Bagikan artikel ini :

Oh, Yerusalem, Kota Mulia!

Yerusalem itu istimewa. Ini tak terbantahkan. Bukan saja pada zaman kuno, tetapi hingga zaman sekarang. Konflik memperebutkan Yerusalem yang bermula dari ribuan tahun lalu masih berlangsung hingga hari ini. Apa yang membuat Yerusalem istimewa?

Yerusalem dalam Perjanjian Lama

Raja Salomo membangun bait Allah pertama di Yerusalem. Tabut Perjanjian disimpan di dalam ruang maha suci, tempat yang diyakini sebagai tempat kehadiran Tuhan. Dalam Alkitab, Yerusalem atau Zion adalah kota Allah (Mzm 46:4; 48:1-2) dan karena itu, seluruh bumi bersukacita. Allah sendirilah yang memilih Zion (Mzm 132:13-14) menjadi tempat kediaman-Nya. Yerusalem menjadi kota suci (Neh. 11:1; Yes. 48:2; 52:1) sehingga datang ke Zion sama dengan datang kepada Allah (Yer. 31:6) dan keselamatan datang dari Zion sama dengan keselamatan dari Allah Mzm 147; bdk. Mzm. 128:5; 134:3). Singkatnya, Yerusalem menjadi istimewa karena Allah memilihnya sebagai tempat kediaman-Nya.

Sudah menjadi ketentuan bahwa orang Ibrani berziarah ke Yerusalem setahun tiga kali, pada tiga hari raya utama. Yerusalem menjadi pusat politik kerajaan Israel yang diinisiasi oleh Daud dan Salomo dan pada saat yang sama menjadi pusat penyembahan orang Israel. Perkataan Yesaya (Yes 2:3) dan Mikha (Mi 4:2) menegaskan signifikansi kontemporer sekaligus eskatologis dari Yerusalem. Itulah sebabnya, ketika bait Allah hancur, orang Israel di Babel menghadapi masalah baru: bagaimana bisa bertahan dan beribadah jika Yerusalem sudah hancur? Masalah itu diungkapkan dalam Mazmur 137. Makna Mazmur itu jelas: orang Yahudi telah dijauhkan dari jantung Zion tetapi Zion tidak pernah jauh dari hati mereka. Oleh sebab itu, restorasi Yerusalem menjadi simbol dari keberhasilan bangsa Ibrani menyintas dan kesetiaan kepada Taurat dan penggenapan pengharapan datangnya zaman Mesianik. Dua seremoni paling suci yaitu puasa pada hari Yom Kippur (Hari Penebusan) dan seder pada petang Paskah diakhiri dengan kata-kata, “La¬Shanah Ha-Ba' ah Bi- Yerushalayim (Tahun depan di Yerusalem). Bahkan sampai hari ini, orang Yahudi di manapun berada, selalu berdoa menghadap Yerusalem.

Nabi Yesaya dalam kebimbangan antara ancaman (Yes 1:7-9) dan harapan (2:2-40) percaya bahwa Yerusalem tak akan tertaklukkan karena Allah diam di dalamnya, tetapi kemudian hari ia merevisi tradisi ini dengan memberikan persyaratan (Yes 1:19-20), yaitu iman kepada Allah sebagai syarat perlindungan Allah dan keselamatan dari-Nya (Yes 7:9b). Tanpa ragu Yesaya menunjuk dosa-dosa Yerusalem (Yes. 3:8; 22:1–14; 28:14). Nabi Mikha dan Yeremia meyakini bahwa Yerusalem tidak akan terluput karena dosa-dosanya. Mikha menubuatkan kehancuran Yerusalem dan bait Allah sampai menjadi onggokan batu (Mi 3:12) dan diulangi oleh nabi Yeremia yang sampai merisikokan nyawanya karena menentang keyakinan optimis publik masa itu (Yer 26:18-19).

Yeremia juga berbicara menentang anggapan orang Yehuda bahwa kehadiran bait suci menjamin perlindungan ilahi tanpa menyadari bahwa perlindungan itu terkait erat dengan kelakuan moral dan iman mereka (Yer 7:1-15). Ia mendakwa mereka atas kemurtadan. Akan tetapi, tujuan Allah tidak akan lenyap. Kota itu akan dibangun kembali atas iman orang-orang yang setia yang masih tersisa. Yeremia menubuatkan berita pengharapan dan pemulihan.

Yerusalem dalam Perjanjian Baru

Dari semua Injil, Yerusalem paling mendapat sorotan dalam Injil Lukas. Hal ini terkait dengan perhatian Lukas pada faktor geografi. Yerusalem adalah kota yang berperan dalam kehidupan Yesus dan menjadi pusat keselamatan manusia. Yesus memiliki hubungan erat dengan Yerusalem yang menjadi tujuan perjalanan-Nya dalam Injil. Injil Lukas dimulai dari dan berakhir di bait suci di Yerusalem (Luk 1:9; 24:53). Dalam perjalanan itu, Yesus menyinggung tentang kota itu sebagai tempat kemartiran para nabi dan tempat di mana Ia juga akan menderita dan mati (Luk. 13:33; Mat 16:21). Bait suci mendapat tempat istimewa dalam Injil Lukas karena di sana Yesus dipersembahkan (Luk.2:22-23), melakukan perjalanan ziarah pertama kali dan berdialog dengan ahli-ahli Taurat pada usia 12 tahun. Di Yerusalem pula Yesus menyucikan bait suci, yang menegaskan fungsinya sebagai tempat berdoa, bukan tempat berdagang. Misi Yesus, termasuk kesengsaraan, kematian, kebangkitan, kenaikan-Nya semua terjadi di Yerusalem. Setelah kebangkitan-Nya, murid-murid juga diperintahkan tinggal di Yerusalem. Saya tidak punya banyak ruang untuk membahas Yerusalem dalam perspektif Injil-Injil lainnya. Satu kesimpulan saja, Yerusalem mendapat tempat penting dalam keempat Injil.

Dalam Kisah Para Rasul, Yerusalem menjadi tempat turunnya Roh kudus, awal lahirnya gereja (Kis 2). Murid-murid Yesus diutus menjadi saksi-Nya mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Gereja di Yerusalem mengambil peran penting sebagai pemimpin bagi gereja-gereja lainnya. Di Yerusalemlah pertama kali diadakan sidang gereja yang memutuskan hal-hal penting berkaitan dengan masa depan gereja (Kis. 15:1–35; Gal 2:1–10). Pidato Stefanus menegaskan perbedaan Kekristenan dan Yudaisme (Kis 7) dan merupakan teks paling negatif dalam Perjanjian Baru perihal praktik keagamaan yang berkaitan dengan bait suci di Yerusalem (Kis. 6:11–15; 7:48). Pidato itu menandai lahirnya Kekristenan yang membedakan diri dari Yudaisme. Menurut Kis 22:17-21, di Yerusalemlah, di bait suci, Paulus menerima perintah memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa. Di kemudian hari, Rasul Paulus mengakui Yerusalem sebagai asal mula Injil (Rm. 15:19).

Kitab Wahyu memproklamasikan datangnya Yerusalem baru (Why 3:12; 21:2). Dalam Why 3:12, Yerusalem baru itu akan turun dari Allah, dari surga. Kota kudus ini adalah gambaran ciptaan baru dan harapan umat manusia, tempat di mana “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why 21:4).

Yerusalem dan Orang Kristen

Meskipun Yerusalem berperan penting dalam kehidupan dan pelayanan Yesus serta gereja mula-mulai, tradisi Kekristenan tidak mengistimewakan Yerusalem apalagi menjadikannya sebagai kota suci. Tidak ada perintah untuk berziarah ke Yerusalem seperti dalam Perjanjian Lama. Dalam Kekristenan, kehadiran Tuhan lebih dipahami sebagai kehadiran lintas ruang. Rasul Paulus “merohanikan” bait Allah sebagai gereja (kumpulan orang percaya) (1Kor 3:16; 6:19). Jadi, Tuhan hadir dalam di tengah-tengah orang percaya yang beribadah kepada-Nya, tidak hanya di bait Allah atau Yerusalem. Gereja sebagai kumpulan orang percaya menjadi lebih penting daripada gedung atau kota tertentu. Saya ingin menekankan soal ini: gereja sebagai kumpulan orang percaya. Orang percaya tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Mereka perlu berkumpul dengan tujuan menjalankan panggilan gereja: penyembahan, pembinaan iman, persekutuan, pelayanan dan pemberitaan Injil.

Pandemi Covid-19 telah mengubah wajah gereja secara tiba-tiba dan drastis. Tiba-tiba orang Kristen beribadah secara online. Demikian juga pembinaan, persekutuan, pelayanan dan pemberitaan Injil, semua dilakukan secara online. Banyak orang Kristen merasa nyaman dengan keadaan ini sehingga ketika pandemi sudah mereda, mereka tidak lagi mau berkumpul secara onsite. Meskipun kemajuan zaman mempermudah hidup kita, tidak serta-merta kemudahan itu membuat kita melupakan hakekat gereja yang sesungguhnya. Tentu ada manfaat praktis dari berkumpul secara online (jika masih bisa disebut “berkumpul”) tetapi kita harus memahami bahwa perkumpulan secara fisik tak bisa diabaikan apalagi ditinggalkan. Berkumpul secara online tidak bisa menggantikan berkumpul secara onsite. Memang kita tidak lagi menjadikan kota tertentu seperti Yerusalem atau bait Allah sebagai tujuan ziarah. Akan tetapi, Tuhan menghendaki kita tetap berkumpul secara fisik untuk menjalankan panggilan gereja secara efektif. Belum lagi kita bicara hakekat manusia sebagai makhluk yang memiliki tubuh dan jiwa/roh. Berkumpul secara online mengurangi hakekat manusia sebagai makhluk yang bertubuh. Kualitasnya berbeda.*(BSB)