Bagikan artikel ini :

Landasan Iman Kristen yang Kokoh: Fakta Sejarah

Rubrik kita kali ini sangat menarik karena memasuki ranah filsafat bidang metafisik dan epistemologi ‘kebenaran.‘Apakah tolok ukur suatu ‘kebenaran’? Bagaimana kita dapat diyakinkan bahwa ‘kebenaran’ iman Kristen yang kita anut selama ini dapat dipercaya dan valid? Di dalam perjalanan misi Rasul Paulus membawa obor Injil keselamatan Yesus Kristus kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal Allah, ada suatu fenomena menarik di mana dua budaya pemahaman yang berbeda tentang ‘kebenaran’ bertemu. Konteks di mana Paulus memberitakan Injil di daratan Eropa dan Asia di abad pertama mendapat pengaruh yang kuat dari budaya dan filsafat Yunani (Helenistik) yang didominasi oleh pemikiran dari filsuf terkenal seperti Plato dan Aristotle. Relevansi kita kali ini mengharuskan kita untuk membatasi diri hanya pada pemikiran yang dicanangkan oleh Aristotle. Aristotle berpendapat bahwa ‘kebenaran’ adalah ‘mengatakan yang benar tentang apa yang benar, dan mengatakan yang tidak benar tentang apa yang tidak benar. Dengan perkataan lain, ‘kebenaran’ adalah pengungkapan yang selarasdengan ‘realita’ yang sesungguhnya dalam perbandingan satu banding satu. Sehingga, tidak ada lagi ‘kebenaran’ yang bersifat subjektif bagi segelintir orang saja. ‘Kebenaran’ yang sejati semestinya menjadi kebenaran yang objektif bagi semua orang.

Konsep Aristotle tentang ‘kebenaran’ ini memiliki kemiripan dengan Teori Korespondens tentang Kebenaran di dalam Filsafat Analitik dunia kontemporer. Pada dasarnya, teori ini mendefinisikan ‘kebenaran’ sbb: suatu proposisi dari suatu pokok pikiran merupakan ‘kebenaran’ jika, dan hanya jika proposisi itu dengan akurat mengungkapkan realita yang sesungguhnya. ‘Kebenaran’ semacam ini berdiri secara independen dari justifikasi ataupun pengharapan ‘kebenaran’ terkait. Teori saingan dari Teori Koresponden adalah Teori Koherens dan Teori Pragmatik tentang kebenaran. Di dalam Teori Koheren, ‘kebenaran’ terjadi ketika satu (atau satu set) presuposisi selaras (koheren) dengan satu (atau satu set) presuposisi lainnya; sedangkan dalam Teori Pragmatik, ‘kebenaran’ terjadi ketika sebuah presuposisi berhasil memainkan peranan penting dalam proses aktif pencarian ‘kebenaran’ terkait. Kedua teori saingan ini lemah, karena telah menggunting relasi antara ‘kebenaran’ dengan ‘realita’ yang sesungguhnya,’ dan hanya dapat digolongkan sebagai ‘kebenaran’ subjektif (opini) semata. Dengan latar belakang ini, mari kita kembali pada konteks Helenistik di abad pertama.

Secara teori orang Yunani ini ingin berpegang teguh pada ‘kebenaran’ yang berpadanan dengan ‘realita,’ (Teori Koresponden), namun secara praktik, mereka hanya mampu mengadopsi ‘kebenaran’ yang terpisah dari ‘realita’ (Teori Koheren). Akibatnya, ‘hikmat’ orang Yunani berhasil menghantar mereka hanya pada kreasi dewa-dewi Yunani yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika orang Yunani mendengar ‘kebenaran’ Injil tentang Kristus yang tersalib, mati, dan bangkit dari antara orang mati, mereka menganggapnya suatu kebodohan (1 Kor. 1:18-22-24) dan Rasul Paulus-pun mereka juluki si ‘peleter’ (Kis 17:18). Di satu pihak mereka menuntut pembuktian secara empiris yang dapat diverifikasi; di pihak lain mereka sendiri mempercayai ‘kebenaran’ yang tidak dapat mereka verifikasi (mitos). Sebaliknya, Injil ‘kebenaran’ Yesus Kristus berlandaskan pada bukti empiris yang kuat: fakta sejarah, yang didukung oleh kesaksian para saksi mata yang hidup pada zaman itu, termasuk kesaksian Rasul Paulus pribadi sebagai saksi mata (1 Kor. 15:58). Alhasil, ‘kebenaran’ Injil inilah yang merupakan ‘kebenaran’ objketif yang Aristotle maksud di dalam Teori Korespondennya. Dengan keberadaan ‘kebenaran’ seperti ini, orang Kristen bukanlah kumpulan orang terbodoh dan termalang di dunia yang menaruh pengharapan mereka pada Kristus yang juga mati di dalam dosa, sama seperti keturunan Adam lainnya, melainkan kumpulan orang yang terhisap di dalam Kristus, yang tidak lagi akan dihukum, melainkan akan bangkit bersama Kristus (1 Kor. 15:19-22).

Mengapa kita perlu mengetahui semuanya ini? Karena secara tidak sadar banyak di antara kita yang juga memiliki konsep ‘kebenaran’ yang mirip dengan orang Yunani. Secara teori kita berpegang pada ‘kebenaran’ dalam Teori Koresponden, tetapi di dalam keseharian hidup kita, kita berpegang pada ‘kebenaran’ dalam Teori Koheren. Kita cepat dipuaskan dengan opini daripada fakta sejarah, dengan pengajaran-pengajaran tentang etika moral, pengembangan diri dan hidup sosial yang lebih baik dan kita tidak terlalu bersemangat jika berbicara tentang ‘kebenaran’ Injil yang berakar pada fakta sejarah yang cukup membosankan! Memang Injil yang bercampur dengan ‘isme’ hasil kreasi manusia sangat membosankan, namun tidak demikian dengan Injil yang murni, yang dinamis dan mutlak sifatnya, karena selaras dengan ‘realita’ sesunguhnya. Ketika Injil yang murni ini diberitakan di dalam kekuatan Roh Kudus, Injil ini merupakan kekuatan Allah yang dahsyat—lebih dahsyat dari bom yang menghancurkan Hiroshima-Nagasaki pada Perang Dunia II, lebih dahsyat dari kekuatan badai tsunami yang menyapu habis ratusan ribu penduduk Aceh di tahun 2004, dan lebih dahsyat, dari virus Covid-19 yang mendunia saat ini. Kekuatan Injil identik dengan kekuatan yang dapat membangkitan Kristus dari antara orang mati, dan karenanya mampu membangkitkan mereka yang ada di dalam dosa, serta memindahkan mereka dari maut kepada hidup (Rom. 1:17; Yoh. 5:24).

‘Kebenaran’ Injil yang berpusatkan pada fakta sejarah kematian dan kebangkitan Kristus ini merupakan apex dari rekam jejak Allah di dalam wahyu-Nya melalui Firman dan Tindakan-Nya di dalam dunia. Rekam jejak Allah ini telah didokumentasikan dengan begitu rapi dan akurat di dalam dokumen historis: Alkitab. Cendekiawan dunia dibuat terpukau tentang kualitas dan kuantitas manuskrip Perjanjaian Lama dan Baru yang begitu prima, yang jauh melebihi manuskrip kuno mana-pun di dunia. Di dalam dokumen historis ini, terdapat rekam jejak figur historis Yesus Kristus dari Nazaret, yang adalah Allah sendiri yang hadir di tengah dunia ciptaan-Nya. Arkeolog Ateis sekaliber H.G. Wells juga mengakui keabsahan keberadaan historis Yesus Kristus di abad pertama,dan penemuan W.F. Albright membuktikan bahwa setiap buku di dalam Perjanjain Baru benar ditulis sangat dini oleh para saksi mata antara tahun 50-70, tidak lama setelah kebangkitan Kristus.Penemuan arkeologi selanjutnya di tahun 1947 di Laut Mati (Dead Sea Scrolls—DSS) membuktikan bahwa Alkitab memiliki tingkat keakuratan yang sangat memukau. Dari dua manuskrip copy yang terpaut 1000 tahun, persamaan-nya adalah 95%, dan 5% varian yang ada merupakan kesalahan pena dan perbedaan pengejaan, yang sama sekali minor dan tidak berpengaruh pada konten pesan yang ingin Allah sampaikan.

Sebagai konklusi, kita bersyukur kepada Allah bahwa ‘kebenaran’ iman Kristen didirikan bukan di atas opini manusia yang rapuh, melainkan di atas fakta sejarah, sebagai bukti empiris yang dapat diverifikasi, dan karenanya memiliki relevansi eksistensial bagi kita yang menaruh pengharapan di dalamnya.*** IT