Bagikan artikel ini :

Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin

Saya sangat kagum dengan kakak sepupu saya. Di kala para remaja putri mengadakan pesta sweet seventeen atau ulang tahun ke tujuhbelas di hotel-hotel atau restoran-restoran mewah, kemudian tampil dengan mengenakan gaun yang harganya tidak kalah mahal dibanding gaun pengantin, kakak sepupu saya malah mengadakan pesta sweet seventeen-nya di sebuah panti asuhan. Semua ini karena Lukas 14:12-14 yang menjadi perenungan hari ini.

Apa yang salah dengan yang dilakukan kakak sepupu saya? Tidak ada. Malah, ini adalah tindakan yang sangat terpuji. Namun, problemnya adalah jika kita membatasi penafsiran kita terhadap Lukas 14:12-14 hanya sebatas kepada pembacaan yang literalistik. Sangat reduktif jika kita membaca bagian ini dan hanya menarik aplikasinya sekadar mengenai bagaimana menyusun daftar nama-nama undangan dalam pesta. Jika bagian ini hanya secara sempit ditafsirkan mengenai keramahtamahan (hospitality) dan derma (charity), kita akan kehilangan kekayaan maknanya.

Untuk menggali kekayaan makna tersebut, pertama-tama kita harus memahami konteks bagian ini. Pada zaman itu, terdapat sebuah budaya elitis di Roma di mana orang-orang kaya akan memperluas koneksinya melalui perjamuan. Ketika mereka akan berpesta, mereka akan menyusun daftar tamu-tamu undangan berdasarkan orang-orang yang mereka ingin membangun koneksi. Hal ini juga yang ditiru oleh orang-orang Yahudi di zaman Tuhan Yesus, salah satunya adalah tuan rumah yang mengundang-Nya. Itulah sebabnya Tuhan Yesus memberinya teguran demikian.

Sebenarnya, budaya seperti ini berlangsung terus sampai masa sekarang. Jika Anda penyuka drama-drama Korea, Anda tentunya sering melihat adegan-adegan di mana para konglomerat atau chaebol akan mengundang sesama konglomerat untuk membangun koneksi. Mungkinkah mereka mengundang orang-orang miskin dan terlantar? Tidak mungkin. Tak hanya di drama-drama Korea, hal-hal seperti ini pun terjadi di dunia nyata. Yang kaya bergaul dengan yang kaya, yang miskin bergaul dengan yang miskin.

Jadi, Lukas 14:12-14 berbicara mengenai bagaimana seseorang harusnya berbagi koneksi. Dunia ini penuh dengan orang-orang yang memiliki motivasi tersembunyi untuk saling memanfaatkan satu sama lain. Budaya seperti ini pada akhirnya mengakibatkan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Kekayaan hanya berputar di kalangan elit tertentu saja, sementara yang terlantar akan makin terlantar karena tidak mendapat bagian dalam koneksi tersebut.

Tentu saja, ayat ini tidak hanya membicarakan tentang kekayaan secara finansial. Sikap elitis dan hanya mau berkoneksi dengan orang yang setara juga nampak dalam mereka yang kaya di dalam hal popularitas, dalam hal pendidikan, dan sebagainya. Para influencer di sosial media seperti Instagram atau Youtube hanya akan bergaul sesama influencer yang memiliki followers atau subscriber dengan jumlah tertentu. Kalangan akademis seringkali merasa eksklusif sendiri, membagikan ilmu hanya kepada orang-orang yang dianggap memiliki intelektualitas setinggi mereka. Inilah yang menyebabkan monopoli tidak hanya terjadi dalam kekayaan, tetapi juga dalam popularitas dan ilmu.

Elitisme seperti itu memang tidak baik. Namun yang paling celaka adalah, sikap elitis seperti ini bahkan bisa terjadi dalam kekayaan kesalehan hidup dan kerohanian! Beberapa penafsir berpendapat bahwa pesta yang dihadiri Tuhan Yesus adalah pesta yang diadakan oleh seorang Farisi, yang mengundang orang-orang yang dianggapnya sama salehnya dan mengerti Taurat sepertinya. “Kesalehan” pun rupanya bisa dimonopoli!

Di masa kini, hal ini dapat diamati di gereja. Kecenderungan yang terjadi adalah ada kelompok-kelompok dalam gereja, seolah-olah disusun berdasarkan hierarki seberapa saleh seseorang menganggap dirinya, entahkan di dalam pengetahuan doktrinnya, keaktifannya mengikuti pelayanan-pelayanan tertentu, jabatan kepemimpinan yang dipegangnya dalam gereja tersebut, dan lain sebagainya. Yang paling mengerikan adalah jika elitisme seperti ini terjadi dalam Care Group. Ada satu kelompok yang sangat rohani dan seharusnya bisa menjadi pemimpin, sementara yang dianggap “kurang rohani” disisihkan menjadi sebuah kelompok. Akibatnya, yang merasa dirinya saleh akan makin merasa diri saleh, yang bayi rohani akan tetap bayi rohani. Pemuridan akan gagal dan penginjilan tidak akan berjalan.

Solusi yang diberikan Tuhan Yesus adalah, “undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.” Dengan kata lain, memperluas koneksi sedemikian hingga mencakup orang-orang yang tidak bisa memberikan keuntungan apa-apa. Tuhan Yesus menghendaki agar koneksi kita berbeda dengan koneksi orang-orang dunia. Manakala dunia membangun koneksi untuk sekedar memanfaatkan, maka koneksi yang kita bangun justru adalah untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Di dalam bisnis, seseorang dapat menjadi mentor bagi rekanan bisnis yang baru memulai usahanya. Di dalam dunia pendidikan, seseorang yang memiliki ilmu lebih dapat menyalurkannya kepada kalangan awam dengan mengedukasi mereka. Di dalam gereja, hal ini tercapai dalam pendewasaan CG, di mana anggota-anggota CG yang telah dipersiapkan akan menjadi pemimpin-pemipin CG di kalangan petobat baru.

“Undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.” Itulah solusi Tuhan Yesus untuk menghapus sikap elitisme. Begitu pentingnya menghapus sikap ini, sampai-sampai Tuhan Yesus membubuhi suatu janji yang indah di akhir perintah ini, yakni “engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.” Jika melihat kronologi kehidupan dan pengajaran Tuhan Yesus, inilah kali pertama Ia mengajarkan tentang kebangkitan. Menariknya, pengajaran tentang kebangkitan orang benar bukan diberikan sebagai sebuah dogma yang mati dan dingin, melainkan sebuah janji indah yang dikaitkan dengan perintah untuk saling berbagi! Mengapa? Sebab Tuhan Yesus sedang berbicara dengan orang-orang Farisi. Berkebalikkan dengan orang-orang Saduki yang tidak percaya kebangkitan (Luk. 20:27), orang-orang Farisi membanggakan kepercayaan mereka akan kebangkitan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengaitkan kebangkitan orang mati dengan perintah untuk berbagi, Ia seolah sedang menyindir orang Farisi tersebut, “Apa gunanya kamu percaya kebangkitan, kalau hidupmu tidak pernah berbagi? Kamu toh tidak akan mendapat apa-apa pada hari kebangkitan itu!” Kalaupun orang Farisi itu dibangkitkan, tetapi jika hidupnya tidak pernah berbagi, dia tidak akan menikmati apa-apa.

Inilah perintah Tuhan Yesus bagi murid-murid-Nya. Ya, sifat elitis dan saling memanfaatkan merupakan natur kita sebagai manusia berdosa. Sebaliknya, saling berbagi dan membangun koneksi dengan orang-orang yang tidak akan menguntungkan kita sangatlah berlawanan dengan natur tersebut. Tetapi, bukankah itu yang diteladankan Tuhan kita sendiri? Ia bisa saja bersikap “elit.” Bukankah persekutuan ketiga Pribadi Allah Tritunggal yang begitu indah cukup untuk-Nya? Tak hanya itu, bukankah ada begitu banyak malaikat yang siap melayani-Nya? Tetapi Tuhan Yesus membangun koneksi dengan kita, sekalipun hal itu tidak memberikan keuntungan apapun baginya. Sebaliknya, Ia malah rugi besar, bahkan harus kehilangan nyawa-Nya. Tetapi karena koneksi itulah, kini kita memiliki hidup yang kekal bersama-sama dengan-Nya.

Itulah sebabnya mengapa kita seharusnya meneladani tindakan Tuhan Yesus dalam kehidupan kita sehari-hari. Memang kadang tidak ada untungnya bagi kita untuk berbagi, baik dalam hal materi, network, maupun ilmu, kepada orang-orang yang tidak bisa membalasnya. Tetapi coba bayangkan jika semua orang hidup dengan sikap elitisme. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.” Bukankah ini berkebalikkan dengan Tuhan kita? Ia yang Maha Kaya dalam segala hal, menjadikan diri-Nya supaya kita yang miskin dapat menjadi kaya – bukan hanya bagi kenikmatan diri, tetapi supaya kita pun dapat menjadi saluran berkat bagi orang-orang yang lain? *DBO