Bagikan artikel ini :

Pengaruh gerakan reformasi terhadap spiritualitas ibadah

Reformasi Protestan adalah peristiwa penting dalam sejarah kekristenan yang menandai munculnya fajar abad modern dan menjadi landasan serta titik tolak peradaban barat modern yang mengutamakan akal dan kebebasan berpikir. Reformasi Protestan juga sekaligus mendorong pembaharuan spiritualitas kekristenan.

Spiritualitas Reformasi memiliki cakupan yang luas, bukan hanya pada aspek ibadah, doa, atau moralitas, tetapi juga pada bidang ekonomi, sains, seni, politik dan pemerintahan. Spiritualitas Reformasi bukan hanya berbicara masalah praktis (berdoa, berpuasa dan hidup yang baik) tetapi juga menyangkut persoalan teologis (dasar spiritualitas yang Teosentris). Mengingat luasnya cakupan pemikiran tentang spiritualitas reformasi, artikel ini lebih fokus kepada pandangan John Calvin yang berkenaan dengan ibadah.

  1. Teologi Tentang Ibadah
    Ibadah adalah salah satu ungkapan iman gereja sehingga perubahan pemahaman gereja akan imannya tentu membawa perubahan dalam isi dan corak ibadahnya. John Calvin memberikan perhatian yang cermat kepada teologia dan praktik ibadah dan berusaha mereformasi ibadah sesuai ajaran Alkitab. Pembahasannya tentang ibadah mencakup tiga konteks utama:

    Pertama, terkait dengan natur Allah. Ini adalah dasar utama ibadah sehingga semua unsur yang dapat menimbulkan penyembahan berhala harus dihindari. Allah itu Roh dan tidak pernah digambarkan dalam bentuk yang kelihatan. Ia menolak lukisan, mosaik dan patung. Ia juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa bahwa ibadah memang hanya diberikan kepada Allah, tetapi pemujaan masih dapat diberikan kepada patung / orang-orang suci. Ia juga menolak gagasan bahwa patung-patung dapat menjadi buku bagi orang tidak berpendidikan di dalam ibadah. Calvin melihat semua hal itu sebagai upaya kompromi manusia yang berdosa terhadap natur Allah.

    Kedua, terkait tuntutan hukum Taurat. Dalam kedaulatan-Nya, Allah saja yang dapat menyatakan kehendak-Nya untuk terciptanya ibadah yang benar, yakni sebuah ibadah yang tidak dikotori oleh ritual-ritual takhayul. Manusia harus menyesuaikan diri dengan ibadah rohani yang didirikan Allah sendiri.

    Ketiga, terkait kekuasaan gereja. Karena Allah adalah pengatur ibadah, Ia tidak memberikan gereja otoritas untuk memasukkan bentuk-bentuk ibadah yang baru. Godaan untuk menambah atau mengurangi dari ibadah yang seharusnya memang sangat besar tetapi harus ditolak tegas. Semakin sebuah ibadah menyenangkan manusia, maka ibadah itu harus semakin dicurigai oleh orang percaya karena memang upacara yang tidak alkitabiah sangat menarik bagi natur manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Sekalipun demikian, gereja memiliki kebijaksanaan sendiri untuk menentukan hal-hal eksternal yang tidak esensial seperti jam ibadah di hari Minggu atau sikap berdiri, duduk atau berlutut dalam ibadah.
     
  2. Fokus Utama Dalam Ibadah
    Dalam tradisi Reformed, ibadah adalah dialog antara manusia dengan Allah yang menjadi fokus utama ibadah. Panggilan beribadah, khotbah, perjamuan kudus dan doa berkat merupakan unsur-unsur ibadah dimana Allah berbicara kepada manusia, sedangkan doa syafaat dan pengakuan iman rasuli menjadi unsur manusia berbicara kepada Allah. Semuanya penting dan karena itu tidak ada alasan jemaat terlambat. Allah dapat berbicara melalui semua unsur itu dari awal sampai akhir.

    Calvin menjadikan pembacaan dan khotbah Alkitab dengan bahasa sehari-hari sebagai hal yang utama dalam ibadah. Ia membuang ritual dan upacara yang tidak memiliki otoritas Alkitabiah. Ia memulihkan Firman Allah, Injil Kristus dan perasaan luar biasa berjumpa dengan Allah yang menjadi pusat ibadah.
     
  3. Musik Dalam Ibadah
    Musik memainkan peran tertentu baik dalam teologi Luther maupun Calvin. Kedua reformator ini mengetahui dengan baik bagaimana menghargai kekuatan khusus dari musik. Calvin sangat meninggikan nyanyian jemaat dan doa, karena hal itu sangat berguna untuk membangun spiritualitas jemaat. Sebelum Reformasi, musik hanya dinyanyikan para pejabat gereja di tempat khusus di ruang ibadah dan hanya dinyanyikan dalam bahasa Latin sementara jemaat pasif mendengarkan. Gerakan Reformasi menciptakan bentuk ibadah yang baru dengan basis musik vokal (soprano, alto, tenor dan bass), paduan suara, lirik-lirik baru, dan menekankan bahwa musik harus bisa didengar, dipahami (dalam bahasa setempat), berpusatkan Firman Tuhan, bernilai sastra tinggi, melayani Firman Tuhan, dan dilakukan oleh seluruh umat (termasuk wanita dan anak-anak).

    Bagi Calvin, tidaklah cukup seseorang hanya bernyanyi dengan hati dan mulut, tetapi harus bernyanyi dengan hati, mulut dan pengertian karena iman yang sejati meliputi pengertian dan pengetahuan kebenaran Allah sebagai hal yang mendasar. Karena itu, pengertian yang benar seharusnya menggerakkan hati dan afeksi. Hal yang sama dikatakan oleh Paulus bahwa nyanyian rohani hanya bisa dinyanyikan dengan benar, dengan hati dan pengertian (Ef. 5:19; Kol. 3:16).
     
  4. Sakramen-Sakramen Dalam Ibadah
    Bagi Calvin, sakramen-sakramen merupakan suatu bagian yang sentral dan sangat penting dari ibadah dan memiliki makna rohani penting bagi orang percaya dan gereja. Terkait dengan natur Allah, ia melihat bahwa sakramen merefleksikan kebaikan dan niat Allah untuk menyelamatkan umat-Nya. Dalam kaitan dengan hukum Taurat, Calvin menekankan perlunya memahami sakramen hanya seperti yang diajarkan di dalam Alkitab. Dalam kaitan dengan kekuasaan gereja, ia menegaskan bahwa sakramen-sakramen jangan ditambah-tambahi atau ditafsirkan ulang oleh gereja. Itulah sebabnya, dari tujuh sakramen yang dilakukan Gereja Roma Katolik, Calvin hanya mengakui dua sakramen yakni baptisan dan perjamuan kudus sebagai yang diberikan Tuhan kepada gereja supaya dirayakan sejak zaman Perjanjian Baru sampai akhir dunia.

    Dalam misa Katolik, seluruh ibadah memuncak pada perayaan ekaristi (Perjamuan Kudus) yang pada waktu itu dianggap sebagai korban yang mengulangi korban Kristus pada kayu salib dengan cara tidak berdarah. Roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus pada saat ditahbiskan dalam pelaksanaan Perjamuan Kudus. Calvin dan para reformator menolak pandangan yang tidak alkitabiah ini meskipun ada perbedaan tajam di kalangan para reformator tentang bagaimana Kristus hadir di dalam Perjamuan Kudus. Bagi Calvin, Perjamuan Kudus adalah tanda tetapi bukan tanda kosong sebab tanda ini diberikan Allah melalui Anak-Nya supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Pemahaman yang benar terhadap sakramen akan mengangkat hati melebihi tanda itu kepada Kristus

    Menurut Calvin, upacara-upacara yang terkait dengan pelaksanaan sakramen seharusnya sederhana. Ia menolak tambahan berupa lilin dan minyak suci pada saat baptisan. Ia tidak mempermasalahkan apakah baptisan dilakukan dengan selam atau percik. Karena baptisan adalah pelayanan gereja, itu hanya bisa dilaksanakan oleh pelayan-pelayan gereja. Berkenaan dengan Perjamuan Kudus, Calvin percaya bahwa sebagian besar detail pelaksanaan adalah hal yang tidak penting. Baginya, upacara-upacara yang tidak alkitabiah dan rumit dari gereja Abad Pertengahan yang ditambahkan sebagai unsur-unsur yang kudus seharusnya dibuang sehingga seluruh ibadah memiliki bentuk yang sederhana. [SL]