Kesembuhan Ilahi : apa dan bagaimana respon kita?
Kita mengenal dan mengakui sejumlah karunia rohani yang Tuhan berikan bagi jemaat-Nya. Salah satu yang sangat popular adalah karunia kesembuhan ilahi (1Kor 12:28). Yang dimaksud adalah karunia atau kemampuan (dari Tuhan) yang diberikan kepada seseorang untuk mendoakan orang-orang sakit sehingga mereka mendapat kesembuhan secara ajaib. Tulisan ini akan menyoroti aspek-aspek yang berkaitan dengan karunia ini dan bagaimana kita menyikapinya.
Pertama, kita mengakui karunia kesembuhan ilahi itu ada.
Memang terus ada perdebatan sejauh mana karunia-karunia yang disebut dalam Perjanjian Baru itu masih berlaku sampai sekarang. Namun secara faktual, kita melihat memang ada orang-orang tertentu yang mendoakan orang sakit dan orang itu sembuh secara ajaib, sekalipun hal ini perlu diuji dengan cermat. Hal yang sering dipahami keliru adalah menganggap karunia itu hanya dimiliki oleh hamba Tuhan dari aliran kekristenan tertentu saja.. Hamba-hamba Tuhan dari kalangan Injili sering dianggap tidak punya karunia semacam itu, sesuatu yang tidak benar. Karunia itu juga diberikan kepada siapa saja, termasuk mereka yang dari kalangan Injili.
Kedua, karunia kesembuhan diberikan untuk memuliakan Tuhan.
Hamba Tuhan yang benar mempunyai karunia itu harus membawa orang orang kepada Tuhan untuk menjadi lebih tertarik, lebih memuji, mengagumi Tuhan daripada hamba Tuhan tersebut. Jadi, kalau seseorang lebih mengagumi atau menghargai atau mencari hamba Tuhan daripada mencari Tuhan sendiri, maka itu sikap dan arah yang salah. Demikian pula, hamba Tuhan yang punya karunia itu tidak boleh memberi kesan dirinya hebat. Poster yang menampilkan foto diri dan nama yang besar, sedangkan nama Tuhannya kecil saja membuat pertanyaan siapa yang menyembuhkan? Demikian pula, tidak boleh ada orang yang menggunakan karunia itu untuk meraih keuntungan tertentu.
Ketiga, efektivitas karunia itu di tangan Tuhan.
Tidak ada seorang pun hamba Tuhan yang berhak mengklaim bahwa dia bisa menyembuhkan, baik sampai sepenuhnya atau sampai tingkat persentase kesembuhan tertentu. Ini bukan soal matematika, tetapi soal kehendak Tuhan. Pikiran dan cara kerja Tuhan tidak bisa pakai persen-persenan. Kalau ada hamba Tuhan yang bisa menjamin kesembuhan bagi kita, maka hal itu patut dipertanyakan. Dia bukan Tuhan yang berhak membuat keputusan. Bilamana hamba Tuhan tersebut menentukan terjadinya kesembuhan maka logikanya adalah tempat yang maksimal baginya adalah mengunjungi dan melayani orang orang sakit di rumah sakit dimana banyak orang tersebut sangat membutuhkan kesembuhan. Kenyataannya memang ada orang bisa diberi karunia kesembuhan, tapi itu bisa berlaku untuk siapa saja orang percaya, tidak terbatas kepada hamba Tuhan atau orang orang tertentu. Tuhan bebas dan berhak memberikan karunia kesembuhan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Keempat, soal iman.
Apakah betul iman itu syarat mutlak suatu kesembuhan? Iman bisa jadi terlibat dalam proses kesembuhan ilahi, tapi bukan penentu. Kalau kita membaca Alkitab dengan teliti, kita akan menemukan bahwa tidak setiap mukjizat kesembuhan yang Tuhan kerjakan itu disertai iman. Contoh Naaman. Alih-alih beriman, dia malah tersinggung disuruh mandi di sungai Yordan yang kotor. Tetapi dia sembuh! Dalam Kisah Para Rasul 3:1-10, ada kisah tentang kesembuhan yang dilakukan Petrus tanpa iman orang lumpuh itu. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa kita hanya bisa sembuh kalau beriman (besar), tidak sepenuhnya benar. Beriman itu penting, tetapi menjadikan iman sebagai syarat kesembuhan berarti menyatakan kesembuhan itu bergantung pada sesuatu yang dimiliki manusia itu dan bukan pada Allah. Jika dikatakan semakin besar iman, semakin bisa sembuh. Logikanya, kalau tidak sembuh berarti imannya kecil. Kasihan, bukan? Mereka yang sakit bisa tambah susah hati.
Kelima, tidak semua penderita penyakit (baca: berat) dapat mengalami kesembuhan ilahi.
Ini pokok yang penting juga yang sering disalahpahami. Penyembuh ilahi sering memberi janji bahwa kanker, penyakit jantung, stroke atau penyakit berat lainnya akan Tuhan sembuhkan asal percaya. Pertanyaan kita adalah, apakah Tuhan menghendaki semua penderita sakit seperti itu sembuh? Dalam pelayanan Tuhan Yesus di dunia, ada banyak sekali orang yang tidak disembuhkan. Tidak semua orang yang sakit berat akan disembuhkan Tuhan melalui mukjizat. Tuhan punya kehendak-Nya sendiri. Ia Allah yang berdaulat. Kita tidak tahu siapa yang akan sembuh, siapa yang tidak. Yang sembuh bukan berarti dianak-emaskan oleh Tuhan. Dalam hal ini ada misteri ilahi yang kita tidak bisa pahami.
Keenam, hubungan pengobatan medis dan iman.
Ini pokok yang sangat penting sekaligus membuat banyak orang Kristen bingung. Hamba Tuhan yang mengklaim diri penyembuh ilahi atau memiliki karunia kesembuhan sering mengatakan bahwa jika ingin sembuh, pengobatan medis harus dihentikan. Apa yang terjadi jika kondisinya memburuk? Di mana tanggung jawab hamba Tuhan itu? Jawaban yang biasa diberikan adalah, "Kamu kurang beriman." Atau mungkin lebih teologis, "Tuhan belum berkehendak." Pertanyaannya adalah, apakah mujizat Tuhan harus dan pasti meniadakan segala inisiatif manusia? Apakah penggunaan obat-obatan atau terapi medis lain bertentangan dengan iman atau mukjizat Tuhan? Tuhan memberi manusia hikmat. Semua ilmu pengetahuan termasuk medis adalah anugerah Tuhan bagi manusia yang bisa dipergunakan untuk kebaikan kita. Mukjizat dan medis tidak perlu dipertentangkan. Bisa saling melengkapi. Jika kesembuhan terjadi melalui perawatan medis, itu tidak berarti Tuhan tidak berkarya. Kesembuhan melalui perawatan medis tidak menurunkan derajat kemahakuasaan atau kemuliaan Allah. Tuhan berdaulat dalam semuanya. Iman dan hasil pengetahuan bisa dipakai Tuhan menyatakan kuasa-Nya. Yang satu tidak perlu meniadakan yang lainnya. Hati-hati jangan membawa iman kepada suatu pertaruhan yang gegabah. Tuhan bisa memakai banyak hal bagi kesembuhan, bahkan juga ketidaksembuhan. Kiranya kita diberi hikmat oleh Tuhan dalam segala keadaan, terutama dalam mencari kesembuhan. Immanuel. [AG]