Engkau adalah pemanah
Pujangga Libanon, Kahlil Gibran menulis puisi tentang anak. Ia mengatakan,
Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.
Terjemahan: anakmu bukanlah milikmu / mereka adalah anak-anak Kehidupan yang merindukan dirinya sendiri / mereka ada melalui dirimu tetapi bukan darimu / dan meskipun mereka bersamamu, tetapi mereka bukan milikmu. (Untuk lengkapnya Anda bisa googling dengan kata kunci "On Children Kahlil Gibran").
Puisi yang ditulis puluhan tahun lalu isinya tetap relevan dengan keadaan zaman sekarang. Gibran menggambarkan betapa banyak orang tua yang ingin menjadikan anaknya seperti dirinya. Dan celakanya, banyak anak juga nyaman dengan menjadi pribadi yang dikehendaki orang tuanya. Beberapa waktu lalu saya menonton film drama sport. Dalam film itu diceritakan tentang seorang petinju yang ayahnya adalah petinju tersohor. Awalnya ia tidak mau meraih sukses dengan membawa nama besar ayahnya. Ia ingin menjadi besar dengan namanya sendiri.
Orangtua harus mendidik anak-anaknya untuk berkembang menjadi pribadi yang dewasa dan sehat. Segala kebutuhan yang diperlukan untuk perkembangan itu harus diperjuangkan agar tersedia. Pemanah yang hebat akan menarik kuat-kuat busurnya agar anak panahnya meluncur jauh. Pasti lelah. Orang tua harus berusaha sekuatnya mendukung kemajuan anaknya. Namun mendukung perkembangan tidak sama dengan memanjakan. Ketika anak saya duduk di bangku sekolah dasar, ada temannya yang mendapat uang jajan dalam jumlah sangat besar untuk ukuran anak SD. Ketika saya selidiki, ternyata orangtuanya kurang memberi perhatian. Gantinya uang jajan yang besar tadi.
Anda pasti kenal Amsal 22:6 "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Tahukah Anda, terjemahan literal ayat itu adalah "Didiklah orang muda menurutmulutnya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Jika kita pertahankan kata asli "mulut", maka ayat itu bisa dipahami sebagai "Didiklah orang muda menurut omongannya sendiri (kemauannya), maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Jadi berbeda, bukan? Ayat itu tidak lagi berbicara soal janji, tetapi soal peringatan: Hai orangtua, jika engkau manjakan anakmu, nanti setelah tua, dia tidak bisa lagi diatur."
Anda sebagai orangtua harus mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Gibran mengatakan di bait berikutnya "You may house their bodies but not their souls, For their souls dwell in the house of tomorrow." (Anda dapat mengurung tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka / karena jiwa mereka tinggal dalam rumah masa depan). Anak harus diberi kesempatan berkembang menurut dirinya dan masa kehidupannya sendiri. Ketika masih SMP, saya rajin sekali mengunjungi perpustakaan daerah di kota saya. Siang-siang naik sepeda setelah pulang sekolah di bawah terik matahari. Segala buku pengetahuan umum saya lahap. Sekarang ini, saya tidak bisa berharap anak saya melakukan hal yang sama. Ia belajar banyak hal bukan dari buku, tetapi dari internet. Zamannya berbeda, caranya berbeda. Saya tidak bisa paksa dia ke toko buku. Demikian juga cara berpikirnya juga berbeda. Maka ketika dia meminta rambutnya dicat pada masa liburan sekolah, saya turuti saja. Toh, dia tidak mencat rambutnya dengan warna yang aneh-aneh. Saya selalu mengingatkan agar dia tahu batas. Ketika dia meminta izin berlatih olah raga bela diri, saya juga izinkan, meskipun saya tahu ia tidak pernah berkelahi. Saya tidak mau dia tidak bisa berpenampilan sebagai anak zaman sekarang hanya karena menyandang status anak pendeta. Anak-anak kita hidup untuk masa depan. Oleh sebab itu, cara dan sikap lama tidak bisa kita pertahankan. Yang kita harus pertahankan adalah kebenaran moral dan kebenaran Kitab Suci. Hal-hal lain menyangkut isu lahiriah yang tidak prinsip hendaklah kita terbuka. Memang, seringkali kita kesulitan membedakan mana yang prinsip mana yang tidak. Di situlah kita perlu hikmat dari Tuhan.
Agar semua itu bisa terjadi, Anda sebagai orangtua harus hadir dalam hidup anak-anakmu. Anda bukan hanya "ada" bagi mereka tetapi berdampak terhadap hidup mereka. Percuma tinggal serumah tetapi Anda menghabiskan berjam-jam dengan gawai Anda dan tidak pernah ngobrol atau main dengan anak Anda. Saya kadangkala menyesal mengingat masa lalu, ketika anak saya masih kecil. Saya mengakui terlalu sibuk dengan diri sendiri dan kurang memberi waktu kepadanya. Sekarang giliran saya yang harus meminta waktu darinya. Silakan Anda googling dengan kata kunci: fatherless generation. Anda akan terkaget-kaget menemukan betapa banyak persoalan generasi muda terjadi karena ketidakhadiran orangtua, khususnya ayah. Banyak orang hanya ingin punya anak tetapi tidak mau membesarkan anak.
Terakhir, isu klise tetapi nyatanya banyak orangtua lalai: kerohanian. Banyak orangtua giat mendukung anaknya menjadi model atau artis cilik atau meraih prestasi yang lain. Ada yang memberikan les nyanyi, balet, ice-skating, dsb dengan biaya tidak murah. Tetapi ketika ada retreat atau bible camp di gereja, orangtua ogah-ogahan mendukung. Bahkan kadangkala biaya pun ditawar. Anak mendapat kesan bahwa orangtua tidak mementingkan hal rohani. Ketika kondangan anak dipakaikan pakaian bagus, tetapi ketika ke gereja, bajunya biasa saja. Bersandal pun diizinkan. Ketika bersekolah tidak boleh terlambat, tetapi ketika ke gereja terlambat dimaklumi karena malam minggu dibiarkan tidur larut malam. Ketika anak mendapat nilai buruk dalam pelajaran Matematika, orangtua panik dan mencarikan guru les. Tetapi ketika nilai agamanya pas-pasan, orangtuanya tenang saja. "Masak gak naik kelas karena nilai agama buruk?" (dan sepanjang pengetahuan saya, sangat jarang seorang anak tidak naik kelas karena nilai agama buruk). Kalau hal-hal seperti ini dibiarkan, maka tak heran di masa yang akan datang muncul semakin banyak orang yang super cerdas tetapi berhati jahat (sebetulnya, sekarang juga sudah ada). Jadi hai orangtua, jangan remehkan perkembangan kerohanian anak-anakmu. Jangan karena engkau ingin dia jadi juara nyanyi, joget, melukis, atau tampil di acara televisi, engkau korbankan ibadah hari minggu dengan alasan "Minggu depan masih bisa ke gereja." Bukan soal masih ada waktu minggu depan, tetapi soal engkau sedang mendidik anakmu untuk menangkap pesan: Untuk Tuhan bisa nanti. Tuhan urutan ke sekian dalam hidupku. Bahkan ada orangtua, ketika anaknya sakit pun, yang cepat-cepat dicari adalah dokter atau obat, bukan mendoakan atau minta didoakan. Pesannya sama: dokter dan obat lebih berkuasa. Hal-hal yang Anda anggap sepele bisa berdampak besar untuk masa depan anak Anda.Anda pernah pikirkan itu? *** (BSB).