Di Balik Nama “Eben-Haezer”
Anda mungkin telah sering mendengar nama “Eben-Haezer.” Ada orang, bahkan gereja, yang bernama demikian. Saya secara pribadi sangat familiar dengan nama ini. Bagaimana tidak, ini adalah nama ayah saya. “Eben-Haezer”, nama yang dalam bahasa aslinya berarti “sampai di sini TUHAN menolong kita” (1 Sam. 7:12), mungkin membuat kita bertanya-tanya, “dimanakah “di sini” itu?”, “bagaimana sesudah itu? Apakah sesudah melewati titik ini, Tuhan masih akan menolong kita?”
Ketika Anda membaca latar belakang sejarah nama ini dari 1 Samuel 7:1-14, Anda mungkin akan cepat bosan. Lagi-lagi kisah tentang peperangan Israel melawan bangsa lain, sama seperti kisah lebih dari separuh isi Perjanjian Lama. Lagi-lagi kisah tentang bagaimana umat Tuhan memenangkan peperangan, lalu memberi nama sebuah tempat sebagai pengingat. Anda sudah bisa menebak seluruh alur cerita perikop ini & Anda jadi bosan dengan kisah yg itu lagi, itu lagi.
Jika Anda berpikir demikian, Anda salah. Memang benar bahwa kisah pemberian nama “Eben-Heaezer” dilatarbelakangi oleh kemenangan perang Israel melawan Filistin. Namun, kisah peperangan Israel melawan Filistin tidak dimulai di 1 Sam. 7:1-14, melainkan jauh sebelumnya, yakni di pasal 1 Samuel 4:1b. Di sinilah pertama kalinya nama “Eben-Haezer” muncul di Alkitab.
Dikisahkan kedua bangsa ini, Israel dan Filistin, memerangi satu sama lain. Israel, tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, kalah telak hingga 4.000 orang tewas (4:2). Tentu saja mereka bingung. Mengapa Tuhan mengizinkan kekalahan ini terjadi? Sebenarnya, Tuhan telah memberi peringatan-Nya kepada nabi Samuel yang masih muda mengenai hal ini dalam 1 Sam. 3:11-14. Tuhan akan memberikan penghukuman kepada anak-anak Imam Eli, Hofni dan Pinehas, karena kekurangajaran mereka, dan penghukuman ini akan sebegitu besarnya di Israel, sampai-sampai “setiap orang yang mendengarnya, akan bising kedua telinganya” (3:11). Perlu diketahui bahwa ini bukan pertama kalinya Tuhan memperingatkan Imam Eli. Di pasal sebelumnya, 1 Sam. 2:27-36, Tuhan telah mengutus salah seorang abdinya untuk memperingatkan Eli. Namun, terhadap dua peringatakan ini, Imam Eli tidak melakukan apapun. Imam Eli hanya menjawab, “Dia TUHAN, biarlah diperbuat-Nya apa yang dipandang-Nya baik.” Imam Eli tidak berusaha mengindahkan peringatan ini dan mendisiplin kedua anaknya dengan keras. Ia lebih memilih tidak mentaati Tuhan daripada bersikap keras terhadap anak-anaknya. Akibatnya, kekalahan perang di 1 Sam. 4:1-2 terjadi.
Jadi, dapat dikatakan bahwa 1 Sam 1-3 menceritakan kebobrokan keimaman Israel. Pasal 4 menunjukkan akibat kebobrokan tersebut serta makin parahnya kebobrokan tersebut. Dikisahkan bahwa orang-orang Israel berpikir bahwa dengan membawa tabut perjanjian, mereka akan menang. Dengan kata lain, mereka memperlakukan tabut perjanjian sebagai jimat. Ini tentu tidak benar. Nantinya, Tuhan melalui Nabi Yeremia memperingatkan umat-Nya agar tidak memperlakukan artifak-artifak ini dengan sikap demikian (Yer. 7:4-7). Lebih jauh lagi, di dalam hati mereka memiliki pemikiran, “tidak mungkin Tuhan membiarkan kita kalah dan membiarkan dirinya dipermalukan dengan membiarkan tabut dirampas.” Dengan kata lain, mereka sedang memaksa Tuhan memenuhi keinginan mereka dengan cara “menyandera” tabut-Nya.
Lebih celaka lagi, Imam Eli seharusnya menjadi orang pertama yang mencegah perbuatan berdosa ini dan meluruskan kesalahpahaman mereka. Namun, ia justru membiarkan orang Israel dalam kekeliruan mereka. Detil “kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, ada di sana dekat tabut perjanjian Allah itu” (4:4) seolah hendak menekankan kesalahan keluarga imam ini. Mengapa tidak ada satupun dari mereka yang mencegah perbuatan demikian? Pada akhirnya, bukannya mereka menang, kekalahan mereka justru makin telak. Kini jumlah yang gugur adalah 30.000 pasukan, kedua anak Imam Eli tewas, dan yang paling parah adalah tabut perjanjian tersebut dirampas orang-orang Filistin (4:10-11). Kekalahan ini menyebabkan kematian Imam Eli (4:18). Istri Pinehas yang baru saja mengandung akhirnya memberikan nama anaknya “Ikabod” yang berarti “telah lenyap kemuliaan Israel” karena tabut yang dirampas (1 Sam. 4:21).
Kelihatannya merupakan akhir yang buruk. Namun, jika Anda membaca pasal sesudahnya, Anda akan menemukan kisah-kisah yang sangat lucu. Ibarat di kala semua orang Israel sedang kalang kabut dengan dirampasnya tabut itu, Tuhan malah tenang-tenang saja. Bagaimana tidak? Ia adalah Allah yang sejati, Allah di atas segala allah melampaui segala dewa-dewa palsu bangsa lain. Ya, Ia membiarkan tabut-Nya dirampas orang-orang Filistin, tetapi ini bukan berarti Ia membiarkan diri-Nya dipermalukan. Ketika tabut perjanjian diletakkan di kuil Dagon, dewa Filistin, seolah-olah menggambarkan bahwa Tuhan kini tunduk di bawah Dagon, Ia malah membuat patuh Dagon itu tumbang dan sujud menyembah-Nya (5:1-5). Tuhan menulahi orang-orang Filistin sehingga mereka takut pada-Nya (5:6-12). Akhirnya, sesudah 7 bulan lamanya (6:1), orang-orang Filistin bermaksud mengembalikan tabut tersebut. Dikisahkan bahwa mereka masih berniat untuk menguji Tuhan dengan cara menggunakan 2 lembu yang menyusui untuk menarik kereta yang mengangkut tabut tersebut (6:7-9). Lembu menyusui tentu memiliki insting untuk kembali kepada anak-anaknya dan menyusui mereka. Namun, Alkitab mengisahkan bahwa lembu-lembu itu berjalan lurus, sama sekali tidak kembali, dan sampai ke Bet-Semes (6:12). Jelas Tuhan yang berbuat demikian.
Sesampainya di Israel, tabut perjanjian tersebut tidak langsung dikembalikan ke Silo, melainkan diletakkan di Kiryat-Yearim (7:1). Selama beberapa tahun tabut tersebut berada di sana dan orang Israel mengeluh kepada Tuhan. Mengapa? Karena permasalahan di awal, yakni kekalahan mereka melawan Filistin, masih belum terselesaikan.
Jadi, kini Nabi Samuel yang sudah dewasa datang kepada mereka dan memperingatkan mereka (7:3). Tidak seperti Imam Eli, orang-orang Israel mendengar perkataan Samuel dan bertobat dari kejahatan mereka. Bahkan, ketika mereka kini harus berperang lagi dengan orang-orang Filistin, mereka tidak berpikir untuk pergi ke Kiryat-Yearim dan membawa tabut perjanjian bersama-sama mereka. Mereka sepenuhnya mengandalkan Tuhan dan tetap mengingat untuk menunjukkan pertobatannya. Manakala di pasal 4 orang-orang Filistin mendengar keriuhan orang-orang Israel saat tabut perjanjian berada di tengah-tengah orang Israel dan menjadi takut, kini orang Filistin hanya mendengar bahwa orang-orang Israel telah berkumpul di Mizpa dan langsung berpikir untuk mengerahkan pasukkannya melawan mereka (1 Sam. 7:7). Yang menjadi takut justru orang Israel, tetapi mereka tetap berseru kepada Tuhan. Hasilnya? Tuhan menyelamatkan dan memenangkan peperangan itu untuk mereka (7:12-13). Nama “Ikabod”, “Ikabod” yang berarti “telah lenyap kemuliaan Israel”, digantikan dengan “Eben-Haezer”, “sampai di sini TUHAN menolong kita”. Demikianlah kisah asal-usul nama “Eben-Haezer.”
Kisah yang lucu, tetapi sekaligus menjadi peringatan untuk umat Allah sepanjang masa. Dua hal yang menyebabkan bencana ini terjadi adalah sistem keimaman yang bobrok serta bagaimana orang-orang Israel mengkeramatkan artifak-artifak rohani. Nantinya, kedua hal ini terulang lagi zaman Tuhan Yesus. Di zaman Tuhan Yesus, sistem keimaman begitu korupnya sampai-sampai Tuhan Yesus harus menyucikan Bait Allah dua kali, di awal dan di akhir pelayanan-Nya (Yoh 2:13-25 dan Mrk. 11-15-17). Mereka juga sangat mengkeramatkan Bait Allah, berikut hukum adat-istiadat mereka, sampai-sampai adalah lebih baik memberikan persembahan di bait Allah daripada mencukupi kebutuhan finansial orangtua (Mat. 15:3-6). Seperti Samuel, Tuhan Yesus memperingatkan orang-orang Israel untuk bertobat. Sayangnya, mereka tidak mendengar, malah pada akhirnya menyalibkan-Nya. Namun, yang bertobat dan menjadi pengikut-Nya, merekalah yang diselamatkan dan dibebaskan dari kesalahan tersebut.
Bagaimana dengan kita? Jangan biarkan nama “Eben-Haezer” hanya suatu nama penghiburan untuk kita bahwa Tuhan akan menolong kita, tetapi juga sekaligus sebuah peringatakan agar kita berbalik dari kesalahan dan dosa-dosa kita ketika kita menyimpang dari jalan-Nya.(DO)