Bagikan artikel ini :

Providensia vs takdir

Sejak pertama kali menduduki bumi ini, manusia berhadapan dengan sebuah misteri yang disebut waktu. Waktu biasanya digambarkan dengan satu garis lurus dengan diri kita berdiri di masa kini, sementara masa lalu ada di belakang dan mata kita menghadap ke masa depan. Tetapi anehnya, tidak ada satupun manusia yang dapat melihat masa depan yang terbentang di hadapannya. Manusia buta terhadap apapun yang menanti di depan.

Sepertinya Suku Aymara, sebuah suku yang tinggal di tengah Pegunungan Andes, memiliki gambaran yang lebih tepat akan pengalaman manusia di dalam dimensi waktu. Bahasa yang digunakan Suku Aymara menggambarkan bahwa mata manusia menghadap ke masa lalu sementara punggungnya mengarah ke masa depan. Bahkan, orang-orang Suku Aymara menunjuk ke belakang mereka sebagai gestur untuk mengatakan masa depan.

Ini adalah sebuah penggambaran yang unik dan tidak biasa, tetapi jauh lebih akurat karena pada kenyataannya, meski manusia bergerak kepada masa depan, tetapi manusia hanya memiliki pengetahuan akan masa lalunya. Manusia ibaratnya sepertinya berjalan mundur mengarungi aliran waktu. Tidak heran banyak orang yang cemas dan khawatir akan masa depan mereka.

Kecemasan ini makin bertubi-tubi ketika mengingat bahwa mungkin saja cengkeraman takdir tidak bisa dilawan. Segala sesuatu yang terjadi di masa depan adalah sebuah keniscayaan. Jika esok akan terjadi kecelakaan, maka tidak peduli bagaimanapun manusia menghindarinya, kecelakaan itu akan menimpanya. Tidak jarangkita mendengar orang mengatakan dengan pasrah, "Ini semua sudah ditakdirkan," "Ini memang nasibku," dan sebagainya.

Paham ini dikenal dengan sebutan fatalisme. Fatalisme mengatakan bahwa kalaupun manusia memiliki kehendak bebas, ia tak kuasa untuk merubah nasibnya. Agama-agama tertentu memiliki paham seperti ini. Bahkan beberapa orang Kristen mungkin hidup dengan cara pikir demikian, "Untuk apa berdoa dan berusaha? Toh semua sudah ditetapkan Tuhan."

Filsuf Yunani bernama Aristoteles menentang paham seperti ini. Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah, "Apa yang niscaya terjadi, akan terjadi; apa yang niscaya tidak terjadi, tidak akan terjadi. Tetapi tidak semua yang terjadi dan yang tidak terjadi adalah keniscayaan." Menurut Aristoteles, takdir atau nasib tidak digariskan. Ini pun berarti bahwa manusia dengan kehendak bebasnya dapat menentukan sendiri masa depannya. Memang manusia tidak berkuasa untuk mengubah masa lalu, tetapi ia berkuasa atas masa depannya.

Jadi, paham mana yang benar? Apakah manusia dengan kehendak bebasnya untuk membuat pilihan dapat mengatur nasibnya? Ataukah segala sesuatunya telah digariskan oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi dari dirinya (higher power), dan ia tak kuasa untuk melawannya?

Di dalam teologi Reformed terdapat istilah providensia. Providensia berbeda dengan takdir. Takdir memiliki pengertian bahwa kedaulatan Allah tidak hanya bersifat absolut tetapi juga mendetail (exhaustive). Doktrin providensia menyatakan bahwa rancangan Tuhan sifatnya absolut. Jika Tuhan sudah menetapkan sesuatu akan terjadi, maka tidak ada satupun kuasa yang sanggup menggagalkannya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa rancangan Tuhan bersifat spesifik.

Salah satu contoh providensia Tuhan terdapat di dalam sejarah umat Israel. Yeremia 29:10-14 berisikan rancangan Tuhan bagi orang-orang Israel yang adalah rancangan damai sejahtera. Tetapi, apakah sebenarnya rancangan damai sejahtera ini? Ayat 14 mengatakan bahwa Tuhan akan mengembalikan mereka ke tanah mereka.

Tetapi ketika kita membaca Kitab Nehemia dan Ezra, rupanya tidak semua orang Israel kembali ke Yerusalem! Ada yang masih tetap tinggal di Babel. Apakah ini berarti rancangan Tuhan gagal? Tidak! Tuhan merancangkan secara umum bahwa umat-Nya pada akhirnya akan hidup dalam damai sejahtera, tetapi Ia tidak menentukan secara spesifik siapa saja yang akan kembali dan yang akan tetap tinggal di Babel.Semua itu merupakan kebebasan dari setiap orang Israel untuk memilih.

Jadi, apakah Tuhan menggariskan masa depan? Ya, Tuhan menjanjikan masa depan yang penuh harapan bagi umat yang dikasihi-Nya. Tetapi Ia tidak mengekang mereka dalam sebuah kurungan nasib. Manusia dikaruniai kehendak bebas untuk memilih secara individu apa yang mereka lakukan, tetapi semuanya itu ada dalam pengetahuan Tuhan. *** (DO).