Aku Percaya Allah, Bapa Yang Maha Kuasa
Setiap Minggu, orang-orang Kristen di seluruh dunia mendeklarasikan iman mereka dengan mengucapkan Pengakuan Iman Rasuli, di mana kalimat pertama berbunyi: “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Maha Kuasa….” Artikel singkat ini akan mengupas makna kalimat ini. Secara khusus akan dibahas apakah maknanya saat orang percaya memanggil Allah dengan sebutan Bapa.
Mengikuti ajaran Yesus Kristus, orang-orang percaya saat berdoa, memanggil Allah sebagai Bapa. “Bapa kami yang di sorga…” (Mat. 6:9). Memanggil Allah dengan sebutan Bapa menjadi begitu umum hingga banyak orang Kristen tidak lagi menganggapnya sebagai satu hak istimewa untuk mengucapkannya. Sesungguhnya tidaklah umum bagi penganut agama-agama lain untuk memanggil allah mereka dengan sebutan ini. Entah karena dalam iman mereka tidak diajarkan, ataupun mereka tidak berani mengucapkannya.
Joachim Jeremias dalam bukunya The Lord’s Prayer menekankan keunikan sebutan Bapa dalam doa Yesus. Menurut penjelasannya, dalam bahasa Aram, abba dan imma adalah panggilan seorang anak untuk ayah dan ibunya. Jadi abba adalah kata sehari-hari yang dipakai di rumah dan kata yang umum, panggilan akrab seorang anak bagi ayahnya. Maka, Joachim menyimpulkan: “Tidak ada orang Yahudi yang berani memanggil Allah dengan cara seperti ini. [Namun] Yesus selalu melakukannya di dalam semua doa-doa yang diajarkan-Nya kepada kita, kecuali satu doa yang diucapkan-Nya di kayu salib: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku” (Markus 15:34; Mat.27:46). Maka adalah sangat istimewa saat Yesus mengajarkan kita memanggil Allah dengan sebutan Bapa.
Sebutan Abba atau Bapa bukan saja istimewa, tetapi juga memiliki makna yang dalam, yang akan menjadi fokus tulisan ini. Saya akan merangkum penjelasan yang diberikan oleh dua teolog Reformed. Zacharias Ursinus dan William Perkins. Zacharias Ursinus bersama dengan Caspar Olevianus adalah pengarang Katekismus Heidelberg. Ursinus menjelaskan topik dalam bukunya Commentary on the Heidelberg Catechism, untuk tanya jawab ke-26 Katekismus Heidelberg. Sedangkan William Perkins, teolog besar Reformed Puritan menjelaskan topik ini dalam karyanya Exposition of the Apostles’ Creed.
Apa artinya saat kita berucap: Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi. Ada beberapa poin ditekankan dalam kalimat ini. Kita hanya mengupas dua poin.
- Aku Percaya kepada Allah
Penekanan pertama adalah bahwa Allah disini bukan hanya ditujukan kepada Bapa, tetapi kepada ketiga Pribadi Allah: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dengan demikian dalam mengucapkan kalimat ini perlu ada koma atau jeda di antara Allah dan Bapa: Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa… dan kepada Yesus Kristus… Aku percaya kepada Roh Kudus. Dengan demikian kita percaya bahwa Allah yang sejati adalah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Pengakuan Iman Rasuli, kata Allah hanya disebutkan satu kali saja, karena Allah hanya satu adanya. Namun Allah yang satu ini ditujukan bukan kepada Bapa saja, tetapi juga kepada Putra, dan Roh Kudus. Allah yang kita akui adalah Allah Tritunggal.
- Bapa
Kalimat pertama--kita mengaku percaya Allah--diteruskan dengan frase Bapa yang Maha Kuasa, Khalik langit dan bumi. Kata Bapa perlu penjelasan mendalam. Ursinus menjelaskan bahwa sebutan Bapa perlu dimengerti berdasarkan tiga rujukan. Pertama, saat dibedakan dari Putra dan Roh Kudus, maka Bapa adalah Pribadi pertama dari Allah Tritunggal. Yesus Kristus adalah Pribadi kedua dan Roh Kudus Pribadi ketiga. Dalam kalimat Aku percaya Allah, Bapa… dan kepada Yesus Kristus…kepada Roh Kudus, jelas Bapa dibedakan dari Yesus Kristus dan Roh Kudus, maka Bapa disini merujuk kepada Pribadi yang pertama Tritunggal.
Kedua, saat dibedakan dari ciptaan, Bapa adalah Pencipta dan Pemelihara atas segala sesuatu. Dengan demikian bagi setiap ciptaan, Allah adalah Bapa karena Dialah yang telah menciptakan dan memelihara mereka semua. “Segala pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang…”(Yak.1:17). Ia adalah Bapa bagi semua ciptaan, karena Ia-lah sumber segala yang baik bagi ciptaanNya. Maka berdasarkan penciptaan, semua manusia adalah “keturunan” atau anak-anak Allah (Kis.17:28-29). Calvin menjelaskan: “Dimanapun mereka dilahirkan, dan dimanapun mereka menetap, mereka hanya memiliki satu Pencipta dan Bapa, yang harus dicari oleh semua manusia dengan satu pikiran.”
Ketiga, bagi orang-orang pilihan, Ia adalah Bapa mereka, karena Dia telah mengangkat mereka menjadi anak-anak-Nya di dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus (Yoh.1:12). Di dalam Yesus Kristus kita bukan saja memiliki relasi penciptaan (creational relationship), tetapi juga relasi perjanjian (covenantal relatiosnhip). Di dalam Yesus Kristus, Ia adalah Bapa, bukan semata-mata karena Ia adalah Pencipta-ku, tetapi Ia adalah Bapaku, dan aku telah menjadi anak-Nya oleh karena perjanjian anugrah-Nya (covenant ofgrace). Dengan demikian saat berucap: Aku percaya kepada Allah, Bapa … “kita mengaku percaya kepada Allah yang adalah Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus, dan juga percaya bahwa oleh karena Kristus, yang didalam-Nya aku telah diangkat menjadi anak Allah, Ia adalah juga Bapaku yang mengasihi aku seperti seorang bapa kepada anak-anaknya.”
William Perkins memberikan beberapa poin tentang kewajiban kita sebagai anak kepada Bapa kita di sorga. Pertama, kita harus bersyukur atas anugrah-Nya yang telah menjadikan kita sebagai anak-anak Allah. Sekalipun berdasarkan penciptaan, kita adalah anak-anak Allah, namun kita telah jatuh ke dalam dosa, dan selama kita hidup dalam dosa, kita akan seperti Ayub berkata kepada liang kubur “engkau ayahku…” (Ayub 17:14). Artinya, selama kita di dalam dosa, kita adalah anak-anak kebinasaan. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu” (Yoh.8:44). Kata-kata keras ini diucapkan Yesus dan ditujukan kepada ahli-ahli Taurat dan orang Farisi. Kata-kata ini juga berlaku bagi kita saat kita masih di dalam dosa. Seorang anak menyerupai ayahnya yang telah memperanakkannya. Manusia berdosa secara natur menyerupai si Iblis yang jahat. Hanya oleh anugrah Allahlah, kita ditebus di dalam AnakNya Yesus Kristus, sehingga kembali menjadi anak-anak Allah, dan dapat memanggil-Nya Bapa.
Kedua, setiap manusia yang mengaku percaya Allah sebagai Bapa, dan di dalam Kristus adalah Bapanya, harus menjadi anak yang taat yang melakukan kehendak Bapa di sorga. Yesus Kristus, Tuhan kita, berkata, “siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat.12:50). Kewajiban sebagai anak adalah menyenangkan hati Bapanya, yakni dengan ketaatan kepada kehendakNya.
Ketiga, setiap manusia yang mengaku percaya Allah adalah Bapanya, harus meniru dan mengikut-Nya, karena adalah kehendak Allah bahwa anak-anak-Nya seharusnya seperti Diri-Nya. Kita mengikuti Allah dalam dua hal: berlaku baik kepada mereka yang menganiaya kita (Mat.5:45); dan sebagaimana Bapa di sorga penuh belas kasihan, kita pun harus berbelas kasihan kepada mereka yang kurang.
Keempat, setiap kita yang percaya Allah sebagai Bapa, tidak akan terlalu mengkhawatirkan materi untuk hidup ini, karena jika seseorang melihat dirinya seorang anak Allah, maka ia juga tahu bahwa Allah akan menyediakan kebutuhannya, sebagaimana kita tahu seorang ayah akan menyediakan kebutuhan keluarganya. Dalam hal ini kita mengikuti nasihat Yesus Kristus Tuhan kita, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan dan minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai” (Mat.6:25). Alasannya, “burung-burung dilangit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Mat.6:26). Jadi jangan arahkan pikiran kita pada hal-hal dunia ini, “tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat.6:33).
Kelima, jika Alah adalah Bapa kita, maka kita pun harus belajar dengan sabar memikul salib yang Ia telah berikan, baik dalam tubuh maupun pikiran, dan selalu mencari kelepasan dariNya; karena mereka yang Ia kasihi, Ia hajar. “Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?” (Ibrani 12:7). Jika kita berbuat salah, tentu saja Bapa kita akan mengoreksi kita; dan saat tanganNya menghajar kita, kita tidak boleh memberontak melawanNya, tetapi menanggungnya dengan rendah hati. Saat kita memikul salib, kita harus mencari pelepasan dari Bapa kita saja.
Terakhir, jika kita mengaku dan percaya Allah adalah BapaNya Kristus, dan di dalam Kristus juga Bapa kita, maka kita harus hidup dalam kebenaran dan kesucian. Paulus menasihatkan orang percaya di Korintus agar mereka memisahkan diri dari para penyembah berhala (2Kor 6:17), sebagaimana nasihat nabi kepada orang-orang Israel di Perjanjian Lama (Yesaya 52:11). Alasannya, “Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anakKu laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan” (2Kor.6:18; Yer.31:1-2). Tentu saja, setiap manusia yang berkata Allah adalah Bapanya harus menjauhkan diri bukan saja dari dosa penyembahan berhala, tetapi dari semua dosa. Dengan demikian saat orang-orang melihat kesucian hidupnya tahu siapa Bapa anak ini. Kita dapat menambahkan perkataan Yesus di sini: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat.5:16).(PD)