Hikmat Allah dan Masa Depan
Pada bulan April 2015 diadakan peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan Bandung. Ketika itu, gambar wajah beberapa tokoh historis besar dari benua Asia dan Afrika dipasang besar-besar di spanduk dan banner yang tersebar di berbagai sudut kota Bandung, khususnya di sekitar area Gedung Merdeka tempat peringatan KAA berlangsung. Selain wajah Ir. Soekarno, salah satu wajah yang paling banyak muncul adalah Nelson Mandela, tokoh dari Afrika Selatan yang menjadi presiden pertama kulit hitam di negara itu yang sebelumnya diperintah oleh rezim apartheid yang diskriminatif.
Mandela dianggap sebagai pahlawan besar dunia, antara lain karena setelah dipenjara selama 27 tahun dan mengalami ketidak-adilan dalam jangka waktu yang sangat panjang, ia bisa mengampuni orang-orang yang melakukan hal tersebut kepada dirinya dan rakyatnya. Seorang penulis Amerika yang bernama Elbert Hubbard menulis bahwa bukti final dari kebesaran diri seseorang terletak pada kemampuannya untuk bertahan menghadapi perlakuan yang merendahkan tanpa menghidupi kebencian. Di abad ke-20, hal tersebut mewujud dalam diri Mandela.
Ucapan terkenal Mandela antara lain adalah “Ketika aku berjalan keluar dari pintu (penjara) menuju gerbang kebebasan, aku tahu jika aku tidak meninggalkan kepahitan dan kebencian di belakangku, maka aku masih terus berada di penjara.” Ketika Mandela sedang berjalan keluar dari pintu penjara dengan pikiran tersebut, ia mungkin tidak pernah membayangkan bahwa keyakinannya itu bisa menjadi inspirasi besar tidak hanya bagi Afrika Selatan, tapi juga bagi dunia.
Kitab Kejadian ditutup di pasal 50 dengan kisah keluarga Yakub, termasuk kematiannya dan kemudian kematian Yusuf, anak Yakub yang juga seorang pahlawan besar. Seperti halnya Mandela, Yusuf pun mengalami ketidak-adilan dan kejahatan. Saudara-saudaranya telah membenci, menolak dan membuangnya ke lembah penderitaan dengan menjualnya sebagai budak.
Di dalam perjalanan hidup Yusuf berikutnya, ia terus-menerus mengalami ketidak-adilan, termasuk difitnah, padahal ia telah berusaha hidup benar di hadapan Allah. Lalu ketika tampaknya ada harapan untuk bisa bebas dari penjara setelah ia menolong juru minuman Firaun, ternyata harapan itu kandas. Sang juru minuman melupakannya sehingga Yusuf harus terus mendekam di penjara selama dua tahun berikutnya (Kejadian 40:14-23, 41:1).
Tetapi Yusuf memang seorang yang ‘besar’ karena ia tidak tenggelam dalam kepahitan atau kemarahan. Ia terus-menerus menunjukan respon yang benar di tengah segala ketidak-adilan yang terjadi; bahkan ketika Tuhan telah mengangkatnya sebagai seorang yang sangat berkuasa.
Setelah kematian Yakub, saudara-saudaranya ketakutan bahwa kini Yusuf akan membalaskan dendamnya. Maka mereka bergegas sujud di hadapan Yusuf dan menyatakan diri sebagai budaknya. Tetapi Yusuf mengekspresikan suatu pernyataan yang mengejutkan sekaligus melegakan: “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (ayat 19-20).
Yusuf tidak menyembunyikan realita bahwa saudara-saudaranya itu telah berbuat jahat kepadanya. Tetapi Yusuf menunjukan bahwa dalam hikmat-Nya, Allah berdaulat dan pegang kendali sehingga bisa membawa kebaikan kepada mereka yang percaya kepada-Nya. Iman yang semacam inilah yang membuat Yusuf selalu bisa berespon dengan baik dan benar.
Dalam kasus Yusuf, ada beberapa kebaikan yang terjadi. Pertama, Allah mengirim Yusuf ke Mesir untuk mempersiapkan negeri dalam menghadapi kelaparan besar yang pada akhirnya turut memelihara keluarganya juga. Kedua, Allah membawa seluruh keluarga Yakub ke Mesir sehingga mereka berkembang dan kemudian mengalami periode perbudakan. Tetapi setelah itu tangan kuasa Allah akan membebaskan mereka bagi terwujudnya rencana penebusan manusia. Yesus Kristus pun dilahirkan dari keturunan keluarga Yakub. Allah bisa menyebabkan semuanya ini melalui respon Yusuf yang penuh iman, tapi juga melalui pilihan-pilihan jahat yang diambil oleh saudara-saudaranya atau pun orang-orang yang bersikap tidak adil kepadanya.
Allah terus bekerja di balik layar di dalam kehidupan orang percaya, termasuk ketika kita tidak bisa melihat langsung campur tangan-Nya. Reformator Martin Luther merasa heran mengapa Roh Allah harus sulit-sulit menginpirasi penulis Kejadian untuk menuliskan hal-hal kecil yang tampak tak berarti, seperti yang terdapat di Kejadian 44 (yang membahas tentang Yusuf memerintahkan untuk memasukan piala (cangkir) peraknya ke karung gandum Benyamin.” Hal ini menunjukan bahwa Allah turut bekerja dalam hal-hal yang tampaknya kecil dan tak berarti di dalam keseharian hidup kita. Hikmat manusialah yang justru tidak sanggup memahami bagaimana Allah dapat bekerja melalui hal-hal kecil di hidup keseharian kita.
Kuasa Allah tak tertandingi tapi kadang sulit dimengerti sehingga merupakan misteri bagi kita. Namun di tengah segala ketidak-mengertian kita, bersediakah kita untuk beriman akan karakter dan dan hikmat Allah; dan karena itu memilih untuk bersikap baik dan benar di tengah segala kondisi seperti halnya Yusuf? ** (GE)