Alkitab dan relasi antar ras
Saat ini dunia terus dilanda oleh berbagai konflik, termasuk di Indonesia. Selain masalah penguasaan sumberdaya dan agama/ideologi, mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ketegangan antar ras adalah salah satu penyebab konflik yang penting. Dari sejarahnya, gereja pun tidak imun terhadap persoalan ras antar anggota jemaatnya. Apa sesungguhnya yang Alkitab katakan tentang masalah ini, apakah memang Alkitab membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan ras? Di dalam bukunya, Christian Ethics, Wayne Grudem memberikan penjelasan sebagai berikut.
Alkitab menyatakan bahwa semua manusia secara fisik berasal dari Adam dan Hawa (Kej. 1:26-27; Kis. 17:26). Meskipun manusia kemudian dihancurkan oleh air bah, tetapi melalui Nuh yang juga keturunan Adam dan Hawa, semua bangsa tersebar (Kej. 9:18-19). Bukan hanya secara fisik berasal dari satu nenek moyang yang sama, semua manusia juga diciptakan serupa dengan gambar Allah (Kej. 1:28, 9:6; Yak. 3:9). Karena dua hal ini, maka Alkitab berkali-kali menolak gagasan bahwa ada ras yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ras lainnya (1Ptr. 2:17; Tit. 3:2; Yak. 2:1, 3:17). Bahkan di akhir zaman, orang-orang percaya dari ras yang berbeda akan disatukan di dalam Surga (Why. 7:9-10).
Grudem mengutip pernyataan Human Genome Project bahwa secara genetika tidak ada dasar untuk pembagian etnisitas manusia. Dia juga mengutip pernyataan bahwa sejumlah studi genetika bahkan memberi landasan sains akan kemungkinan bahwa semua manusia telah diturunkan dari satu pasang manusia di zaman dahulu kala.
Di Alkitab sendiri, pernikahan antar ras terjadi dan sering dinilai positif bahkan memainkan peranan penting dalam sejarah Alkitab. Yusuf, misalnya, mengambil isteri orang Mesir dan anak-anak mereka menjadi nenek moyang suku Efraim dan Manasye yang adalah dua suku terbesar Israel. Contoh terkenal lain adalah Rahab dan Rut yang menjadi nenek moyang dari Yesus. Di Alkitab memang ada perintah untuk tidak kawin-mengawinkan dengan bangsa lain, seperti di Ulangan 7:3-4 atau Ezra 10:11, tetapi konteks perikop itu adalah melarang perkawinan dengan orang yang beragama lain.
Di dalam sejarah gereja, sebagian orang memakai kutukan Nuh kepada Kanaan (Kej. 9:25) sebagai dasar untuk membenarkan diskriminasi, bahkan perbudakan terhadap orang Afrika karena dianggap hasil kutukan itu adalah orang yang berkulit hitam. Terhadap hal ini, Grudem menyatakan bahwa sebetulnya keturunan Ham, dan bukan keturunan Kanaan, yang tinggal di Afrika Utara (Kej. 10:6). Keturunan Kanaan tidak pindah ke Afrika, tetapi tinggal di Palestina, yakni di daerah Sidon, Gaza, Sodom dan Gomorah (Kej. 10:15-19). Merekalah yang di kemudian hari dihancurkan oleh orang Israel ketika tanah Kanaan ditaklukkan (Ul. 7:1-2) dan sisa orang Kanaan yang hidup dijadikan budak di zaman Salomo (1Raj. 9:20-22). Jadi kutukan kepada Kanaan tidak ada hubungannya dengan warna kulit.
Jikalau memang Alkitab tidak memberi dasar sama sekali bagi rasialisme, bagaimana Alkitab memberi panduan bagi orang percaya untuk berelasi dengan orang yang memiliki etnis berbeda? Tuhan Yesus jelas memberikan panduan utama. Sebagai orang Yahudi, Dia tidak ragu berbicara dengan perempuan Samaria. Dia juga mengajarkan bagaimana menjadi manusia bagi sesamanya melaluli perumpamaan orang samaria yang baik hati. Dia memberikan perintah untuk mengabarkan Injil kepada semua bangsa tanpa terkecuali. Di dalam tulisannya kepada jemaat Efesus, Rasul Paulus menyatakan bahwa orang bukan Yahudi adalah juga pewaris dari janji-janji dalam Kristus (Ef. 3:1-10). Ia juga mengatakan bahwa Allah telah meruntuhkan perseteruan antara pihak Yahudi dan bukan Yahudi sehingga semuanya menjadi satu di dalam Kristus Yesus (Ef. 2:14, 3:28). Melalui pelayanannya, orang dari berbagai latar belakang budaya dan ras datang kepada Kristus.
Karena itu, gereja Tuhan seharusnya berada di garda terdepan dalam meruntuhkan hambatan rasial maupun sosial dalam masyarakat di seluruh dunia sehingga menjadi wujud nyata karya agung Allah untuk menyatukan pelbagai keberbedaan untuk memuliakan Dia. Ini tidak berarti bahwa gereja-gereja etnik sama sekali tidak menyenangkan Allah karena seringkali memang penyembahan dan persekutuan terasa paling nyaman dengan orang-orang yang berbudaya sama, tetapi gereja-gereja tersebut perlu menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang ideal menurut Alkitab. Pada titik akhirnya, gereja selaku tubuh Kristus harus menjadi contoh keharmonisan antar ras, menyambut dan tidak menunjukkan sikap bermusuhan terhadap orang-orang dengan latar belakang etnik atau ras yang berbeda dan hidup dalam damai satu sama lain. *** (TDK)
Catatan: artikel ini didasarkan atas buku Christian Ethics oleh Wayne Grudem, 2018, bab 25: “Racial Discrimination”.