Bagikan artikel ini :

Kasih kepada yang tidak layak

Pada jam ketiga (9 pagi) Yesus disalibkan, pada jam keenam (12 siang) kegelapan meliputi seluruh negeri itu, dan pada jam kesembilan (3 sore) Ia berseru dengan suara nyaring, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:25, 33-34). Semua penafsir sepakat bahwa Ia sedang mengutip Mazmur 22:2. Apa signifikansi dari kutipan yang diucapkan-Nya ini?

Menderita dan Ditinggalkan karena Dosa

Kita harus menerima kata-kata itu apa adanya, memahaminya sebagai seruan karena sungguh-sungguh ditinggalkan. Mazmur 22 menuliskan penganiayaan yang kejam terhadap seseorang yang tidak bersalah dan saleh. Yesus mengutip ayat 2 karena Ia sedang menggenapinya. Seruan-Nya keluar dalam bentuk pertanyaan bukan karena Ia tidak mengetahui jawabannya melainkan hanya karena teks yang dikutip-Nya memang berbentuk pertanyaan.

Calvin menjelaskan, “Jika Kristus hanya mengalami kematian secara tubuh, kematian itu tidak akan menjadi efektif … Jika jiwa-Nya tidak turut berbagian di dalam penghukuman itu, Ia hanya akan menjadi penebus dari tubuh. Ia membayar harga yang lebih besar dan lebih istimewa dengan menderita di dalam jiwa-Nya siksaan-siksaan yang mengerikan sebagai seorang yang dijatuhi hukuman dan ditinggalkan.” Cranfield menekankan bahwa Yesus mengalami, “bukan hanya suatu perasaan, tetapi suatu keadaan nyata ditinggalkan oleh Bapa-Nya.” Jadi, suatu keterpisahan yang sungguh-sungguh dan menakutkan terjadi di antara Bapa dan Anak. Keterpisahan itu diterima secara sukarela oleh Bapa dan Anak. Keterpisahan itu disebabkan oleh dosa-dosa kita dan upah yang adil untuk dosa-dosa itu. Yesus mengekspresikan kegelapan pekat yang mengerikan ini - keadaan ditinggalkan oleh Allah - dengan mengutip satu-satunya ayat Kitab Suci yang dengan akurat menggambarkannya, dan yang telah digenapi-Nya dengan sempurna.

Hampir seketika setelah seruan karena ditinggalkan itu, Yesus mengucapkan tiga perkataan lagi. Pertama, “Aku haus.” Penderitaan-penderitaan rohani-Nya yang dahsyat telah mengakibatkan penderitaan-Nya secara fisik. Kedua, “Sudah selesai” dan ketiga, “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku,” saat Ia menghembuskan napas terakhir-Nya. Seruan kedua adalah seruan kemenangan. Dalam teks aslinya, seruan ini ditulis dalam satu kata tunggal “tetelestai,” menggunakan bentuk perfect tense, berarti sudah selesai dan selamanya akan tetap selesai. Ia telah memikul dosa-dosa dunia. Dengan sengaja dan di dalam kasih yang sempurna Ia telah menanggung penghakiman menggantikan kita. Ia telah menyediakan keselamatan untuk kita, menegakkan sebuah perjanjian baru antara Allah dengan umat manusia, dan menyediakan berkat perjanjian yang paling penting yaitu pengampunan dosa. Ketika tabir Bait Suci, yang selama berabad-abad telah melambangkan keterasingan orang-orang berdosa dari Allah, terbelah dua dari atas ke bawah maka nyatalah bahwa penghalang manusia dengan Allah, yaitu dosa, telah dirobohkan oleh Allah sendiri, dan jalan masuk ke hadirat-Nya terbuka.

Tiga puluh enam jam kemudian Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Ia yang telah dijatuhi hukuman untuk kita di dalam kematian-Nya, dibuktikan ketidakbersalahan-Nya di hadapan umum melalui kebangkitan-Nya. Itu adalah pernyataan yang menentukan dari Allah bahwa Ia tidak mati dengan sia-sia. Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib.

Tiga Kebenaran diungkapkan melalui Salib

Salib menuntut penerimaan terhadap tiga kebenaran: tentang diri kita, tentang Allah, dan tentang Yesus Kristus.

Pertama, dosa kita pasti luar biasa mengerikan. Tidak ada hal lain apa pun yang menyingkapkan keseriusan dosa seperti salib. Yang mengirim Kristus ke atas salib bukan ketamakan Yudas atau kedengkian para imam atau sifat pengecut Pilatus yang ingin mengelak, tetapi ketamakan, kedengkian, dan sifat pengecut kita sendiri serta dosa-dosa kita yang lain. Kristus mengambil keputusan di dalam kasih dan belas kasihan untuk memikul penghakiman atas kita dan dengan cara demikian menghapusnya.

Kedua, kasih Allah pastiamat ajaib dan melampaui segala pengertian. Allah bisa dengan sangat adil membiarkan kita menerima apa yang layak bagi kita: Ia bisa saja meninggalkan kita sendirian untuk menuai buah dari pelanggaran kita dan binasa di dalam dosa-dosa kita, tetapi Ia tidak melakukannya. Ia mengasihi kita, mengejar kita di dalam Kristus bahkan sampai kepada kesengsaraan saat Ia memikul dosa, kesalahan, penghakiman, dan kematian kita. Ini semua adalah anugerah, yaitu kasih kepada yang tidak layak.

Ketiga, keselamatan di dalam Kristus adalah sebuah karunia yang cuma-cuma. Ia membawanya untuk kita dengan harga yang mahal, yaitu dengan mengorbankan hidup-Nya sendiri, dan Ia berkata, “sudah selesai.” Tidak ada apapun yang bisa kita sumbangkan untuk keselamatan kita. Ini tidak berarti kita sekarang bebas untuk berbuat dosa dan bisa selalu mengandalkan pengampunan Allah, karena justru sebaliknya salib Kristus menjadi pendorong yang paling kuat bagi kita untuk menjalani hidup yang kudus.

Tanggapan Kita

Karena itu, mari kita merendahkan diri di kaki salib: mengakui bahwa kita telah berdosa dan tidak layak menerima apapun di tangan-Nya selain penghakiman, berterima kasih kepada-Nya karena Ia telah mengasihi kita dan telah mati untuk kita dan menerima dari-Nya pengampunan yang cuma-cuma dan sempurna.

Catatan: Ini adalah ringkasan dari salah satu topik dalam buku Salib Kristus oleh John R. W. Stott