God-Loving, God-Fearing
Berabad-abad orang kerap dibingungkan oleh bangsa Israel. Pada masa jaya, pemerintahan Daud, Israel dapat dikatakan sebagai bangsa yang terbaik dan unggul dibandingkan bangsa lainnya. Meski pun demikian, kisah kelam pembuangan ke Babel serta kembalinya ke tanah perjanjian tidak menghilangkan rasa bangga sebagai umat pilihan Tuhan satu-satunya. Sikap ini dapat dikatakan baik namun juga tidak berarti sepenuhnya benar.
Rasul Paulus menegaskan bahwa Tuhan tidak menolak umat-Nya; “Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya? Sekali kali tidak! Karena aku sendiri pun orang Israel …” (Rm. 11:1). Kasih Allah tetaplah sama bagi Israel. Hanya saja Ia tidak berdiam diri melihat umat-Nya terus tegar tengkuk atau keras hatinya. Ia pun menghajar, menghukum, serta memulihkan kembali Israel. Masih ada didapati umat-Nya yang setia pada-Nya. Sama seperti di zaman Elia, masih ada tujuh ribu orang Israel yang tidak menyembah berhala dan tetap setia kepada Tuhan Allah (Rm. 11:2-4). Oleh kasih karunia sisa-sisa Israel ini tetap diselamatkan serta mempunyai masa depan kekal dari Tuhan Allah (Rm. 11:6).
Berangkat dari kejatuhan atau pelanggaran Israel ini, uniknya, bangsa-bangsa lain mendapatkan keselamatan kekal itu. Melalui metafora pohon zaitun, orang-orang percaya non-Yahudi adalah cabang-cabang dari pohon zaitun liar itu (Rm. 11:24); namun Israel ialah cabang dari zaitun yang sejati. Karena kebebalan hati Israel dan ketidakpercayaan mereka, Allah mematahkan cabang-cabang yang asli, agar cabang liar dapat dicangkokkan melalui iman kepada Kristus, Sang Akar yang Sejati (Rm. 11:17-18).
Untuk apa Tuhan melakukan hal ini? Supaya bangsa Israel menjadi “cemburu” (Rm 11:11). Pada saat bersamaan, Tuhan ingin setiap cabang-cabang zaitun liar itu tidak menjadi sombong. Rasul Paulus mengingatkan, “Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah” (Rm. 11:21b). Sebab jika Allah tidak segan menolak Israel yang notabene adalah cabang-cabang asli, Ia pasti tidak akan segan menolak kita yang adalah cabang-cabang cangkokkan, jika kita tidak sungguh-sungguh dalam iman kita (Rm. 11:21-22). Singkatnya Tuhan ingin kita mengasihi Dia sekaligus takut pada-Nya.
Bagaimana mungkin kita mengasihi tetapi pada saat bersamaan takut? Bukankah kedua hal tersebut bertentangan? Tentu saja tidak! Mengasihi Tuhan merupakan respons kita terhadap besarnya kasih Allah yang mengawali serta menyediakan keselamatan kekal di dalam Yesus Kristus. Takut akan Tuhan merupakan sikap hati kita yang menghargai keselamatan kekal tersebut di dalam kehidupan setiap hari. Oleh karena itu benarlah apa yang Paulus katakan kepada jemaat Filipi untuk “tetap mengerjakan keselamatan itu dengan takut dan gentar” (Fil. 2:12).
Keselamatan kekal yang telah nyata itu harus kita “kerjakan”. Maksudnya harus kita “hidupi” (Inggris: Work it out) setiap hari. Bukan berarti keselamatan itu bisa hilang, melainkan keselamatan itu harus nyata atau terbukti dalam keseharian kita setiap hari. Tuhan Allah memelihara setiap kita dari election sampai pada glorification, karena tidak ada satu pun dapat merebut orang percaya dari tangan Bapa (Yoh. 10:29). Itu sebabnya sudah selayaknya mengasihi dan takut pada-Nya. Selamat hidup dalam kasih dan rasa gentar bagi kemulian-Nya. **CW