Iman, Perbuatan, dan Keselamatan
Orang percaya perlu memahami dengan benar relasi iman, perbuatan, dan keselamatan. Dengan pemahaman yang benar, murid-murid Kristus akan bertumbuh dengan sehat dalam iman mereka, dan juga menjaga mereka agar tidak terpelosok ke dalam legalisme dan antinomianisme – dua posisi ektrem yang tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab. Legalisme mengajarkan bahwa seseorang dibenarkan berdasarkan perbuatan, i.e., ketaatan kepada hukum Taurat. Antinomianisme, sebaliknya, berpandangan bahwa karena keselamatan hanya berdasarkan anugerah, maka orang percaya tidak perlu lagi berpegang kepada hukum Taurat.
Kedua posisi ekstrem ini harus ditolak karena bertentangan dengan pengajaran Kitab Suci. Ketaatan kepada hukum Taurat tentu saja hal yang baik, namun tidak boleh dijadikan sebagai dasar pembenaran manusia berdosa di hadapan Allah. Firman Allah dengan gamblang menyatakan bahwa “tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus” (Gal. 2:16). Dengan demikian legalisme harus ditolak.
Antinomianisme juga harus ditolak, karena posisi ekstrem ini akan menjerumuskan orang percaya ke dalam hidup tak bermoral. Posisi ini bertentangan dengan Firman Allah yang berkata: “tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Pet. 1:15-16).
Kitab Suci dengan jelas dan tegas mengajarkan bahwa (1) keselamatan melalui iman dan berdasarkan anugerah semata. (2) Namun iman yang menyelamatkan harus diikuti dengan perbuatan baik. Kita akan mengupas lebih jauh ke-2 poin ini.
Diselamatkan oleh iman saja, namun tidak semua iman menyelamatkan
Dibenarkan hanya oleh iman saja (sola fide) adalah salah satu pokok pengajaran utama gereja-gereja Reformasi. Pengajaran ini berakar kepada keyakinan bahwa keselamatan seutuhnya adalah karya Allah. Perbuatan manusia – dalam bentuk apapun – tidak ada kontribusi apapun bagi keselamatan mereka. Alkitab dengan tegas menyatakan: “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9).
Diselamatkan hanya oleh iman saja, namun tidak semua iman menyelamatkan. Maka ada iman yang menyelamatkan dan ada iman yang tidak menyelamatkan. Zacharias Ursinus, teolog Reformed, pengarang Katekismus Heidelberg, dalam bukunya Commentary on the Heidelberg Catechism, menerangkan ada 4 macam iman.
Ada 3 macam iman yang tidak menyelamatkan: iman historis, iman sementara, dan karunia iman. Pertama, iman historis adalah iman yang bersifat intelektual semata. Iman ini percaya secara intelek apa yang dikatakan oleh Alkitab, namun tidak menuruti dan bersandar kepada Allah. Iman ini tidak menyelamatkan, karena tidak cukup seseorang hanya percaya secara intelek saja. Alkitab berkata bahkan setan-setanpun memiliki iman seperti ini. “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar” (Yak. 2:19).
Kedua adalah iman sementara. Iman yang dimiliki seseorang, sehingga untuk sementara mereka kelihatan seperti murid Kristus. Mereka menerima pengajaran Kristen dengan penuh sukacita, namun bukan sukacita sejati, karena sukacita ini timbul oleh faktor-faktor luar, bukan oleh karya Roh Kudus dalam dirinya. Yesus menggambarkan iman ini seperti biji yang ditabur di antara tanah berbatu-batu. “Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira. Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad.” (Mat. 13:20-21) Iman ini hanya sementara, karena pada akhirnya orang itu akan murtad meninggalkan Tuhannya.
Ketiga, iman yang merupakan karunia khusus Roh Kudus untuk melakukan perbuatan-perbuatan ajaib. Paulus menyebutnya sebagai “iman yang sempurna” dan yang sanggup “untuk memindahkan gunung” (1Kor. 13:2). Namun, sekalipun sanggup melakukan perkara-perkara yang ajaib, iman ini tidak menyelamatkan. Yudas Iskariot, rasul Yesus Kristus, bisa saja memiliki karunia iman, sehingga ia, seperti rasul-rasul lainnya, dapat melakukan berbagai mujizat. Namun hatinya tidak diperbaharui oleh Roh Kudus dan ia binasa dalam ketidakpercayaannya (Yoh. 6:70). Jadi seseorang mungkin memiliki karunia iman, tetapi tidak memiliki iman yang menyelamatkan (cf. Mat. 7:22).
Terakhir, hanya ada satu macam iman yang menyelamatkan. Iman ini datang dari Roh Kudus yang bekerja dalam hati orang-orang pilihan, sehingga hati mereka diperbaharu. Mereka menyadiri diri berdosa, bertobat, dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka secara pribadi. Oleh iman ini, manusia berdosa setelah percaya, hidup mereka berubah dan mereka akan dimampukan untuk hidup suci di dalam Kristus. Inilah iman yang menyelamatkan (Yoh. 3:16).
Diselamatkan oleh iman saja, tetapi iman yang menyelamatkan tidak pernah saja
Tidak semua iman menyelamatkan. Hanya iman yang adalah karya Roh Kudus memperbaharui hati manusia berdosa itulah yang menyelamatkan. Lalu bagaimana ciri-ciri iman yang menyelamatkan? Banyak poin dapat disebutkan, namun di sini hanya akan dibahas satu poin saja, yakni iman yang menyelamatkan harus membuahkan perbuatan baik.
Dalam Katekismus Heidelberg, tanya jawab no.64, dicatat sebagai berikut:
Pertanyaan: Akan tetapi, tidakkah ajaran ini menjadikan manusia tidak peduli dan fasik?
Jawab: Tidak, karena barang siapa yang telah menjadi anggota tubuh Kristus, oleh iman yang sungguh-sungguh, tidak dapat tidak menghasilkan buah berupa perbuatan baik, yang timbul dari rasa syukur kepada Allah.
Dibenarkan semata-mata berdasarkan iman tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk hidup dalam kefasikan. Jika seseorang memiliki iman yang sejati, maka imannya pasti akan menghasilkan perbuatan baik. Dengan demikian, imannya yang tidak kelihatan akan berbuah perbuatan baik yang kelihatan. Yesus berkata: “Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik.” (Mat. 7:17-18).
Maka setelah orang berdosa diselamatkan berdasarkan iman, mereka dituntut untuk hidup sesuai dengan imannya dengan menghasilkan buah-buah Roh Kudus (1Pet. 1:15-16). Orang-orang percaya perlu menaati hukum Taurat, bukan sebagai dasar pembenaran mereka, tetapi sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan kudus di dalam Kristus (Ef. 2:10). Dengan cara demikian, mereka terhindar dari legalisme dan antinomianisme. (PD)