Bagikan artikel ini :

Orientasi Futuristik Etika Moral Kristen

Pendahuluan.

Rubrik kita kali ini cukup menarik karena telah membukakan wawasan baru perihal etika moral Kristen yang bersifat futurristik bagi penulis. Menjelang penghujung tahun 2021 ini, dunia yang sedang kita diami ini tengah menggeliat untuk segera keluar dari kungkungan pandemi Corona virus yang selama ini menggerogotinya. Warga dunia di pelbagai pelosok mulai bersiap diri memasuki dunia bernuasa baru ‘New normal’. Warga dunia berharap banyak pada sosok-sosok visioner berkekuatan futuristik untuk dapat memprediksi dan mengantisipasi segala kemungkinan perubahan yang baru, serta mengarahkan potensi yang ada di dalam masyarakat untuk melaju dengan mulus di dunia yang baru. Tidak kalah krusialnya dengan dunia etika moral.

Umumnya etika moral di dunia ini didominasi pemikiran filsafat yang mengedepankan dua pertimbangan yang bertolak-belakang: Pertimbangan ‘untung-rugi’ (utilirian) serta pertimbangan ‘tata-susila’ (deontologis). Namun di dalam realita kehidupan bermasyarakat, pembagiannya tidak begitu jelas lagi, karena dipengaruhi pelbagai pertimbangan lainnya, seperti misalnya brand image, yang mendesak masuk dan mencampur-barukan pertimbangan yang satu dengan pertimbangan lainnya. Walaupun berbeda, baik pertimbangan yang berorientasikan pada pertimbangan untung-rugi, tata-susila, maupun yang rancu, semuanya bermuara pada orientasi yang sama, yaitu orientasi kepada ‘Dunia di sini dan kini’ (here and now). Di dalam konsep ‘sejarah’ dalam filsafat orang Yahudi, ‘Dunia ini’ (Ibr. Ha Olam Haze) dibedakan dari ‘Dunia yang akan datang’ (Ibr. Ha Olam Haba). ‘Dunia ini’ bersifat sementara, fana, dan mudah layu, dan ‘Dunia yang akan datang,’ bersifat kekal, cerah, dan penuh daya vitalitas. Sehingga, komponen ‘futuristik’ dari ‘Dunia ini’ akan nampak kusam, lawas, dan rapuh, jika dibandingkan dengan komponen ‘futuristik’ dari ‘Dunia yang akan datang.’ Di dalam ‘Dunia yang akan datang’ ini, Kristus Yesus-lah Penguasa Al-mahdi, sang dan Tuan atas segala raja dan tuan (Why. 19:16), dan segala sesuatu ditujukan untuk kesenangan dan kemuliaan-Nya (Why. 14:11; Rm. 11:36).

Etika Moral Futuristik Tuhan Yesus

Di dalam perumpamaan ‘Talenta’ (Mat. 25), Kristus mengajarkan etika hamba Kristus sebagai berikut:

Pertama, mereka yang menjadi milik kepunyaan Kristus harus memandang dirinya sebagai sosok seorang hamba Kristus. Kepada para hamba-Nya, Kristus telah mempercayakan asset-Nya yang berharga untuk mereka Kelola, masing-masing diberikan sesuai dengan potensi yang ada pada mereka. Mereka akan mempertanggung-jawabkan apa yang dipercayakan kepada mereka pada hari Kristus datang kembali ke-dua kalinya.

Kedua, hamba Kristus harus fokus mengerjakan Agenda Kristus, dan bukan Agenda pribadi. Dosa terbesar dari hamba yang jahat dan malas adalah dosa melalaikan tugas-tanggung-jawabnya (omission).

Ketiga, hamba Kristus harus memiliki dedikasi penuh tanpa pamrih (whole-hearted service). Artinya, tugas tanggung-jawab yang terkecil sekalipun akan dikerjakan dengan setia. Banyak orang yang seringkali salah kaprah karena mencampur-adukan tugas dan tanggung-jawab yang bersifat umum dan yang khusus. Misalnya, pekerjaan ‘memberikan segelas air minum kepada saudara yang sedang haus’ merupakan tugas dan tanggung-jawab bagi setiap hamba Kristus yang terpanggil menjadi ‘garam’ dan ‘terang’ dunia. Ketika pekerjaan ini melintas di depan mata, seorang hamba Kristus tidak seharusnya berkata:’Ah ini bukan panggilan saya. Saya tidak memiliki karunia ‘melayani’ (hospitality).’ Di samping itu ada juga yang salah kaprah karena mengira pekerjaan di atas panggung jauh lebih penting daripada pekerjaan di bawah panggung. Pengalaman Filipus melayani sida-sida Etiopia di padang gurun (Kis. 8) merupakan wujud dari ‘memberikan segelas air’ pada sida-sida yang haus dan membutuhkan pertolongannya. Jadi, yang terpenting bukanlah di mana dan dalam posisi apa, melainkan Agenda siapa. Jika pekerjaan yang dilakukan adalah Agenda Kristus, apa yang dilakukan di tempat terpencil sekalipun berkualitas ‘buah yang tetap’ dan akan masuk di dalam ‘Dunia yang akan datang’ (Why. 14:13).

Keempat: hamba Kristus harus memiliki motivasi yang murni dalam pekerjaannya: hanya untuk mengasihi Kristus. Ketika pekerjaan yang kecil dilakukan di dalam segala ketulusan hati, dengan tidak disangka-sangka ternyata Kristus-lah yang mereka layani. Penyamaran Kristus di dalam sosok saudara-saudari-Nya yang terpuruk itu memungkinkan para hamba-Nya untuk merekapitulasi tindakan Kristus yang mengosongkan diri, karena mengidentifikasikan diri dengan sosok manusia berdosa untuk menyelamatkan mereka dari dosa mereka. Di dalam rekapitulasi inilah hamba Kristus semakin diasah untuk menjadi seperti Kristus yang lemah lembut, rendah hati, dan penuh kasih.

Kelima, hamba Kristus akan menerima upah berupa tugas dan tanggung-jawab yang lebih besar didalam ‘Dunia yang akan datang.’ Banyak orang yang salah kaprah karena mengira setelah manusia berhenti dari segala jerih-lelahnya di dalam ‘Dunia ini,’ maka di dalam ‘Dunia yang akan datang’ ia tidak perlu lagi bekerja. Padahal, terlibat di dalam pekerjaan untuk menuntaskan Agenda Kristus merupakan suatu kenikmatan besar, karena dilakukan dengan segala keutusan hati yang mengasihi Kristus. Bahkan, upah terbesar di dalam ‘Dunia yang akan datang’ dia mana agenda-agenda di luar Kristus sudah berakhir, dan Shalom yang prima sudah tercapai, adalah terlibat di dalam tugas dan tanggung-jawab dalam perkara-perkara yang lebih besar! (Mat. 25:21,23). Sehingga jika pantun ini berkata: ‘Ber-rakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,’ bagi hamba-hamba Kristus akan berkata: ‘Lihat dan kecaplah betapa baiknya Tuhan’ ketika berada di dalam ‘Dunia ini,’ dan akan berkata lagi: ‘Lihatlah dan kecaplah betapa tak terhingganya baiknya Tuhan’ di dalam ‘Dunia yang akan datang’ (foretaste and full taste). Karena ada sukacita yang besar dalam melayani Raja segala Raja dan Tuan atas segala tuan. Orientasi hamba Kristus di dalam perspektif kekekalan ini adalah ‘Keuntungan’ terbesar : ada bersama Kristus yang mereka kasihi untuk selamanya, serta tata-susila tertinggi: kebahagiaan terbesar dapat masuk di dalam tugas tanggung-jawab dalam perkara-perkara yang lebih besar dan lebih seru. Perspektif etika moral futuristik ini kini menjadi etika moral hamba Krisuts di dalam 'Dunia ini.' ** IT.