Bagikan artikel ini :

Yesus Adalah Kristus

Sebagai orang Kristen, kita tentu sering sekali menyebut nama Yesus Kristus. Apakah Kristus adalah nama marga dari Yesus seperti Budi Widjaja memiliki marga Widjaja atau Helen Simamora memiliki marga Simamora? Orang yang tidak tahu bisa mengira demikian, tetapi Kristus bukanlah marga, atau nama kedua dari Yesus. Kristus adalah sebuah titel atau jabatan. Kristus adalah versi Indonesia dari Christos dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru. Kata itu sendiri dipakai untuk menerjemahkan kata Mashiach dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama, yang dalam bahasa Indonesia dituliskan Mesias. Arti kata ini adalah ‘yang diurapi’. Di dalam Perjanjian Lama, istilah ‘yang diurapi’ sangat sering dikaitkan dengan penunjukan Tuhan atas seseorang untuk tugas khusus tertentu, seperti untuk imam besar atau raja. Misalnya, nabi Samuel mengurapi Saul untuk menjadi raja dan kemudian mengurapi Daud untuk menjadi raja pengganti Saul. Jadi menyebut Yesus Kristus berarti menyebut Yesus Yang Diurapi dan dengan demikian mengaitkan Yesus dengan kerajaan, yakni sebagai seorang raja yang menjadi keturunan dari Raja Daud.

Pengharapan akan kedatangan seorang raja bagi umat Tuhan memiliki akar jauh sebelum kelahiran Israel sebagai umat, yakni pada janji Tuhan kepada Adam dan Hawa setelah mereka berdosa (Kej. 3:15-17). Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa akan ada ‘keturunan perempuan’ yang meremukkan kepala si ular, tetapi tumitnya sendiri akan diremukkan. Di dalam protevangelium ini ada nuansa kekuasaan tetapi sang penguasa itu sendiri juga harus menderita. Protoevangelium ini kemudian berkembang semakin jelas melalui berbagai penahapan, mulai dari para bapa Israel mula-mula (Abraham dan keturunannya) yang berpuncak pada kehadiran Daud.

Daud adalah raja yang membawa kegemilangan dalam sejarah umat Israel dan kerajaan Daud menjadi salah satu pusat dalam karya penyelamatan Allah untuk bangsa Israel. Kegagalan raja-raja setelah kerajaan Daud untuk hidup sesuai perintah Tuhan membawa berita dari para nabi bahwa suatu hari Allah akan membangkitkan seorang raja dari dinasti Daud yang membawa keadilan, kedamaian dan kemakmuran, untuk menyelamatkan Israel. Berita ini menjadi pengharapan bagi umat yang sedang mengalami kehancuran dan pembuangan.

Dalam masa setelah pembuangan, bangsa Israel berada dalam tekanan kekuasaan besar dari Persia, Yunani dan Romawi silih berganti. Sekalipun demikian, kerinduan akan datangnya raja pembebas tidak hilang, malahan semakin kental. Ada beragam ciri dan sebutan bagi pembebas Israel yang diharapkan. Mesias adalah salah satu titel utama dari pembebas yang dinantikan tersebut. Sebetulnya gambaran yang muncul di kalangan umat Yahudi masa itu tentang identitas mesias ini bermacam-macam. Kitab Mazmur Salomo misalnya, yang merupakan tulisan orang Yahudi dari tahun 50 SM (jadi bukan betul-betul mazmur yang ditulis Salomo, yang hidup sekitar tahun 700-800 SM), mengatakan bahwa Mesias yang datang akan mengusir penjajah asing, menjadi hakim semua bangsa, berkuasa atas Israel dengan hikmat dan kebenaran dan menyatukan seluruh Israel. Teks-teks lain berbicara tentang mesias yang lebih bersifat seperti nabi, imam atau bahkan ilahi.

Di dalam Perjanjian Baru, para penulis Injil mengaitkan Yesus, yang disebutkan berasal dari keturunan Raja Daud, dengan ‘yang diurapi’. Dengan demikian, mereka menyatakan bahwa Yesus adalah Raja dan sekaligus adalah Mesias. Ironisnya, kehidupan Yesus jauh dari kehidupan seorang keturunan raja. Bahkan, gambaran tentang Yesus sebagai raja justru lebih banyak muncul secara tidak langsung dalam berbagai peristiwa sengsara-Nya (di hadapan Pilatus, dikenakan mahkota duri, dalam caci maki orang kepada-Nya di kayu salib, bahkan dalam tulisan di salib Yesus).

Menurut catatan kitab-kitab Injil, Yesus tidak pernah menyatakan Diri-Nya sendiri sebagai Mesias secara langsung sebelum kematian-Nya. Alasan utama mengapa demikian adalah karena konsep tentang Mesias yang berkembang di masyarakat Yahudi pada waktu itu, seperti yang diungkapkan di atas, sangat berbeda dengan kemesiasan yang dibawa oleh Yesus. Tidak heran kalau Yohanes Pembaptis sepertinya meragukan Yesus ketika ia selaku pengikutnya harus mendekam di penjara (Mat. 16:22), dan Petrus menolak penderitaan dan kematian Yesus. Bagi murid-murid Yesus, Mesias haruslah sosok pahlawan yang mengalahkan musuh, bukan sosok yang kalah, menderita, apalagi mati.

Yesus menolak identifikasi mesias seperti yang dipahami rakyat dan pemimpin Yahudi pada waktu itu. Dia mengatakan bahwa Kerajaan-Nya bukan berasal dari dunia. Dia juga mengajarkan bahwa kasih, sekalipun terhadap musuh, harus menjadi ciri utama pengikut-Nya. Ketika Dia masuk ke Yerusalem pada Minggu Palma, Dia mengendarai seekor keledai dan bukan kuda yang gagah perkasa.

Hanya setelah kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus diidentikkan dengan Kristus secara lebih tegas. Lukas mencatat perkataan Yesus kepada kedua orang murid yang dijumpai-Nya dalam perjalanan ke Emaus dan kesebelas murid-Nya bahwa Kristus harus mengalami penderitaan sesuai penggenapan kitab suci (Luk. 24:25-27, 44-47). Rasul Yohanes, misalnya, di bagian akhir penyusunan kitabnya mengatakan bahwa semua yang dicatat memiliki tujuan agar pembacanya percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah (Yoh. 20:30-31). Penyebutan Yesus sebagai Kristus juga paling banyak dicatat dalam surat-surat Paulus yang semuanya ditulis setelah kenaikan Yesus ke Surga.

Menerima Yesus sebagai Kristus atau Mesias berarti menerima Dia juga dalam kemanusiaan-Nya sebagai manusia utuh yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang umat Allah. Dia bukan sekadar datang dan mengumumkan barangsiapa percaya kepada-Nya akan masuk Surga, tetapi Dia juga menjadi penggenapan janji Allah akan pembebas sejati. Dia juga bukti kesetiaan dan kasih Allah kepada umat-Nya. Kehadiran-Nya yang menolak pandangan umat Israel tentang seperti apa mesias seharusnya, juga menyatakan independensi-Nya terhadap penafsiran para ahli Yahudi. Sebaliknya Dia meredefinisi dan menyatakan sendiri seperti apa Mesias seharusnya: mesias yang menjadi bagian janji Allah sejak Taman Eden, Mesias yang merendahkan diri sebagai hamba, harus menderita dan mati untuk menebus dosa umat Tuhan, Mesias yang menyatukan Israel yang baru, yakni orang percaya di segala zaman, melalui kematian-Nya dan pemberian Roh Kudus, Mesias yang memberi mereka teladan dan standar moral yang absolut, dan Mesias yang menghancurkan musuh umat Tuhan paling akhir, yakni Iblis, kuasa Iblis dan kematian. Marilah kita bersyukur untuk kedatangan Yesus yang adalah Kristus dan mengingat kembali hari-hari penderitaan-Nya bagi kita serta merayakan kemenangan-Nya pada Minggu Paskah.(TDK)