ingin memberikan hikmat agar anak-anak-Nya dapat hidup dengan benar. Namun sekadar memiliki hikmat tidak berarti bahwa kita selalu dapat memakainya untuk mengambil keputusan yang benar. Raja Salomo, misalnya, terkenal karena hikmatnya di masa itu. Ketika ditanya oleh Tuhan, dia tidak meminta kekayaan atau umur panjang tetapi hikmat untuk menimbang berbagai perkara. Tuhan berkenan atas permintaannya bahkan memberikan lebih dari yang diminta (1 Raja-raja 3:9-14). Namun di kemudian hari Salomo mulai menjauh dari Tuhan. Kecenderungan hatinya untuk bermegah dengan kekuasaan dan hidup dengan banyak wanita membawanya tidak taat kepada perintah Tuhan dan akhirnya membawa kehancuran hidup pribadi maupun bangsa Israel. Karena itu, bukan hanya perlu meminta dan mendapatkan hikmat, kita pun harus taat dan rindu untuk menjalani kehidupan sesuai hikmat yang diberikan Tuhan.

Apakah dengan demikian segala hikmat dari manusia tidak lagi perlu kita perhatikan? Tentu tidak demikian. Umat manusia diterangi melalui anugerah umum sehingga ada banyak hal yang baik telah dipikirkan manusia untuk dipelajari pula. Namun karena sifatnya, ada banyak hal buruk tercampur dengan hal baik, entah di dalam isi hikmat manusia maupun tujuannya. Kita tidak bisa mengandalkan hikmat manusia untuk menjalani kehidupan sebagaimana yang dikehendaki Allah karena hikmat manusia harus selalu dinilai melalui hikmat dari Tuhan. Karena itu, kita sepatutnya tidak menghabiskan terlalu banyak waktu mencari dan menggali hikmat manusia. Sebaliknya, kita perlu menghabiskan waktu dan menjalani kehidupan dengan lebih banyak mencari dan mendalami hikmat dari Tuhan: dekat dengan Tuhan, meneliti dan menaati Firman-Nya, melakukan segala hal yang akan membawa kita mengenal Tuhan dan pada akhirnya memuliakan Tuhan. (TDK)