Power Corrupts
Pengkhotbah 4:1; 9:13-18
Jika orang fasik mendapat kekuasaan, orang menyembunyikan diri, tetapi jika mereka binasa, bertambahlah jumlah orang benar.
- Amsal 28:28
Presiden Amerika Abraham Lincoln pernah mengatakan, “Hampir semua orang dapat berhadapan dengan kesulitan. Tetapi jika engkau ingin menguji karakter seseorang, berikan ia kekuasaan.” (Nearly all men can stand adversity. But if you want to test a man’s character, give him power). Benar kenyataan yang disampaikan Lincoln. Mengapa? Karena justru seseorang dapat melakukan segala bentuk kejahatan ketika ia berkuasa. Ketika orang yang tidak berkuasa tidak melakukan kejahatan, belum tentu karena ia orang yang bermoral. Bisa jadi karena ia takut penghakiman dari pihak-pihak yang berada di atasnya. Ketika seseorang berada di puncak sehingga tidak ada seorang pun dapat menghakiminya, tetapi ia masih melakukan apa yang baik, tandanya memang ia adalah orang yang bermoral.
Lebih jauh lagi, kekuasaan bukan hanya sebuah ujian karakter. Kekuasaan dapat merusak karakter seseorang. Itulah sebabnya ada istilah “kekuasaan merusak” (power corrupts), baik mereka yang diberi kuasa maupun mereka yang dikuasai. Tidak heran mereka yang memperjuangkan keadilan sosial, seperti Maximilien Robespiere dan Napoleon Bonaparte dalam masa Revolusi Prancis, selalu berakhir menjadi diktator. Orang-orang kemudian akan mengulangi kembali lingkaran setan penindasan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya.
Jadi, apa yang menjadi solusi Raja Salomo? Dalam Pengkhotbah 9:13-18, ia mengisahkan tentang orang miskin yang dengan hikmatnya menyelamatkan sebuah kota. Sayangnya, orang miskin berhikmat tersebut tidak diingat. Kisah ini ditutup dengan kesimpulan bahwa perkataan orang berhikmat dalam ketenangan lebih baik daripada teriakan orang berkuasa yang jatuh ke telinga orang bodoh. Dengan kata lain, solusi Salomo adalah menjadikan hikmat sebagai pemecah permasalahan, bukan satu figur otoritas.
“Semua juga tahu!” mungkin Anda berkata. Namun, apakah benar demikian? Buktinya, berapa banyak perusahaan, organisasi, negara, bahkan gereja yang lebih mengutamakan keberadaan satu sosok figur terkenal daripada hikmat? “Pokoknya turuti saja kata beliau!” Inilah maksud Salomo dengan perkataan orang berkuasa yang jatuh ke telinga orang bodoh, yakni orang yang asal menurut saja.
Sebaliknya, ketika suatu komunitas dipimpin oleh hikmat Allah maka yang seharusnya terjadi adalah musyawarah, bukan “apa kata beliau”. Hikmat Allah bisa berbicara lewat semua orang, bahkan yang paling tidak berkuasa sekalipun.
Refleksi Diri:
- Apakah Anda memegang peranan pemimpin atau yang dipimpin? Jika Anda pemimpin, apakah cenderung otoriter? Jika Anda yang dipimpin, apakah sekadar melakukan yang diperintahkan tanpa pertimbangan?
- Bagaimana cara Anda mengembangkan budaya musyawarah untuk mencapai keputusan yang paling berhikmat?