Bagikan artikel ini :

Tinjauan Istilah "Damai Sejahtera" Di Dalam Alkitab

Pada Advent minggu kedua ini kita diingatkan kembali akan istilah “damai sejahtera”, sebuah istilah di dalam Alkitab yang penting serta memiliki makna yang luas dan dalam. Di dalam Perjanjian Lama, kata yang sering diterjemahkan menjadi “damai sejahtera” adalah kata šālôm. Kata šālôm pada dasarnya berarti “keutuhan” (wholeness: keutuhan yang nyata dan seseorang yang utuh). Dalam hal ini, šālôm mencakup keharmonisan sosial, pertumbuhan yang tidak terhambat, serta perwujudan yang penuh dari jiwa. Selain itu, kata šālôm juga berarti “kesejahteraan” (well-being atau welfare). Dalam hal ini, ada penekanan akan hal-hal yang materi, seperti kesehatan tubuh, kemakmuran, dan kecukupan. Ketika šālôm dikaitkan dengan kebersamaan, kata tersebut kurang lebih berarti “damai sejahtera”.

Di dalam beberapa bagian Alkitab, šālôm menyatakan hubungan yang bersahabat antar bangsa ataupun antar individu. Dengan demikian, kata šālôm dihubungkan dengan perjanjian. Sebuah perjanjian akan memprakarsai atau memeteraikan kerukunan atau persahabatan (Yosua 9:15, Yehezkiel 34:25). Di dalam Kitab Yehezkiel, Allahlah yang mengadakan perjanjian damai, sehingga istilah šālôm bisa terekspresikan dalam relasi antara Allah dengan umat-Nya (lihat Yesaya 54:10)

Meskipun ada arti materi di dalam kata šālôm, tetapi kata šālôm selalu merupakan istilah keagamaan karena semua berkat dipandang datangnya dari Tuhan. Di dalam Hakim-Hakim 6:24 kata šālôm diterjemahkan sebagai “keselamatan”. Allah menyelenggarakan damai di tempat-Nya yang tinggi (Ayub 25:2), tetapi Allah juga menjanjikan damai bagi kita, memberkati umat-Nya dengan kedamaian, dan menghendaki kesejahteraan dari para hamba-hamba-Nya. Damai yang Allah berikan pastilah serba cukup.

Dalam pesan-pesan nubuatan di Kitab para nabi, šālôm adalah istilah kunci yang menggambarkan nabi yang asli dibandingkan dengan mereka yang menjanjikan damai sejahtera yang palsu. Nabi Yehezkiel, contohnya, menghadapi nabi-nabi palsu yang seperti ini. (Yehezkiel 13:16). Nabi yang asli akan menubuatkan tentang šālôm (Yeremia 28:9). Permasalahan tentang nabi palsu bukanlah karena tidak ada pesan yang sejati tentang damai sejahtera, namun bahwa mereka menafsirkan damai sejahtera sebagai sesuatu yang murni bersifat politis, mengabaikan dosa umat Allah, dan oleh karena itu gagal untuk melihat atau menyerukan penghakiman yang akan datang. Kekalahan Israel pada tahun 597 dan 586 S.M. membuka pintu bagi janji damai sejahtera yang sejati dari Allah di dalam pengertian yang lebih luas dan lebih penuh. Oleh karena itu Nabi Yeremia menyerukan bahwa rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11) dan Nabi Yehezkiel menyatakan bahwa Allah akan mengadakan perjanjian damai (Yehezkiel 34:25). šālôm bukan hanya berarti tidak adanya perang atau konflik, namun juga damai sejahtera yang dikaitkan dengan hidup benar di hadapan Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya (Yesaya 48:18) dan menjadi murid Tuhan (Yesaya 54:13).

Janji akan šālôm di dalam pengertian yang lebih luas juga berkaitan dengan pengharapan eskatologis. Ketika pemulihan Firdaus dinubuatkan, perdamaian antar bangsa dijanjikan (Yesaya 2:3-4), dan raja yang membawa damai akan datang (Zakharia 9:9-10). Mesias yang dijanjikan akan menjadi Raja Damai (Yesaya 9:5) dan akan menjaga serta menjamin damai sejahtera yang abadi (Yesaya 9:6) – karena Dialah damai sejahtera itu sendiri (Mikha 5:5). šālôm jarang sekali dimaksudkan sebagai sesuatu yang individualis. Shalom selalu menemukan perwujudan keluar secara sosial.

Dalam Perjanjian Baru istilah eirḗnē (Yunani) dipakai untuk menerjemahkan istilah šālôm. Eirḗnē secara terutama menyatakan sebuah status, bukan sebuah relasi ataupun sikap. Kata eirḗnē pertama-tama digunakan dalam salam pembuka di dalam kisah Injil dan di dalam penulisan surat-surat serta salam penutup (1 Pet 5:14). Sejalan dengan Perjanjian Lama, kata eirḗnē pun digunakan ketika menyebutkan mengantar kepergian (Markus 5:34, Kis. 15:33). Namun arti yang sesungguhnya dalam Perjanjian Baru tentunya memiliki pengertian yang lebih dalam tentang keselamatan. Hal ini mencakup kerukunan antar manusia (Kis. 7:26) dan juga damai dengan Allah.

Eirḗnē dalam arti yang paling luas berarti suatu kondisi yang normal akan segala hal. Di dalam 1 Korintus 14:33 Rasul Paulus menyatakan bahwa damai sejahtera adalah kondisi yang seharusnya terjadi, kontras dengan kebingungan yang diakibatkan oleh nubuatan yang kacau di Korintus. Damai sejahtera adalah sesuatu yang Allah kehendaki, bukan hanya bagi jiwa manusia, tetapi bagi seluruh ciptaan.

Istilah eirḗnē juga berarti keselamatan eskatologis atas manusia seutuhnya. Pengertian ini didasarkan atas pengertian akan istilah šālôm di dalam Perjanjian Lama. Oleh karena itu, di dalam Lukas 1:79 eirḗnē adalah keselamatan eskatologis yang dinanti-nantikan. Di dalam Lukas 2:14 dinyatakan bahwa damai sejahtera adalah keselamatan yang sekarang telah datang ke dalam dunia. Damai sejahtera telah datang sebagai sebuah peristiwa sejarah di dalam pribadi Kristus (Wahyu 12:10). Kristus adalah raja damai sejahtera (Ibrani 7:2), Injil adalah Injil damai sejahtera (Efesus 6:15). Kristus meninggalkan damai sejahtera bagi murid-murid-Nya (Yohanes 14:27), yang akan menolong mereka menghadapi penderitaan akibat penganiayaan yang akan mereka alami (Yohanes 16:33). Ketika para murid pergi di dalam nama Kristus, mereka menawarkan damai sejahtera (Lukas 10:5-6). Kita harus berusaha hidup damai dengan semua orang (Ibrani 12:14). Damai sejahtera akan memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7) dan memerintah dalam hati kita (Kolose 3:15), meski dalam relasi dengan sesama terkadang mungkin akan menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan damai (Matius 10:34-35). Makna lain bagi eirḗnē adalah damai sejahtera bagi jiwa. Roma 15:13 menyatakan bahwa damai sejahtera bagi jiwa dimungkinkan hanya oleh karya keselamatan Allah yang memulihkan kita.

Istilah eirḗnē dalam Perjanjian Baru juga berarti damai dengan Tuhan. Hukum Taurat telah memisahkan orang Yahudi dengan orang Yunani serta memisahkan Israel dengan Allah, dan Kristus sebagai damai sejahtera telah memulihkan kedua relasi tersebut, karena Dia telah meruntuhkan tembok permusuhan dengan memperdamaikan kita dengan Allah (Efesus 2:14-18, Roma 5:1). Selain itu, istilah eirḗnē juga berarti damai antara satu dengan yang lain. Ketika Paulus dalam Roma 14:17 berkata bahwa Kerajaan Allah adalah soal damai sejahtera, dia menyatakan bahwa peraturan Allah adalah peraturan yang tidak melibatkan kejahatan dan perselisihan, oleh karena itu Paulus mengundang kita untuk mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera (ay. 19), baik dengan saudara seiman maupun dengan semua orang.

Sebagai kesimpulan, hidup yang memiliki damai sejahtera yang sejati adalah sebuah hidup yang utuh yang hanya bisa didapatkan di dalam Kristus. Ketika kita menerima Kristus, kita menyadari bahwa kita hidup di dalam kesejahteraan. Hati kita dipenuhi dengan kecukupan karena kita menyadari bahwa Allah telah begitu memberkati kita. Jiwa kita tenang karena kita telah didamaikan dengan Allah serta memiliki relasi yang intim dengan-Nya di setiap waktu. Dalam hubungan kita dengan Allah, kita mengalami pertumbuhan rohani di dalam keserupaan dengan Kristus. Selain itu, kita bebas dari rasa bersalah dan hukuman karena kita hidup kudus dan benar sesuai Firman Allah. Jiwa kita juga tenang karena kita memiliki hubungan yang baik dengan anggota keluarga, saudara seiman, rekan sekerja atau rekan bisnis, komunitas dimana kita tinggal, bahkan dengan semua orang. Tidak ada konflik, perselisihan, atau dendam, namun sebaliknya, kita mengisi hidup dengan mengusahakan kesejahteraan bagi mereka. Kita juga memiliki pengharapan pasti akan keselamatan kita dan oleh karena itu kita tidak takut akan penghakiman yang akan datang. Kita siap menyambut kedatangan Yesus yang kedua kalinya.*[YS]