Bagikan artikel ini :

Pelayan Tuhan yang Panik

Pendahuluan

Siapa yang tidak kenal nabi sekaliber Elia yang gagah perkasa itu? Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus menggambarkan Yohanes Pembaptis sebagai sosok yang datang dalam kuasa dan roh nabi Elia yang sangat mengagumkan (Luk. 1:17), dan Yakobus menyebut Elia sebagai manusia biasa dengan kuasa doa yang luar biasa (Yak. 5:17). Nabi Elia memang seorang nabi pelari maraton yang sangat gagah. Ketika dia tampil di depan raja Ahab, langit tidak turun hujan selama 3.5 tahun, dan ketika dia tampil lagi di depan raja Ahab, langit turun hujan yang sangat lebat.

Di musim kemarau yang berkepanjangan itu, Allah memeliharakan hidup nabi Elia. Allah mengirimnya ke tepi sungai Kerit dan memberinya makan melalui burung gagak yang datang setiap harinya. Ketika air sungai itu menjadi kering, Allah mengirimkannya ke Sarfat dan memberinya makan melalui janda miskin yang minyak dan tepungnya tidak habis-habis. Allah juga menunjukkan kuasa-Nya membangkitkan anak janda itu melalui nabi Elia. Bagi nabi Elia, Allah baik, Allah sangat care, Allah segalanya bagi hidupnya. Di penghujung musim kemarau itu nabi Elia menaati perintah Allah untuk menantang raja Ahab yang telah murtad kepada Allah dan mengikuti dewa Baal yang disembah ratu Izebel, untuk berduel adu kuat di atas Gunung Karmel. Allah yang menjawab doa dengan mengirimkan api dari langit, Dialah yang harus disembah. Maka di pagi itu, raja Ahab menghadirkan 450 nabi Baal yang makan dari meja ratu, melawan nabi Elia. Dari pagi hingga petang nabi-nabi Baal berdoa, namun tidak ada jawaban. Dan pada gilirannya, nabi Elia menyuruh rakyat Israel yang juga telah murtad untuk mendekat padanya. Didirikannya mezbah dari 12 batu dan diguyurnya kayu api, batu dan tanah di sekeliling mezbah hingga airnya memenuhi parit. Dan ketika ia membuka mulut berdoa kepada Allah Abraham, Ishak, dan Israel, api menyambar dan menghanguskan korban sembelihan, air, batu dan tanah hingga hangus. Segenap raktyat bersorak-sorai, “TUHAN, Dialah Allah! TUHAN, Dialah Allah!” dan 450 nabi palsu itupun ditangkap dan disembelih di sungati Kison. Nabi Elia juga memperingatkan raja Ahab agar bersegera makan dan minum sebelum hujan lebat turun. Tak lama, setelah awan sebesar telapak tangan di atas permukaan laut, langitpun menjadi kelam dan hujan lebatpun turun. Dan nabi Elia, di dalam kekuatan Roh Allah, berlari maraton mendahului raja Ahab ke Yizreel, markas sang ratu penguasa negeri!

Begitu mendengar laporan raja Ahab akan segala sesuatu yang telah terjadi, sang ratu langsung mengirimkan pesan agar nabi Elia bersiap untuk dicabut nyawanya juga, persis seperti nabi-nabinya yang disembelih di sungai Kison! Dan begitu mendengar ancaman yang tidak main-main itu, nabi Elia langsung ciut nyalinya dan kalut pikirannya. Ia lari terbirit-birit ke perbatasan paling selatan dekat gurun di Bersyeba. Di situ dia berdoa dengan terbaring ingin mati. Dia merasa dia tidak lebih baik daripada nenek moyangnya, atau dengan perkataan lain, ia merasa pelayanannya sia-sia belaka dan hidupnya tidak berarti lagi. Mengapa demikian?

Ekspektasi yang Keliru

Ternyata nabi Elia diserang rasa panik karena ekspektasi pelayanan yang keliru. Di saat dia berbaring, setelah kedua kalinya ia dibangunkan malaikat, barulah ia mau menurut untuk bangun dan makan, dan setelah beroleh kekuatan baru, ia berjalan 40 hari 40 malam. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Allah benar-benar lucu, “Apa kerjamu di sini?” Maka jawab Elia yang mulai curat, bahwa segala perjuangannya melayani Allah semesta alam seakan sia-sia saja, karena bangsa Israel yang murtad itu tetap saja murtad. Mereka meruntuhkan mezbah Allah, membunuh nabi-nabi Allah, dan kini nabi yang tersisa hanya dia seorang diri, dan nyawanyapun akan segera melayang juga.

Sungguh aneh perspektif dari nabi Elia ini. Bukankah ia menyembelih nabi-nabi Baal dengan rakyat yang berpaling kepada Allah dan bersorak-sorai, “TUHAN, Dialah Allah!” Bukankah masih tersisa 100 nabi di dalam dua gua yang disembunyikan Obaja yang bekerja pada raja Ahab? Mengapa nabi Elia berkata hanya dia nabi yang tersisa?

Secara psikologis, Elia kecewa berat terhadap cara kerja Allah. Allah yang selama ini berpihak padanya seakan membiarkannya mati konyol di bawah pedang sang ratu. Apa jadinya pekerjaan Allah tanpa keterlibatan dirinya? Pasti hancur lebur! Bangsa Israel akan murtad lagi, karena sang ratu masih berkuasa. Apakah maksud rencana Allah, apakah nabi Elia mencari tahu bagaimana seharusnya bereaksi terhadap ancaman yang serius untuk mencabut nyawanya itu? Tidak. Nabi Elia langsung mengambil kesimpulan sendiri dan lari. Ia sudah tidak lagi ingat bawa ia adalah hamba Allah yang hidupnya, talentanya, kesempatan pelayanannya, semuanya merupakan titipan dari Allah. Pekerjaan Allah tidak bergantung kepada nabi Elia.

Secara rohani, penglihatan nabi Elia terhalang oleh egonya, sehingga lupa bahwa Allah yang ia layani adalah Allah yang kekal dan tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang ditakutkan nabi Elia sebenarnya tidak berarti, karena Allah telah menyediakan bagi pekerjaan-Nya 7000 orang yang masih setia, yang tidak pernah mencium dewa Baal. Allah juga sudah menunjuk pemimpin-pemimpin-Nya di ranah politik, sosial, dan agama, untuk memperlengkapi pekerjaan nabi Elia beberapa dekade ke depan. Maka, adalah hal yang bodoh bagi pekerja-pekerja Allah untuk khawatir dan merancangkan impian-impian yang  jauh ke depan untuk pekerjaan Allah, karena rancangan cetak biru Allah jauh lebih indah dan sempurna dari apa yang dapat benak manusia pikirkan.

Penutup

Sikap panik nabi Elia pasca-Karmel itu mengajarkan kita bahwa seharusnya kita mawas diri. Setiap saat kita dapat jatuh ke dalam pencobaan, “I am the superstar, and God cannot but use me.” Pekerjaan Tuhan tidak berotasi pada kita sebagai porosnya. Ketika fokus pelayanan kita adalah pada diri kita sendiri, dan kita rindu Roh Allah memberkati kita dan memberi makan ego kita, maka Allah juga akan bertanya pertanyaan yang sama, “Apa kerjamu di sini?” Allah tersenyum ketika Ia melihat pekerja-Nya merajuk, giat bekarja, memohon berkat-Nya, padahal yang dikerjakan bukanlah untuk-Nya, melainkan atas nama-Nya saja. Rancangan rancana-Nya begitu mulia. Bukankah seharusnya kita seperti hamba yang melihat pada tangan majikannya (Mzm. 123:2), karena Majikannya lebih tahu, lebih berhikmat, dan ia rindu belajar dari sang Majikan yang empunya pekerjaan? Kiranya Allah menolong  kita untuk memiliki mata rohani yang memandang-Nya dengan iman. Amin.  (IT)