Bagikan artikel ini :

Pengharapan, Makna Hidup dan Transendensi

Simeon adalah tokoh yang tidak terkenal. Sesekali disebut pada masa Natal. Ia tidak seterkenal Zakheus, misalnya, yang sama-sama hanya muncul satu kali dalam Injil Lukas. Namun Simeon bukan orang sembarangan. Lukas memberikan penjelasan yang menunjukkan siapa dirinya: “Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan” (Luk 2:25-26). Semua deskripsi tentang Simeon adalah positif. Apa yang dinubuatkannya tentang penderitaan dan kematian Yesus juga kelak tergenapi. Dari perkataannya dalam Luk 2:29, kita tahu bahwa ia hidup untuk menantikan kedatangan Sang Mesias. Dengan kata lain, tujuan atau makna hidupnya adalah pengharapan akan kedatangan Mesias, bukan hal-hal lain.

Hal apa yang paling dicari manusia dalam hidupnya? Kebanyakan orang akan menjawab: kebahagiaan. Seseorang merasa bahagia ketika keinginan-keinginannya tercapai atau terpenuhi, baik jasmani maupun mental. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa di beberapa negara-negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi, angka bunuh dirinya justru tinggi. Jepang dan Korea hanyalah sebagian contoh. Sangat tepat jikalau Tuhan Yesus mengatakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat 16:26). Itu berarti, ada sesuatu yang salah dengan upaya manusia mencari kepuasan hidup. Manusia mencari hal yang salah.

Ada hal lain yang lebih penting dan bernilai daripada kebahagiaan, yaitu makna hidup. Hidup bahagia tanpa makna bukan hidup itu sendiri. Keberadaan makna memberi kepuasan lebih besar daripada kesenangan-kesenangan lain. Keberadaan makna juga memberi kesanggupan kepada manusia untuk menghadapi tantangan atau penderitaan seberat apapun juga. Sampai usia lanjut, Simeon bertekun menantikan Mesias. Ia sadar sepenuhnya itulah makna hidupnya. Oleh karena itu, setelah berjumpa dengan Yesus, ia merasa benar-benar puas.

Pertanyaannya, bagaimana kita menemukan makna hidup? Dalam bukunya “The Power of Meaning”, Emily Esfahani Smith mengusulkan empat cara: membangun hubungan dengan sesama, menemukan tujuan hidup, membagi kisah kehidupan dan mengalami transendensi. Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas cara ke empat.

Kata “transenden” dalam KBBI berarti di luar segala kesanggupan manusia; luar biasa. Pengalaman transenden adalah pengalaman ketika kita merasa “terangkat” dan mengalami realitas yang lebih tinggi. Mungkin Anda pernah mengalami hal itu ketika sedang beribadah baik di gereja ataupun ibadah pribadi. Anda merasa sangat dekat dengan Tuhan atau merasa seperti berada di surga. Anda merasakan damai yang begitu luar biasa. Anda mungkin juga

 

mengalami pengalaman transenden ketika sedang menatap langit yang cerah di malam hari atau pemandangan indah yang belum pernah Anda lihat. William James, psikolog yang mendalami bidang pengalaman beragama, mengatakan bahwa dalam pengalaman transenden, ada beberapa sifat yang menonjol, salah satunya adalah yang disebut noetic, yaitu memberikan pengetahuan dan hikmat baru. Dengan kata lain, pengalaman itu mengubah pikiran bahkan jalan hidup kita. Anda mengalami transendensi kemudian transformasi dalam cara pikir dan hidup.

Dalam Alkitab, kita menemukan kasus orang-orang yang mengalami transendensi. Salah satunya Rasul Paulus (2Kor 12: 1-4). Dalam pasal yang sama, ia menceritakan bagaimana pengalaman itu mengubah jalan hidupnya khususnya dalam hal bersikap terhadap penderitaan (2Kor 12: 9-10). Pengalaman transendensi dialami juga oleh Nabi Elia (1 Raj 19). Pengalaman itu membangkitkan kembali semangat Elia untuk melayani Tuhan. Intinya, ada perubahan atau transformasi dalam hidup orang-orang yang mengalami transendensi. Transendensi yang tidak berdampak apa-apa bukanlah transendensi. William James lebih lanjut mengatakan bahwa meskipun pengalaman itu bersifat sesaat dan sementara, dampaknya bisa mengubahkan hidup untuk seterusnya. Dengan kata lain, jika ada orang Kristen bertobat ketika menghadari kebaktian KKR (mengalami transendensi sesaat) tetapi beberapa waktu kemudian ia kembali menjalani hidup yang lama (baca: berdosa), maka sesungguhnya pengalaman pertobatan itu palsu. Pertobatan tanpa transformasi adalah dusta.

Apakah Anda pernah mengalami transendensi? Jika ya, bagaimana pengalaman itu mendefinisikan makna hidup Anda? Jika pengalaman itu sudah lama terjadi, bagaimana caranya Anda membangkitkan kenangan itu untuk mengarahkan hidup Anda hari ini? Jika Anda merasa belum pernah mengalaminya, apakah usaha Anda untuk mengalami hal itu? Apakah Anda memunyai kerinduan untuk lebih peka dan dekat dengan Allah dan sesama? Apakah Anda menyisihkan waktu untuk refleksi dan keluar dari fokus pada diri sendiri?

Bahkan sekalipun Anda tidak pernah mengalami transendensi, Anda bisa meluangkan waktu untuk refleksi. Dipenghujung tahun 2021, ambillah waktu untuk diam diri. Refleksikan sejauh mana Anda sudah menjalani hidup ini, sejauh mana Anda melihat keterlibatan Tuhan dalam hidup Anda, sejauh mana Anda terlibat (baca: menjadi berkat) dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama manusia. “The unexamined life is not worth living” (Socrates). Maksudnya, jika Anda hanya menjalani kehidupan sebagai rutinitas tanpa pernah memeriksa apa makna atau tujuan hidup Anda, maka sesungguhnya hidup Anda tidak bermakna sama sekali. * (BSB)