Bangkit dari kegagalan bersama Kristus
Seorang pemuda pernah mendaftarkan diri masuk ke perguruan tinggi negeri. Dia menyiapkan diri, belajar, berdoa, sampai tiba waktunya menjalani tes. Setelah menyelesaikan tes, muncullah perasaan "deg-degan" menanti hasil tes tersebut. Waktu hari H pengumuman, pemuda ini sempat berdesak-desakan dengan peserta tes yang lain untuk melihat papan pengumuman dan alhasil: LEMAS, karena namanya tidak tercantum dalam daftar yang lulus dari tes tersebut.
Serupa tapi tak sama, ada pula orang tua yang merasa gagal mendidik anaknya. Orang tua tersebut menulis sebuah pernyataan berikut, "Pernahkah Anda merasa gagal mendidik anak? Saya pernah. Perasaan ini muncul tidak hanya sekali atau dua kali; berkali-kali. Perasaan ini muncul saat saya melihat kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak sehingga saya kadang terdiam dan berpikir, 'salah di mana ya saya?' Pada saat seperti ini, saya terus bertanya di mana letak kesalahan-kesalahan saya yang membentuk kebiasaan-kebiasaan buruk anak-anak saya. Saat perasaan gagal mendidik anak ini muncul, saya mulai merasa pesimis melihat masa depan saya sebagai orang tua. Pesimisme ini diiringi dengan perasaan minder yang mengakibatkan munculnya sifat cuek terhadap anak-anak saya. Saat cuekisme ini muncul, saya tidak lagi peduli dengan peran penting saya sebagai orang tua. Sampai akhirnya saya sadar kalau saja saya mau berpikir jernih, sebenarnya perasaan gagal mendidik anak ini menjadi salah satu sumber kegagalan saya."
Dua peristiwa di atas adalah contoh bahwa kegagalan adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang dapat muncul dalam kehidupan seseorang. Dan yang namanya kegagalan, entah yang biasa atau luar biasa, respons umum yang biasanya muncul adalah sedih dan kecewa.
Hal seperti ini pernah dialami oleh salah satu murid Tuhan Yesus, yaitu Petrus. Sejak awal Yesus memilih Petrus menjadi murid-Nya, Yesus sangat tahu, bahwa Petrus bukan orang yang sempurna. Orangnya meledak-ledak, suka bicara dan pikir belakangan, orangnya sok, suka menampilkan diri sampai-sampai mengusik murid-murid yang lain. Tetapi siapa yang sangka, menghadapi tantangan dan ancaman, Petrus kemudian menjadi pribadi penakut yang tidak mau ambil risiko yang merugikan dirinya sendiri. Sikap inilah yang kemudian membawa Petrus pada sebuah kegagalan yang tidak pernah dia lupakan: MENYANGKALI YESUS.
Ketika Yesus ditangkap, dianiaya, dan digiring ke rumah Imam Besar, Petrus mengikutinya dari jauh. Pada waktu itulah ada seorang hamba perempuan yang mengetahui Petrus dan mengatakan, "kamu pasti salah satu pengikut-Nya?" Petrus menyangkal, kemudian pergi. Lalu ada hamba yang lain yang juga mengenalinya bertanya hal yang sama, lalu Petrus menyangkal sambil bersumpah. Terakhir orang-orang yang berkerumun pun mengetahui kehadiran Petrus lagi-lagi menanyakan hal yang sama. Matius mencatat: Petrus mengutuk dan bersumpah. "AKU TIDAK KENAL ORANG ITU!" Ini adalah kegagalan luar biasa yang dialami Petrus. Bagaimana responnya? Ia pergi dan menangis dengan sedihnya (barangkali berteriak).
Ya, itulah gambaran kegagalan manusia dan contoh responyang muncul menyikapi kegagalan tersebut. Sebagai orang Kristen, kita sudah pasti tidak imun dengan kegagalan ini dan tidak sedikit pula di antara kita yang meresponi kegagalan dengan cara yang negatif. Respon negatif yang muncul dapat membawa kita pada titik terendah dalam hidup kita: membawa kesedihan mendalam dan stres luar biasa. Sampai di sini kita pun pada akhirnya dihadapkan pada dua pilihan:makin terpuruk dan putus asa, atau bangkit dan mulai melangkah. Kalau.pilihan terakhir yang diambil, artinya kita menjadikan kegagalan bukan sebagai akhir tetapi sebagai alat belajar untuk bertumbuh lebih baik asalkan kita betul-betul menyadari apa yang membuat kita gagal dan bergerak ke arah yang dikehendaki Tuhan.
Memilih yang mana dari kedua pilihan ini tidak bisa dilepaskan dari kesadaran tentang bagaimana Tuhan melihat sebuah kegagalan yang dilakukan anak-anak-Nya. Setelah penyangkalan Petrus, Lukas menulis: "Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus". Apa arti pandangan Yesus ini? Pandangan kemarahankah? Kebenciankah? Kekecewaan yang mendalamkah? Apakah sorotan tajam mata-Nya kepada Petrus menyiratkan: "Tunggu pembalasan-Ku" ? Kita tidak akan tahu secara pasti sampai kita melihat Yohanes 21:18-21. Dalam bahasa kekinian Yesus berkata: "Petrus, sudah cukup kamu renungkan masa lalu dan kegagalanmu. Yang penting sekarang adalah Aku sudah mengampunimu dan ini waktunya untuk move on, melangkah ke depan!!! Jalankan tugas yang Aku berikan kepada-Mu supaya kamu menjadi berkat dan berjalanlah bersama-Ku."
Kita tentu tahu kelanjutan kisah hidup Petrus di Kisah Para Rasul. Kalau di masa lalu Petrus gagal mengakui Yesus, di kemudian hari Petrus diuji dalam hal yang sama, tetapi Petrus bisa berkata, "Silakan kamu putuskan sendiri manakah yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang kami lihat dan yang telah kami dengar." (Kis. 4:19-20)
Kita telah melihat kegagalan Petrus dan bagaimana kasih Yesus membangkitkannya kembali. Bagi kita yang oernah gagal dan kemungkinan besar akan mengalami berbagai kegagalan kembali di masa yang akan datang, perlu diingat bahwa tidak ada kegagalan yang terlalu besar sampai Tuhan tidak sanggup menolong kita untuk bangkit. Yang harus diperhatikan adalah apakah kita bersedia mendengar suara-Nya yang memanggil kita kepada Dia untuk dipulihkan dan berjalan dalam ketaatan atau tinggal dalam perasaan gagal yang semakin menghanyutkan?
"Sebab 7 kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana." (Amsal 24:16)