Bagikan artikel ini :

Perspikuitas Alkitab (Kejelasan Alkitab)

Setiap orang percaya yang pernah membaca Alkitab dengan sungguh-sungguh akan mengetahui bahwa di dalam Alkitab ada banyak hal yang sulit dimengerti. Bukan hanya itu, tetapi kita menyadari bahwa tidak setiap orang percaya memiliki penafsiran yang sama terhadap ayat-ayat tertentu dalam Alkitab, bahkan diantara orang-orang percaya yang sungguh-sungguh menjunjung tinggi Alkitab. Hal itu dapat dijelaskan oleh jurang besar yang ada antara dunia kita masa kini dengan dunia ketika kitab-kitab ditulis: perbedaan budaya, bahasa, sejarah, geografi, pola pikir dan sebagainya. Sebagian orang menjadi skeptis dan berpandangan bahwa Alkitab memang tidak mungkin dapat dimengerti oleh orang biasa, dan hanya bisa dipahami oleh para ahli yang mendalami studi Alkitab. Sebagian bahkan lebih jauh lagi mengklaim bahwa hanya gereja yang memiliki hak dan kemampuan untuk menafsirkan Alkitab dengan benar. Hal ini memang terjadi di masa silam secara masif. Benarkah bahwa Alkitab memang tak bisa dipahami orang biasa?

Jikalau kita melihat ke dalam Alkitab sendiri, ada banyak ayat yang meminta pembaca Alkitab untuk menyelidiki Alkitab dengan serius. Misalnya, Shema Israel di Ulangan 6:6-7 mengasumsikan kemampuan manusia untuk mencerna dan meringkas isi Firman Tuhan dan menyampaikannya kepada orang lain. Ulangan 30:11-14 juga mengajarkan bahwa perkataan Tuhan itu tidaklah sulit dipahami. Mazmur 119 menekankan bagaimana Firman Tuhan menjadi terang yang menerangi jalan hidup manusia. Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga memberitahu bahwa Firman Tuhan seharusnya dapat dimengerti oleh para ahli Taurat melalui frasa ‘tidakkah kamu baca’ (Mat. 12:3 dsb). Surat-surat rasul Paulus kebanyakan ditujukan untuk seluruh jemaat, bukan hanya untuk orang-orang yang berpendidikan tertentu tertentu. Asumsinya adalah tulisan Paulus pada umumnya dapat dipahami oleh orang percaya dari berbagai lapisan jemaat.

Terhadap dua kenyataan yang ada: banyak bagian Alkitab yang sulit dimengerti dan pengajaran Alkitab sendiri bahwa tulisannya dapat dimengerti, muncullah pengajaran tentang Perspikuitas Alkitab perspicuity of the bible atau clarity of the bible atau Kejelasan Alkitab yang menjembatani hal ini. Perspikuitas Alkitab merupakan salah satu pengajaran inti dari Teologi Reformasi tentang Alkitab, namun berakar panjang pada para bapa gereja mula-mula seperti Ireneus, Agustinus dan sebagainya. Salah satu pengakuan iman gereja reformasi yang menjelaskan hal ini adalah Pengakuan Iman Westminster. Pada pasal pertama poin ke-7 dari pengakuan iman tersebut, dijelaskan bahwa tidak semua hal di dalam Alkitab itu jelas pada dirinya, dan juga tidak semuanya sama jelas bagi semua orang. Namun segala hal yang perlu untuk diketahui, dipercayai dan dilakukan untuk keselamatan, dipaparkan dengan sangat jelas dan dibukakan di sejumlah bagian Alkitab sehingga setiap orang, baik terpelajar ataupun tidak, dengan memakai cara-cara yang biasa, dapat mencapai pemahaman yang memadai akan hal-hal tersebut. Contoh bagian Alkitab yang berkenaan dengan keselamatan adalah kasih Allah untuk manusia berdosa dan keselamatan dalam Kristus (Yoh. 3:16 dsb), kematian dan kebangkitan Kristus, dan sebagainya.

Pernyataan di atas mengakui bahwa memang ada bagian-bagian Alkitab yang sulit dimengerti oleh siapapun. Rasul Petrus di dalam 2 Petrus 3:5-6 juga mengakui bahwa ada sebagian tulisan rasul Paulus yang memang sulit dipahami. Jadi Alkitab sendiri memberitahu ada derajat kesulitan dalam memahami bagian-bagian tertentu dari Alkitab pada dirinya sendiri. Bagian-bagian Alkitab yang dapat dipahami semua orang pun tidak berarti bahwa bagian itu dapat dipahami sempurna, tetapi hanya secara memadai dipahami untuk keselamatan. Orang-orang

yang membaca bagian-bagian yang jelas untuk keselamatan tersebut juga tidak akan memahami

pemahaman yang sama jelasnya satu sama lain. Ada orang yang mampu memahami bagian-bagian itu dengan lebih jelas dibandingkan orang yang lain.

Penekanan pada ‘pemakaian cara-cara biasa’ untuk memahami Alkitab, berarti tidak diperlukan otoritas gereja yang resmi untuk dapat menafsirkan bagian-bagian yang jelas itu dengan benar; setiap orang percaya mampu memahaminya, meski dengan derajat pemahaman yang berbeda. Demikian pula tidak diperlukan pengalaman mistis tertentu untuk dapat memahaminya, juga tidak dipahami dengan jalan berdiam diri saja tanpa memakai akal budi. Tentu saja pencerahan (iluminasi) Roh Kudus diperlukan supaya manusia dapat memahami bagian-bagian Alkitab yang jelas dan dapat membawa keselamatan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam pasal yang sama dari pengakuan iman tersebut di ayat 6 sebelumnya. Selain itu, ini juga berarti bahwa Alkitab perlu dibaca dengan cara-cara yang biasa dan dengan model penafsiran yang wajar seperti ketika kita membaca sebuah buku. Misalnya, membaca kitab Mazmur yang bergaya sastra puisi tentu akan memiliki pola pembacaan yang berbeda dengan membaca kitab Yosua yang merupakan kisah sejarah.

Pengajaran tentang perspikuitas Alkitab ini menjadi dasar bagi orang percaya untuk memberitakan Injil, baik kepada orang terpelajar dan berwawasan luas, maupun kepada orang sederhana, orang tua maupun anak-anak kecil. Apakah ini berarti tidak lagi diperlukan para ahli biblika? Tentu saja tidak. Keberadaan para ahli atau orang percaya yang memiliki pengetahuan luas, spesifik dan dalam tentang Alkitab akan membawa jemaat untuk lebih dalam juga memahami Firman Tuhan serta memperjelas apa yang kurang jelas karena perbedaan dunia Alkitab dengan dunia kita. Namun, keberadaan para ahli seperti itu tidak mutlak bagi seseorang untuk memahami bagian Alkitab yang membawa pada keselamatan.

Tentu ada berbagai tantangan terhadap pengajaran tentang perspikuitas Alkitab. Gereja Roma Katolik, misalnya, di dalam Katekismus Gereja Katolik menegaskan bahwa penafsiran yang benar hanya ada pada Gereja dan berujung pada Paus dan para pejabat tinggi gereja. Hal ini sama sekali tidak diajarkan di dalam Alkitab karena memang tidak pernah ada pengajaran bahwa harus ada seorang ahli yang berotoritas untuk bisa memberikan penafsiran yang benar kepada jemaat. Paulus, yang tulisannya dianggap kadangkala sulit pun, tidak memberikan ajaran bahwa diperlukan orang ahli untuk memahami tulisannya.

Tantangan lain berasal dari model penafsiran paskamodern yang melihat bahwa makna dari suatu teks bergantung kepada tujuan dan asumsi dari sang penafsir sehingga tidak ada makna tunggal yang dapat diperoleh dari teks Alkitab. Bagi mereka, klaim bahwa kita bisa memahami dengan jelas dan objektif sebuah teks, sama saja dengan mengklaim bahwa kita berkuasa atas orang lain dalam memahami teks tersebut dan dapat memanipulasi orang lain tersebut. Pandangan penafsiran ini tentu bertentangan dengan karakter dan kuasa Allah untuk mampu menyatakan Diri-Nya dengan objektif. Pandangan ini juga bertentangan dengan perintah-Nya untuk menyelidiki Firman Tuhan agar dapat memahami Dia dan kehendak serta pimpinan-Nya dalam hidup orang percaya.

Kesimpulannya, Alkitab jelas dalam bagian-bagian yang mengajarkan tentang keselamatan dan hidup di dalamnya. Karena itu, dengan pertolongan Roh Kudus, haruslah kita mempelajarinya sebaik mungkin, mendapatkan maknanya yang benar dan hidup sesuai dengannya. (TDK)