Bagikan artikel ini :

Menanti Di Dalam Doa

Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu!

Mzm. 27:14

Sudah sering kita mendengar bahwa Tuhan menjawab doa dengan tiga macam jawaban, yaitu jawaban Ya, Tidak, dan Tunggu.

Jawaban “Ya”. Berarti doa kita dikabulkan. Jawaban “Tidak” bukan berarti tidak dijawab tetapi jawabannya adalah “tidak”. “Tidak” adalah sebuah jawaban. Jawaban doanya adalah tidak dikabulkan. Doa Tuhan Yesus di Getsemani (Mat. 26:36-46) misalnya. Bapa ingin Dia meminum dari cawan murka-Nya, tetapi Yesus ingin kalau boleh tidak. Itu sebabnya Dia berdoa, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku”, artinya Dia tidak usah minum, jalan keselamatan itu kalau boleh bukan melalui salib. Yesus “ngotot” dengan permintaan-Nya, makanya Yesus tiga kali berdoa dengan doa yang sama. Artinya Dia terus memperjuangkan agar kemauan-Nya dikabulkan. Tetapi akhirnya doa ini ditutup dengan memberi diri. Menyangkali apa yang Dia mau dan menerima yang Bapa-Nya mau. Dan itu berarti penyerahan diri-Nya pada Bapa. Pemberian diri-Nya pada Bapa. Untuk apa? Ya terserah Bapa. Kalau pun mau disalibkan, silahkan.

Jawaban “Tunggu”. Jawaban yang satu ini jadi persoalan buat kita. Kalau Ya dan Tidak, ada jawaban yang jelas. Begitu tahu “Ya” atau “Tidak”, kita bisa “move on”. Tetapi kalau “Tunggu”, … Tidak ada kepastian atau kejelasan. Sampai kapan mesti menunggu? Kalau pun sudah menunggu, apakah sudah pasti jawabnya adalah Ya? Tidak ada jaminan. Jawabnya bisa Ya atau bisa juga Tidak.

Menunggu bukan aktivitas yang kita suka. Bicara soal orientasi hidup kita, rasanya kita cenderung orang yang berorientasi pada tujuan alih-alih berorientasi pada proses. Contoh sederhana, kalau kita “nyetir” mobil maka pikiran kita bukan menikmati perjalanan tetapi memikirkan kapan sampainya. Oleh karena kita punya kebiasaan serba goal-sentris ini, maka sulit bagi kita untuk menunggu. Padahal menunggu adalah sebuah proses dan menanti Allah merupakan kebajikan Alkitabiah.

Kamus Gambaran Alkitab menyebutkan ada beberapa motif dalam menanti Allah. Pertama, menanti Allah dihubungkan dengan kesabaran, penyerahan diri, ketundukan, ketergantungan, dan kepuasan hati atas keadaan yang kurang ideal yang sedang dihadapi. Misalnya, ketika pemazmur merenungkan perbaikan nama baiknya dari Allah terhadap para musuhnya, ia memerintahkan dirinya sendiri untuk “Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!” (Mzm. 27:14). Makna yang serupa, “Nantikanlah TUHAN dengan hati yang tenang, tunggulah dengan sabar” (Mzm. 37:7 BIS). Nabi Yeremia juga berkata, “Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN” (Rat. 3:26).

Kedua, menanti Allah adalah suatu pengandalan kepada Allah. Amsal berkata, “Janganlah engkau berkata: ‘Aku akan membalas kejahatan,’ nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau” (Ams. 20:22). Umat yang tertindas berdoa, “TUHAN, kasihanilah kami, Engkau kami nanti-nantikan! … Selamatkanlah kami di waktu kesesakan!” (Yes. 33:2). Kekuatan masa muda tidak cukup untuk menangkis kelelahan, “tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yes. 40:31).

Ketiga, menanti Allah dikaitkan dengan keberharapan. Menanti adalah mengharapkan waktu Allah akan bertindak. Pemazmur menegaskan, “Sebab kepada-Mu, ya TUHAN, aku berharap; Engkaulah yang akan menjawab, ya Tuhan, Allahku” (Mzm. 38:16). “Dan sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan? Kepada-Mulah aku berharap” (Mzm. 39:8). “Tetapi aku ini akan menunggu-nunggu TUHAN, akan mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku!” (Mi. 7:7). Bagian dari harapan adalah bahwa mereka yang menanti Allah “tidak akan mendapat malu (Yes. 49:23) dan bahwa Allah “adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia” (Rat. 3:25).

Tiga hal di atas diekspresikan oleh Rasul Paulus di dalam doanya (2 Kor. 2:7-10). Dia meminta supaya duri di dalam dagingnya itu dicabut atau dihilangkan. Kita tidak tahu apa itu “duri dalam daging”, tetapi banyak yang mengatakan bahwa itu adalah sakit penyakit. Dia berdoa untuk satu jangka waktu tertentu. Dia terus menanti. Tuhan jawab untuk dia, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu!” Artinya Rasul Paulus harus puas hidup dengan tetap ada duri di dalam daging itu. Kenapa? Karena justru dalam kelemahan itulah dia harus terus bergantung, mengandalkan, dan berharap pada Tuhan. Maka keluarlah kalimat sebagai pengakuan imannya, “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Bukan kekuatan dirinya sendiri tetapi kekuatan Tuhan yang terus menopangnya dan meneguhkannya.

Penting bagi kita untuk tahu jawaban atas doa-doa kita, tetapi lebih penting mengenal Tuhan Sang penjawab doa itu sendiri. Berdoa bukan hanya persoalan jawaban doa, tetapi untuk mengenal Tuhan melalui karya-karya-Nya di dalam kehidupan kita yang akan menguatkan dan meneguhkan hati kita.***(AA)


V. C. Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan: Tafsiran atas Surat 2 Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 187-188.