Keraguan dan kepastian
Di dalam diri manusia masa kini, ada keinginan untuk mencari tahu jawaban yang pasti, termasuk keinginan untuk yakin bahwa kita mampu mengetahui sesuatu secara mutlak. Namun sebetulnya hanya sedikit sekali kepastian mutlak yang tersedia bagi kita.Kepastian semacam itu bisa muncul dari hukum logika, misalnya prinsip silogisme yang sudah mutlak ‘dari sononya’. Kita juga bisa yakin sekali bahwa pernyataan seperti ‘keseluruhan lebih besar daripada bagiannya’ adalah benar. Masalahnya, kemutlakan seperti itu sangat terbatas jenisnya dan tidak langsung memberi makna hidup. Sebaliknya, banyak hal yang sangat kita ingin tahu dan sangat relevan dengan hidup kita sehari-hari, tidak bisa kita ketahui dengan kepastian yang mutlak.Contohnya, kita ragu apakah bayi yang diketahui cacat dalam kandungan harus digugurkan atau tidak, apakah bentuk demokrasi dalam bernegara itu mutlak benar atau apakah Allah ada dan seperti apakah Dia jika memang ada. Semuanya tidak bisa dibuktikan dengan kepastian mutlak jika didekati hanya melalui pendekatan rasio.
Ketidakpastian dan keraguan ini bukan hanya dialami oleh orang Kristen tetapi juga semua orang dari berbagai kepercayaan, termasuk mereka yang tidak percaya ada Allah. Dalam praktiknya, orang tetap harus hidup dan mengambil keputusan meskipun dia meragukan banyak hal dan kepastian mutlak tidak diperolehnya. Dia harus hidup dengan iman, suka atau tidak suka. Hal seperti ini bisa menimbulkan ketegangan, stres bahkan depresi ketika seseorang mencoba mencari kepastian rasio atas iman yang dijalaninya.
Pertanyaan tentang dasar iman kurang kelihatan dalam hidup sehari-hari sebelum zaman reformasi gereja dan terutama sebelum abad ke-18. Sebelum masa itu, khususnya dalam masyarakat Eropa Barat, kehidupan manusia sangat diatur oleh otoritas.; Dahulu manusia ditenangkan oleh otoritas gereja. Di masa-masa awal Reformasi, otoritas Firman Allah pada umumnya tidak dipertanyakan oleh jemaat. Orang merasa yakin telah memiliki kebenaran dan tidak banyak bertanya tentang dasar keyakinan itu. Perubahan pemikiran di Barat pada abad ke-18 kemudian menjadikan orang mempertanyakan mengapa mereka harus hidup di bawah otoritas sesuatu atau seseorang yang tidak mereka cermati dengan detil sebelumnya. Model pemikiran seperti ini berlanjut sampai ke abad ke-20, ditunjang pula oleh keberhasilan ilmu dan teknologi yang sepertinya bebas otoritas, sampai saat ini.
Bagi sebagian orang, keraguan akan hal yang tidak dapat dirasakan, dilihat, disentuhpada akhirnya membawa mereka untuk bersikap masa bodoh terhadap hal-hal yang tidak seperti itu, misalnya tentang Allah, hidup setelah mati, kebenaran dan sebagainya serta menyibukkan diri pada apa yang bisa dilihat, khususnya 3 TA (harta, takhta dan wanita/pria). Kehidupan pragmatis semacam ini menolong mereka tidak terperangkap terlalu jauh dalam ketegangan jiwa. Tetapi apakah hal ini memuaskan jiwa manusia? Secara lebih spesifik, apakah hal ini akan memuaskan jiwa orang Kristen?
Ketika seseorang menjadi Kristen, dia menyerahkan hidupnya pada Tuhan Yesus berdasarkan berita yang disampaikan oleh Alkitab dengan kesaksian dan kuasa Roh Kudus. Otoritas adalah sumber keyakinannya. Dia bisa percaya, meskipun kebanyakan orang tidak menyelidiki bukti-bukti tentang kebenaran Alkitab dulu secara mendalam. Jikalau orang Kristen berani menerima Yesus berdasarkan otoritas Firman, seharusnya ia juga melanjutkan hidupnya dengan menaruh iman kepada Allah yang diberitakan oleh Alkitab itu sendiri dan kesaksian Roh Kudus yang menyertainya. Sayangnya sebagian orang Kristen hidup dengan hanya tahu sedikit tentang Firman Tuhan dan pengandalan pada Roh Kudus dan mengandalkan apa yang mereka lihat, rasakan dan sentuh, seperti dilakukan orang dunia. Tidak heran jika sebagian orang Kristen dilanda kekhawatiran, ketakutan dan keraguan.
Orang Kristen lainnya sudah menyatakan diri hidup beriman, tetapi bisa jadi imannya kurang holistik. Dalam menjalani iman, dia bukan hanya harus tahu tentang isi imannya, yakni apa yang diajarkan Alkitab (aspek notitia), tetapi juga sungguh-sungguh menerimanya dengan sukacita (aspek asensus) dan bertindak menyerahkan diri kepada pimpinan Roh Kudus untuk menjalaninya (aspek fidusia). Ketika kita menjalani hidup dengan iman demikian, keraguan tidak hilang 100% tetapi ada keyakinan dalam menghadapi apapun dan bahwa kepastian 100% suatu hari akan ditunjukkan. Karena itu, mari kita tundukkan diri pada otoritas Allah melalui Firman-Nya dan menyerahkan diri untuk dipimpin Roh Kudus. *** TDK