Bagikan artikel ini :

No Time for Waiting (Tak Ada Waktu untuk Menunggu)

Sebuah studi di Amerika Serikat mengenai gaya hidup masyarakat pada masa pandemi COVID-19 menunjukan bahwa selama masa pandemi, orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan apa yang mereka sukai dibanding sebelumnya. Dari sekitar 2.000 orang yang disurvei, rata-rata telah menambah 6 jam dari waktu keseharian dalam satu minggunya untuk melakukan apa yang mereka sukai.

Seorang filsuf bernama Rene Descartes terkenal dengan pernyataannya You Are What You Think (engkau adalah apa yang engkau pikirkan). Namun Rasul Paulus justru menyatakan hal yang berbeda: yaitu bahwa engkau adalah apa yang engkau cintai. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi (Fil. 1:9-11), Rasul Paulus berdoa supaya “kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian,….”).  Di sini Paulus tidak berdoa agar orang Kristen di Filipi dipenuhi oleh pengetahuan sehingga mereka mengasihi. Sebaliknya, ia berdoa agar mereka dipenuhi oleh kasih supaya mereka bisa memiliki pengetahuan. Jadi, kasih merupakan syarat awal dari pengetahuan.

Hal ini nyata dalam hidup keseharian. Ketika kita hobi membuat kue misalnya, maka kita akan sengaja mencari tahu bagaimana cara membuat penganan khas di negara-negara lain melalui sosial media, misalnya. Atau, jika kita senang utak-atik mobil, maka kita bisa menghabiskan banyak waktu, uang dan tenaga untuk mempelajari berbagai hal seputar mobil. Kita cenderung melakukan apa yang kita sukai.

Yesus Kristus yang adalah Allah tentu mengerti sekali tentang hal ini. Karena itu, ketika Ia memberi perumpamaan tentang talenta (Matius 25:14-30), Ia tidak bicara tentang relasi tuan dan hamba yang dingin, satu arah dan didasarkan pada kekuasaan; tetapi pada keintiman relasi antara tuan dan para hamba. Sukacita dari relasi mereka ini bisa terlihat dari percakapan mereka ketika tuan ini kembali.

Hamba yang menerima lima talenta membawa laba lima talenta lalu berkata “Tuan, lihat aku telah beroleh laba lima talenta” (ayat 20). Seorang penulis tafsir kitab Matius membayangkan adegan tersebut dimana “mata dari hamba tersebut berbinar-binar ketika berbicara. Ia penuh dengan antusiasme. Ia sangat bergairah. Itulah sebabnya ia meminta tuannya itu untuk menghitung laba yang dihasilkannya.”  Sang tuan pun memujinya dan mengatakan padanya untuk ikut mengalami kebahagiaan dirinya. Hamba kedua pun demikian.

Namun hamba ketiga sama sekali tidak memuji tuannya. Ia malah menyatakan pandangannya yang sangat negatif tentang tuannya itu: bahwa tuannya itu adalah manusia yang kejam dan tidak fair. Dari dialog itu bisa terlihat bahwa tidak ada sukacita maupun kedekatan hubungan antara hamba ketiga dengan tuannya. Kecurigaan dan kemarahan mewarnai cara pandangnya. Itulah sebabnya, tidak ada kerinduan untuk melakukan sesuatu yang bermakna dan penting bagi tuannya.

Kerinduan, kasih, sukacita, itulah yang menggerakkan orang Kristen untuk melakukan tugas-tugas yang Tuhan percayakan kepadanya, apa pun bentuknya. Setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan (imamat rajani) yang dipanggil oleh-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang unik dan berbeda yang Tuhan percayakan kepada masing-masing. 1 Petrus 2:9 mengatakan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.”

Sebuah buku yang berjudul “How Jesus Changed the World” (Bagaimana Yesus Mengubah Dunia) menunjukan bukti-bukti bagaimana para pengikut Kristus mengubah dunia ini sejak jaman gereja mula-mula hingga masa kini. Ternyata dampaknya luar biasa. Orang-orang Kristen telah mendirikan rumah sakit, membangun sekolah, mengentaskan buta huruf, memunculkan berbagai metode agrikultur, mengembangkan berbagai macam seni, memajukan bidang arsitektur, melindungi hak-hak wanita dan hak asasi manusia, menjadi pionir dari berbagai eksplorasi alam ciptaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, memajukan ekonomi, serta membangun berbagai institusi sosial.

Buku itu mengatakan bahwa orang-orang tersebut (para penulis terkenal, para biarawan tidak dikenal yang menuliskan teks-teks kita suci di biara-biara terpencil, sampai para seniman, ilmuwan, ahli hukum, dsb) – semuanya telah melakukan bagian mereka dalam menciptakan sejarah dan membuat kisah. Kisah ini bukan tentang mereka, tetapi tentang Kristus dan kasih-Nya yang terwujud dalam kata-kata dan berbagai karya mereka.

Jika kita telah menjadi anak-anak-Nya, maka kita juga telah dipanggil untuk turut berkarya bagi kerajaan Allah, terlepas dari wujud dan jumlah yang yang Tuhan percayakan pada kita.

Martin Luther King, Jr., seorang pendeta dan aktivis yang berpengaruh besar dalam meruntuhkan tembok-tembok diskriminasi rasial di Amerika mengatakan demikian: “Jika bagianmu adalah menjadi penyapu jalan, maka sapulah jalan seperti Michelangelo melukis berbagai lukisan, seperti Shakespeare yang menulis puisi, atau seperti Beethoven yang membuat komposisi musik. Sapulah jalan dengan baik sehingga semua penghuni surga dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata “Ada seorang penyapu jalan yang luar biasa, yang melakukan pekerjaannya dengan baik.” **[GE]