Bagikan artikel ini :

Resiliensi Kristiani

Resiliensi, menurut Oxford Dictionary, artinya kapasitas untuk pulih dengan cepat dari sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti kejutan, cidera, dsb. Dengan kata lain ia tangguh dan mampu memukul kembali sekalipun dalam kondisi sepertinya sudah kalah. Resiliensi juga diartikan sebagai kemampuan dari satu benda untuk dapat kembali ke bentuk semula. Atau dengan kata lain ia elastis. Seorang penulis melukiskan resiliensi sebagai bola yang saat jatuh ke bawah mampu untuk memantul kembali. Demikian orang yang tangguh dapat dengan cepat bangun dan pulih kembali. Adalah harapan banyak orang, mereka mampu bertahan dan bahkan mampu bangkit kembali dengan cepat setelah dihantam oleh gelombang demi gelombang badai hidup.

Dewasa ini ada kekuatiran akan rendahnya tingkat resiliensi sebagian orang-orang muda. Generasi stroberi demikian mereka disebut. Sebutan ini merujuk kepada mereka yang memiliki karakteristik seperti buah stroberi. Stroberi kelihatan indah dan menarik, namun sayang kulitnya rapuh. Sedikit saja tergesek ia akan robek. Demikian generasi stroberi, mereka kelihatan menarik dan berbakat, memiliki pendidikan, pengetahuan, teknologi, dan akses informasi yang luas. Namun dalam menghadapi tantangan zaman, ia tidak tahan banting, rapuh, tidak punya daya juang dan mudah menyerah.

Manusia menyadari perlunya ketangguhan agar hidup mereka dapat bertahan dan sukses. Oleh sebab itu mereka melatih anak-anak mereka menjadi tangguh dan tahan banting. Athena dan Sparta adalah dua kota terkenal dalam masyarakat kuno Yunani. Kedua kota ini mewakili dua cara berbeda dalam melatih ketangguhan. Athena adalah pusat seni, hikmat, dan pengetahuan. Yang ditekankan Athena adalah ketangguhan di dalam, dari segi pemikiran. Maka dari Athena lahirlah filsuf-filsuf terkenal seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Pitagoras, dll. Sparta, sebaliknya, mengambil jalan yang berbeda. Mereka menekankan ketangguhan secara fisik dan mental. Maka Sparta dikenal sebagai masyarakat prajurit. Kekuatan militer dan kepahlawanan mereka sangat tersohor. Wajib militer berlaku setiap laki-laki dewasa. Dari sejak umur 7 sampai 20 tahun, seorang anak laki-laki Sparta akan menjalani latihan militer yang sangat keras. Dengan sengaja anak-anak dibiarkan berjuang untuk mandiri, dengan makanan yang minim, dan lingkungan yang keras, mereka harus tetap mampu bertahan dan sukses. Dengan cara ini mereka diseleksi dan dilatih menjadi prajurit yang tangguh.

Alkitab Firman Allah juga mengajarkan resiliensi. Namun resiliensi Kristiani ini tidak didasarkan pada hikmat pengetahuan manusia, seperti yang ditekankan filsuf-filsuf Athena, ataupun berdasarkan ketahanan fisik dan mental, seperti para prajurit Sparta. Resiliensi yang diajarkan Alkitab sebaliknya tidak terletak pada manusia itu sendiri, tetapi terletak kepada penopangan kokoh Allah pada manusia yang rapuh dan fana.

Alkitab Firman Allah mengajarkan hidup manusia yang rapuh dan fana. Pertama, Alkitab mencatat bahwa manusia diciptakan dari debu tanah (Kej. 2:7). Saat manusia berdosa, Allah mengingatkan bahwa manusia adalah debu dan pada akhirnya mereka akan menjadi debu (Kej. 3:19). Sepanjang zaman orang beriman terus mengingatkan diri mereka bahwa mereka hanyalah debu yang fana dan rapuh. Elihu mengingatkan Ayub bahwa mereka semua hanyalah ciptaan dari tanah liat (Ayub 33:6). Pengkhotbah mencatat bahwa pada akhirnya baik binatang maupun manusia akhirnya menjadi debu (Pkh. 3:20). Apa yang diciptakan dari debu kembali menjadi debu dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya (Pkh. 12:7).

Kedua, Firman Allah juga menggambarkan kerapuhan hidup manusia seperti rumput dan bunga di padang. Musa dalam doanya berkata bahwa hidup manusia “seperti rumput yang bertumbuh.” Ia begitu rapuh dan cepat berlalu, karena ia “di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu” (Mzm. 90:5-6). Daud juga berbicara dalam bahasa yang sama. Manusia “hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga” (Mzm. 103:15). Rumput dan bunga di padang mungkin kelihatan segar dan indah, namun keindahannya begitu cepat berlalu, karena “apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalinya lagi” (Mzm. 103:16). Nabi Yesaya membandingkan firman Allah yang kekal dengan umat manusia yang fana. “Seluruh umat manusia adalah seperti rumput dan semua semaraknya seperti bunga di padang… rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya” (Yes. 40:6-8).

Paulus menggunakan gambaran bejana tanah liat (2Kor. 4:7) dan kemah (2Kor. 5:1) untuk menggambarkan realita hidup manusia yang rapuh dan fana. Bejana tanah liat sifatnya rapuh, akan pecah berkeping-keping saat terjatuh. Sedangkan kemah adalah tempat tinggal sementara, yang sifatnya rapuh dan tidak permanen. Kemah bisa sewaktu-sewaktu dibongkar dan dipindahkan. Kemah adalah tempat tinggal kaum pengembara. Demikian Firman Allah menggambarkan hidup manusia di dunia ini.

Namun Firman Allah juga menegaskan bahwa orang-orang beriman kepada Yesus Kristus memiliki resiliensi yang memampukan mereka untuk bertahan dan bahkan sukses mengarungi dunia yang penuh kesukaran dan bahaya ini. Resiliensi ini tidak tergantung kepada pelatihan tubuh jasmani dan jiwa mereka, sebagaimana yang dipraktekkan orang-orang di dunia. Tetapi kekuatan yang membuat mereka menjadi kuat datang dari luar, yakni dari Allah melalui Putra-Nya yang bekerja di dalam Roh Kudus (2Kor. 4:7). Kekuatan ini membuat bejana tanah sekalipun “dihempaskan, namun tidak binasa” (2Kor. 4:9). Bejana tanah tetap bejana tanah liat, ia tidak berubah menjadi bejana plastik, namun tidak hancur saat dihempaskan. Hal ini hanya mungkin karena penopangan ilahi.

Ini yang membedakan resiliensi Kristiani dari praktek latihan resiliensi dunia ini. Sekalipun menekankan aspek yang berbeda, baik cara Athena maupun Sparta, memiliki kesamaan yakni berpusat pada manusia. Entah resiliensi ala Athena yang menekankan hikmat pengetahuan maupun ala Sparta yang menekankan ketahanan fisik, keduanya berpikir bahwa latihan dan metode tertentu mampu membuat natur manusia yang rapuh menjadi tangguh tak terhancurkan. Hal mana adalah mustahil karena dengan latihan apapun bejana tanah liat tetap bejana yang rapuh, dan tidak akan bisa menjadi bejana plastik yang tahan banting.

Orang-orang beriman dipanggil untuk mengakui bahwa mereka hidup dalam tubuh dan jiwa yang rapuh dan fana. Sesuai dengan Firman Tuhan mereka adalah debu, rumput, bunga di padang yang begitu cepat berlalu. Mereka adalah bejana tanah liat yang rapuh, akan hancur saat dihempaskan. Mereka hidup dalam tubuh jasmani yang seperti kemah, yang sewaktu-sewaktu akan dibongkar. Bahwa bejana tanah liat dibanting dan tidak binasa, hanya mungkin jika ada kekuatan Roh Kudus dalam diri mereka. Maka mereka jangan berharap kepada cara resiliensi dunia ini yang sia-sia, tetapi harus mengarahkan harapan dan kekuatan mereka kepada Dia, Allah yang memberikan kekuatan yang berlimpah di dalam Yesus Kristus.(PD)