Empat Nama, Satu Kisah
Yesaya 9:6 adalah salah satu nubuatan mesianik yang paling sering dibacakan di Hari Natal. Ayat ini mencantumkan empat nama yang disematkan kepada Raja Mesias yang dijanjikan akan menyelamatkan umat TUHAN. Nama-nama tersebut adalah: “Penasihat Ajaib,” “Allah yang Perkasa,” “Bapa yang Kekal,” dan “Raja Damai.” Sebagai orang percaya, kita tahu bahwa seluruh penyebutan ini disematkan kepada Yesus Kristus. Sayangnya, mungkin ada beberapa kebingungan dalam memahami keempat sebutan ini, khususnya sebutan pertama dan ketiga, yaitu “Penasihat Ajaib” dan “Bapa yang Kekal.”
Sebutan yang pertama biasanya ditafsirkan bahwa Tuhan Yesus adalah Guru atau Pengajar yang Ajaib. Selain itu, Alkitab Bahasa Inggris biasanya menggunakan “Wonderful Counselor” dan dari sinilah muncul pemahaman bahwa Tuhan Yesus adalah seperti Konselor psikologis. Memang tidak salah bahwa Tuhan kita adalah Guru dan Konselor kita yang Ajaib, namun ayat ini tidak sedang membicarakan hal tersebut. Kata ini pada umumnya bernuansa kerajaan. Ahitofel, misalnya, disebut sebagai penasihat Daud (1 Taw 27:33), yang kemudian membelot bersama dengan Absalom untuk mengkudeta Daud. Jadi, kata “Penasihat” lebih tepat ditafsirkan sebagai “Penasihat Politik” atau “Ahli Startegi Militer.” Penafsiran ini sesuai dengan keseluruhan konteks Yesaya yang menubuatkan kedatangan seorang Raja.
Yang menarik dari sebutan ini adalah bahwa Sang Anak sendiri adalah Raja. Pada umumnya, Raja selalu membutuhkan penasihat. Namun, Sang Anak adalah Raja sekaligus Penasihat itu sendiri. Sang Penasihat Ajaib dan tidak membutuhkan penasihat-penasihat lain.
Sebutan yang kedua lebih mudah ditafsirkan. Sang Anak yang dijanjikan tidak hanya berhikmat, tetapi juga perkasa. Beberapa penafsir mempermasalahkan penggunaan kata “Perkasa” yang dalam Bahasa Inggris adalah “Mighty” dan bukan “Almighty” (“Mahakuasa”), sehingga kemudian mengatakan bahwa Sang Anak tidak sepenuhnya Allah. Kata “Allah” pun, menurut mereka, tidak perlu diterjemahkan secara literal. Namun penafsiran ini tidak perlu diterima karena kita yang sudah mengetahui identitas Sang Anak paham bahwa Ia adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia. Gambaran yang diberikan di sini adalah Allah sendiri yang akan menyelamatkan umat-Nya, sebagaimana yang Ia lakukan di Mesir, dengan tangan-Nya yang perkasa.
Sebutan yang ketiga mungkin merupakan sebutan yang paling banyak menimbulkan kesalahpahaman. Di kalangan muda-mudi Kristen, khususnya di Barat, istilah “Papa Jesus” atau “Daddy Jesus” seringkali dipakai. Namun, perlu diingat bahwa Tuhan Yesus sendiri tidak pernah menyuruh murid-murid-Nya memanggilnya “Bapa.” Sebaliknya, Ia mengatakan bahwa hanya ada satu
Bapa, yakni Yang di Sorga (Mat. 23:9). Jadi, apa maksud kata “Bapa” di sini? Di zaman Timur Tengah Kuno, merupakan suatu hal yang normal untuk memanggil raja sebagai “bapa.” Ahas, misalnya, menyebut dirinya “anak” ketika berbicara dengan Tiglat-Pileser, raja Asyur. Jadi, ayat ini tidak sedang mencampuradukkan Sang Anak dengan Allah Bapa. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa Sang Anak adalah Raja yang pemerintahan-Nya tidak akan pernah berakhir.
Sebutan yang terakhir paling mudah dijelaskan. Ketika Sang Anak memerintah sebagai Raja Mesias, damai akan meliputi seluruh dunia. Nubuatan ini muncul berkali-kali di kitab nabi-nabi, khususnya dalam Kitab Yesaya sendiri (Yes. 2:4; 11:6-9; Hag. 2:9; Zak. 8-9).
Dari urutan keempat istilah ini, kita dapat menemukan sebuah alur narasi yang menarik. Di dalam sebutan “Penasihat Ajaib” dan “Allah yang Perkasa,” kita menemukan gambaran Sang Anak yang sedang berperang melawan musuh-musuh-Nya, dan dengan kebijaksanaan serta keperkasaan-Nya di dalam medan perang tersebut, Ia memperoleh kemenangan. Sesudah memenangkan peperangan tersebut, Ia menjadi “Bapa yang Kekal,” Raja yang pemerintahan-Nya tidak akan pernah berakhir. Dan di dalam pemerintahan-Nya, seluruh ciptaan memperoleh kedamaian karena Ia adalah “Raja Damai.”
Mungkin gambaran ini membuat kita mengerutkan dahi karena Yesus Kristus yang kita temukan dalam keempat Injil bukanlah seperti mesias politik yang berperang melawan penjajah Roma. Inilah alasan mengapa orang-orang Yahudi kecewa dan menolak-Nya. Mereka berpikir bahwa Sang Mesias hanya semata-mata melawan musuh fisik saja. Namun kita sebagai orang percaya tahu bahwa musuh yang terbesar bukanlah sesama manusia, melainkan maut, dosa, dan Iblis yang berkuasa atas manusia-manusia itu. Inilah yang Tuhan Yesus kalahkan melalui kematian dan kebangkitan-Nya, serta puncaknya dalam kedatangan-Nya yang kedua (1 Kor. 15:54-56; Rom. 5:17; Kol. 2:15; Why. 17:14; Why. 20:7-15).
Di dalam minggu-minggu Adven ini, marilah kita mengingat kembali komitmen kita saat menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan kita. Pada umumnya orang Kristen suka dengan yang pertama, tetapi mengabaikan yang kedua. Kita ingin menikmati anugerah keselamatan, tetapi enggan hidup sesuai dengan perintah-Nya. Janganlah kita menjadi seperti orang Israel yang, sesudah diselamatkan dari perbudakan di Mesir, tetap tegar tengkuk dan menolak TUHAN sebagai Raja mereka. *(DO).