Fight vs. flight: obedience vs. disobedience
Di dalam dunia psikologi kita mengenal suatu jargon ‘fight or flight response’ (respon ‘tempur atau kabur’) yang menggambarkan mekanisme tubuh manusia atau hewan dalam menghimpun energi maksimum dalam waktu yang sangat singkat untuk mengantisipasi bahaya yang mengancam hidupnya. Seekor zebra yang mendeteksi kehadiran seekor singa pemangsa akan meresponi keadaan stres ini dengan manuver ‘kabur,’ dan sistim syaraf simpatiknya akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk tindakan ‘kabur” tersebut. Di pihak lain, seekor kucing yang mendeteksi kehadiran seekor anjing yang akan menyerangnya akan meresponi stress ini dengan manuver ‘tempur.’ Namun respon stres ini tidak melulu didasarkan atas naluri bawaan, karena ada juga faktor lain seperti wawasan dunia dan orientasi hidup yang memengaruhi tindakan yang diambil. Pada dasarnya, sikap optimisme yang melihat dengan perspektif “gelas setengah penuh” cenderung memiliki respon stres ‘tempur,’ sedangkan sikap pesimisme, yang melihat dengan perspektif “gelas setengah kosong” cenderung memiliki respon stres ‘kabur.’ Fenomena ‘tempur’ atau ‘kabur’ ini dapat kita simak dari perilaku para pengintai Israel ke tanah perjanjian Kanaan. Untuk mengerti apa yang terjadi di balik fenomena ini, marilah kita mendalami rentetan kejadian pada Biblangan 11 and 12 yang melatarbelakangi kejadian pada Bilangan 13.
Pada Bilangan 11, Bangsa Israel yang sudah belajar hidup dan berjuang bersama mulai menempuh perjalanan menuju ke tanah Kanaan. Perjalanan ini berlangsung kurang mulus karena dipenuhi oleh berbagai macam disrupsi, mulai dari disrupsi yang bersifat publik (Bil. 11), sampai pada disrupsi yang bersifat privat (Bil. 12). Isu dalam disrupsi publik yang pertama adalah seputar kepimpinan Allah. Bangsa Israel memandang nasib mereka sial karena harus hidup tidak nyaman di padang gurun, dan sungut-sungut mereka menuai murka Allah yang menghanguskan kemah-kemah di lingkaran luar perkemahan. Isu di dalam disrupsi publik yang kedua berkisar seputar menu makanan. Bangsa Israel berkeluh-kesah akan manna yang harus mereka makan setiap harinya, dan mereka yang kerasukan nafsu rakus sangat menginginkan makanan di Mesir, seperti ikan dan daging, mentimun, bawang prei, bawang putih dan merah. Meskipun Allah menyediakan burung puyuh bagi mereka, ketika daging itu masih ada dalam mulut mereka, dan belum mereka kunyah, murka Allah meluap sehingga tulah merebak. Tak ayal lagi, mayat-mayat-pun bergelimpangan.
Pada Bilangan 12, disrupsi privat muncul dari kerabat terdekat Musa sendiri, yakni Miryam dan Harun. Keduanya iri terhadap status istimewa yang dimiliki Musa, sehingga mereka memertanyakan keabsahan Musa sebagai pemimpin satu-satunya yang mewakili Allah bagi bangsa Israel. Keberanian Miryam dan Harun mengatai Musa sebagai hamba Allah ini membangkitkan murka Allah. Miryam kena penyakit kusta dan seluruh bangsa Israel harus menunggu tujuh hari lamanya sampai Miryam boleh kembali dari pengasingan. Pada dasarnya, disrupsi publik dan privat tersebut tidak lain dari penolakan terhadap Allah dalam kepemimpinan, pemeliharaan, serta pengaturan-Nya.
Namun, ini belumlah puncaknya. Pada Bilangan 13, dua belas pengintai yang adalah utusan resmi dua belas suku Israel ditugaskan dalam misi pengintaian tanah Kanaan. Mereka melihat tanahnya yang sangat subur beserta dengan penduduknya yang tinggi besar perawakannya, dan bahkan ada di antaranya yang berukuran raksasa. Adalah wajar bagi bangsa Israel yang berukuran normal untuk merasa takut jika harus berhadapan langsung melawan penduduk Kanaan. Namun, respon awal ini bukanlah hal yang terpenting. Respon lanjutan setelah respon awal itulah yang terpenting. Yosua dan Kaleb memilih respon ‘tempur’ karena berketetapan hati untuk taat kepada perintah Allah. Akibatnya, rasa optimisme dan keberanian tumbuh dalam sanubari mereka untuk memenuhi tugas panggilan mulia yang Allah embankan kapda mereka. Sebaliknya, sepuluh pengintai lainnya memilih respon ‘kabur’ karena berketetapan hati untuk tidak mau taat pada perintah Allah. Akibatnya, rasa pesimisme dan ketakutan yang mencekam menggerogoti batin mereka. Mereka tidak saja kecewa terhadap misi Allah yang menjerumuskan, merekapun tidak layak untuk menerima tugas mulia dan berkat tanah pusaka yang Allah janjikan kepada nenek-moyang mereka. Mayat-mayat mereka yang berserakan di padang gurun adalah peringatan agar kita berketetapan hati untuk taat kepada Allah dan tidak berlaku konyol dengan terus-menerus menolak pimpinan, pemeliharaan, pengaturan, dan perintah Allah sehingga kehilangan hak istimewa untuk menjadi rekan Allah dan menikmati berkat yang Allah sediakan bagi kita. *** (IT).