Bagikan artikel ini :

Serupa Yesus Kristus

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” [Roma 8:29].

Sebuah film dengan judul, “The Host” – adaptasi dari buku yang ditulis Stephany Meyer, cerita tentang invasi makhluk luar angkasa ke bumi. Caranya unik, bukan mengerahkan bala tentara dengan peralatan yang canggih, tetapi marasuki tubuh manusia, menguasai dan memakai tubuh manusia untuk keinginan mereka. Bagi manusia yang terus melawan, kesadaran dirinya masih tetap ada. Manusia tetap sadar tetapi kemauan dan tindakan sudah bukan atas inisiatifnya lagi.

Serupa dengan Yesus Kristus

Bagaimana kalau Yesus menguasai tubuh kita tanpa menghilangkan kesadaran kita. Dia menjadi kita selama dua puluh empat jam ke depan. Dia bangun dari tempat tidur kita. Dia tinggal di rumah kita. Dia hidup menurut jadwal kita. Ibu kita menjadi ibu-Nya. Majikan kita menjadi majikan-Nya. Penderitaan kita menjadi penderitaan-Nya. Kira-kira apa yang akan terjadi?

Apakah orang akan melihat perubahan? Keluarga kita, apakah mereka akan melihat sesuatu yang baru? Rekan kerja kita, apakah mereka merasakan ada perbedaan? Mereka yang kurang beruntung, apakah kita akan memperlakukan mereka dengan cara yang sama seperti sebelumnya? Teman-teman kita, apakah mereka akan melihat kegembiraan yang lebih besar meluap dari diri kita? Bagaimana dengan kita sendiri, bagaimana perasaan kita? Bagaimana dengan tingkat stress kita? Bagaimana dengan suasana hati kita? Bagaimana dengan kesabaran kita? Bagaimana dengan waktu tidur kita, apakah lebih baik? Bagaimana respons kita terhadap orang lain? Bagaimana reaksi kita terhadap kemacetan lalu lintas? Mungkinkah kita masih akan melakukan kebiasaan-kebiasaan lama kita?

Mungkin kesehatan kita tidak berubah. Rutinitas hidup tetap sama. Masalah-masalah kita masih tetap belum terselesaikan. Semuanya masih tetap sama. Tetapi, ada satu perubahan yang akan terjadi. Kalau Yesus hidup di dalam diri kita, maka Dia akan hidup dengan prioritas-prioritas-Nya. Dan prioritas inilah yang menguasai seluruh tindakan kita. Keinginan-Nya mempengaruhi keputusan-keputusan kita. Kasih-Nya akan mengendalikan perilaku kita. Kalau Yesus menguasai hidup kita, maka apa yang akan terjadi dalam hidup kita hari itu adalah apa yang sangat diinginkan dan diharapkan Allah. Apa pun yang kita lakukan (whatever you do) semuanya kita lakukan dengan sungguh-sungguh untuk menyenangkan hati Allah.

Biarkan Saklar tetap ON

Keserupaan seperti Yesus menjadi kunci dalam menyenangkan hati Allah. Apa artinya serupa seperti Yesus? Max Lucado, penulis buku, “Just Like Jesus” (Batam: Interaksara, 2000) mengatakan yang serupa adalah ‘hati’. Hati manusia menjadi serupa seperti hati Yesus. Lebih lanjut Max mengatakan, “Jika Anda sebuah mobil, Allah mau mengendalikan mesinmu. Jika Anda sebuah komputer, Allah akan mengklaim software-mu dan hardisk-mu. Jika Anda sebuah pesawat terbang, Ia akan duduk di kockpit-mu. Tetapi Anda adalah seorang pribadi, maka Allah ingin mengubah hatimu.”

Rencana Tuhan bagi kita tidak kurang dari menciptakan “hati baru” bagi kita. Maka di sini kita lihat bahwa tujuan karya penebusan Yesus di atas kayu salib adalah supaya kita menjadi serupa seperti diri-Nya. Allah ingin supaya kita memiliki hati seperti hati Yesus Kristus Sang Teladan Agung bagi hidup kita.

Mungkinkah bisa terjadi? Sebenarnya kita sudah punya! Kita sudah memiliki hati Yesus. Salah satu janji Allah adalah “Jika kita sudah menyerahkan hidup kita kepada Yesus, maka Dia sudah memberikan diri-Nya kepada kita”. Dia telah membuat hati kita menjadi tempat kediaman-Nya. Paulus berkata, “Hidupku ini bukannya aku lagi tetapi Kristus yang hidup dalam aku”.

Tetapi mungkin ada diantara kita berkata, “Kalau saya mempunyai hati Yesus, kenapa saya masih hidup dengan hati dan kehendak saya sendiri?” Max Lucado menjawab pertanyaan ini melalui cerita berikut. Seorang wanita yang mempunyai rumah kecil di pantai Irlandia pada akhir abad yang lalu. Ia sangat kaya tetapi juga amat sangat hemat. Maka orang-orang sangat heran sekali bahwa ia termasuk di antara yang pertama-tama memutuskan untuk memasang listrik di rumahnya.

Beberapa minggu setelah pemasangan listrik itu, seorang yang mencatat meteran datang ke rumahnya. Ia bertanya apakah listrik di rumahnya bekerja dengan baik, yang di jawab bahwa memang bekerja dengan baik. Lalu ia bertanya lagi, “Saya ingin tau apakah ibu dapat menjelaskan sesuatu kepada saya: Meteran ibu menunjukkan bahwa listrik hampir tidak dipakai. Apakah ibu menggunakannya?” “Tentu saja,” jawab si ibu. “Setiap menjelang malam waktu matahari terbenam, saya nyalakan listrik cukup lama sebagai penerangan untuk saya bisa memasang lilin. Lalu saya matikan lagi listriknya!”

Ia sudah membuka sumber tenaga listrik tetapi tenaga listrik itu sendiri tidak dipakai dengan baik. Rumahnya ada hubungan listrik tetapi tidak terjadi perubahan. Bukankah kita juga sering membuat kesalahan yang sama? Kita adalah jiwa-jiwa yang sudah diselamatkan tetapi hati tidak berubah. Ada hubungan dengan Tuhan tetapi tidak berubah. Kita meminta Kristus untuk menyelamatkan kita tetapi menentang perubahan. Sekali-kali kita “on” saklarnya tetapi kebanyakan kali kita sudah puas hidup dalam bayangan gelap, saklarnya “off”.

Apa yang akan terjadi kalau kita biarkan lampu itu menyala terus? Kita akan hidup dalam terang. Perubahan-perubahan apa yang akan terjadi kalau kita berupaya hidup dalam terang Kristus? Rencana Tuhan atas kita adalah transformasi total.

Transformasi

Max Lucado mengatakan, “Allah mengasihimu apa adanya, namun Ia menolak membiarkanmu seperti itu. Ia ingin supaya Anda menjadi persis seperti Yesus.” Ketika anak saya, Jenna masih balita, saya biasa membawa dia ke taman tidak jauh dari apartemen kami. Pada suatu hari ketika ia sedang bermain di kotak pasir, penjaja es krim datang mendekat. Saya belikan dia es krim. Ketika saya berbalik untuk memberikannya kepada Jenna, saya melihat mulutnya penuh pasir. Tempat yang seharusnya saya berniat mengisi dengan sesuatu yang enak diisinya dengan kotoran.

Apakah saya rela melihatnya dengan kotoran di mulutnya? Tentu saja tidak. Apakah dia sudah bukan anak saya karena kotoran itu? Dia tetap anak saya. Apakah saya akan membiarkan dia terus dengan kotoran di mulutnya? Jelas tidak! Saya mencintai dia apa adanya, tetapi saya menolak untuk membiarkan dia seadanya. Saya mengangkat dia dan membawa dia ke air mancur dan mencuci mulutnya. Karena saya mencintainya.

Allah juga begitu. Ia mengangkat kita ke air mancur-Nya untuk membersihkan kita. “Kalau saya makan kotoran memangnya kenapa?” Kita bisa saja berkata begitu, tetapi kalau kita berbuat begitu kita yang rugi. Allah menawarkan yang lebih baik, Ia ingin supaya kita menjadi persis seperti Tuhan Yesus. Soli Deo Gloria. [Ar2]