Bagikan artikel ini :

Pemeriksaan Diri dalam Perjamuan Kudus

Perjamuan Kudus adalah sebuah sakramen yang memiliki makna penting dalam kehidupan orang percaya dan gereja Tuhan. Ketika kita mau mengikuti Perjamuan Kudus, ada satu elemen yang biasanya akan dimintakan oleh pemimpin Perjamuan Kudus kepada kita, yakni pemeriksaan diri. Dari manakah asal-usul dan apa saja yang diharapkan dari pemeriksaan diri ini?

Latar belakang pemeriksaan diri adalah dari surat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus sebagaimana tertulis di dalam 1 Korintus 11:27-32, khususnya di ayat 27-28 yang menyatakan, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiir dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu”.

Apa yang dimaksudkan Rasul Paulus “dengan cara yang tidak layak”? Jika melihat kepada konteks di perikop sebelumnya, frasa ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada jemaat Korintus pada waktu mengadakan perjamuan malam yang di dalamnya termasuk Perjamuan Kudus. Pada perjamuan tersebut terjadi perpecahan (11:18), orang-orang makan terlebih dahulu tanpa peduli kepada orang lain sehingga yang satu lapar dan yang lain mabuk (11:21). Dengan melakukan hal demikian, mereka tidak bisa menjadi saksi Tuhan untuk memberitakan tentang kematian Kristus yang telah menebus dosa mereka dan yang telah menyatukan mereka dengan Tubuh-Nya (11:26, 29).

Kegagalan jemaat Korintus dalam menjalankan Perjamuan Kudus dinilai sangat penting. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan Perjamuan Kudus adalah sebuah peristiwa yang sejak awal hanya dilakukan oleh komunitas orang percaya, dan dengan demikian membedakan mereka dari komunitas bukan orang percaya. Dengan melakukan Perjamuan Kudus, orang percaya menyatakan kepada dunia bahwa mereka disatukan bersama melalui pengorbanan Kristus dan menjadi satu umat yang baru. Itulah sebabnya jika umat yang khusus ini tidak bisa menunjukkan kasih di dalam komunitas mereka sendiri karena egoisme yang menyebabkan perpecahan, maka mereka tidak bisa memberi kesaksian yang benar, dan tindakan dalam perjamuan itu menjadi sebuah tindakan yang tidak layak (bdk. Yoh. 17). Jadi, penekanannya sesuai konteks semula adalah kepada kesatuan dan kebersamaan orang percaya satu sama lain.

Meskipun konteks awal untuk memeriksa diri lebih menekankan soal kesatuan Tubuh Kristus, pemeriksaan diri juga sangat penting dilakukan untuk melihat bagaimana diri masing-masing berelasi dengan Tuhan. Alasannya tentu saja karena relasi orang percaya dengan Tuhan pasti akan memengaruhi relasinya dengan sesama orang percaya lainnya dan sebaliknya (bdk. Mat. 22:37-40). Relasi yang baik dengan Tuhan, akan menjadikan orang percaya tidak mengabaikan orang lain, berusaha membawa kesatuan di dalam jemaat, melakukan segala upaya untuk menunjukkan kasih, kesabaran, saling berbagi satu sama lain (bdk. Kis. 2:41-47; 4:32-35).

Pemeriksaan diri terkait relasi seorang percaya dengan Tuhan, juga sangat sejalan dengan makna Perjamuan Kudus sendiri sebagai suatu sakramen yang membawa orang percaya bersatu dengan Tuhan lebih dalam lagi dengan mengingat akan kematian Kristus bagi dirinya. Penebusan Kristus yang membawa orang percaya menjadi manusia yang baru seharusnya membawa perubahan hidup yang radikal, untuk jijik dan menjauhi dosa. Karena itu, kehidupan orang percaya yang dipenuhi dengan dosa tentunya tidak selaras dengan tujuan penebusan Kristus yang dihayati dalam Perjamuan Kudus melalui elemen roti dan anggur. Itulah sebabnya di dalam tradisi gereja, pemeriksaan diri sebelum Perjamuan Kudus tidak hanya untuk memeriksa relasi kita dengan sesama orang percaya tetapi juga memeriksa relasi kita dengan Tuhan.

Pertanyaannya adalah, apakah ini berarti kesucian mutlak tanpa dosa adalah syarat bagi orang percaya untuk mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus? Apakah orang yang masih bergumul dengan dosa tidak layak untuk ambil bagian di dalamnya? Untuk menjawab hal ini, tentu saja pertama-tama harus diingat bahwa pengudusan orang percaya adalah pekerjaan Kristus. Karya-Nya-lah yang memungkinkan kita untuk boleh datang ke hadapan Allah (Ibr. 10:19) dan bukan perbuatan kita sendiri. Reformator John Calvin di dalam tafsirannya atas bagian surat 1 Korintus ini menyatakan bahwa untuk mendapatkan manfaat dari Perjamuan Kudus, kita harus membawa iman dan pertobatan. Menurut Calvin, iman dan pertobatan ini bukanlah yang sempurna karena itu tidak mungkin, melainkan suatu kesadaran akan ketidakberdayaan, pengandalan diri sendiri, disertai kerinduan akan kebenaran Allah yang akhirnya mendorong kita untuk menyerahkan diri kepada tangan anugerah Kristus dan bersandar pada anugerah tersebut. Bagi Calvin, jika kita adalah orang berdosa yang demikian, maka kita akan menjadi tamu yang layak datang ke meja perjamuan.

Ketika menjawab pertanyaan untuk siapa perjamuan Tuhan diadakan, Katekismus Heidelberg menyatakan bahwa perjamuan Tuhan adalah untuk orang percaya yang sungguh-sungguh berduka karena dosa-dosa mereka, namun memercayai bahwa dosa-dosa ini diampuni demi Kristus dan kelemahan yang ada ditutup oleh penderitaan dan kematian-Nya. Perjamuan juga diadakan untuk mereka yang merindukan iman yang lebih dalam serta lebih dikuatkan dan rindu akan hidup yang lebih kudus.

Sebagai kesimpulan, pemeriksaan diri, baik terkait relasi seseorang dengan sesama maupun relasinya dengan Tuhan, sangat penting sebelum dapat mengikuti Perjamuan Kudus dengan baik supaya Perjamuan Kudus itu menguatkan iman orang percaya dan bermanfaat bagi pertumbuhan rohaninya. Pemeriksaan diri bukan menjadi penghalang bagi orang berdosa untuk datang ke meja perjamuan, melainkan sebagai sebuah persiapan, untuk mengakui dosa, memohon pengampunan, dan komitmen untuk terus mengambil langkah yang diperlukan dalam memulihkan relasi dengan sesama dan dengan Tuhan. Setelah pemeriksaan diri dilakukan sungguh-sungguh, maka kita bisa makan roti dan minum dari cawan perjamuan. Karena itu, bersungguh-sungguhlah dalam pemeriksaan diri. **TDK