Kudus: Aktif atau Pasif?
Membahas tentang kekudusan memang gampang-gampang susah. Sepertinya gampang, karena seringkali kita mengasumsikan bahwa “kudus” berarti “tidak berdosa”. Tetapi susah karena sebenarnya kata “kudus” yang dimaksud Alkitab lebih dalam dari sekadar itu. Hal ini menjadi perenungan saya ketika saya masih SMA dan membahas mengenai kekudusan dalam sebuah kelompok CG. Di dalam diskusi itu, ketika ditanya bagaimana caranya menjadi kudus, teman-teman saya menjawab, “tidak menonton film porno”, “tidak melakukan hubungan seks di luar nikah”, “tidak menyontek”, dan “tidak” lain-lainnya. Ketika sampai di giliran saya, saya bertanya kepada pemimpin CG saya, “apakah kekudusan itu sekadar menghindari dosa? Kok hanya “tidak” saja dari tadi?”
Seringkali pemahaman tentang kekudusan bersifat pasif, tidak melakukan ini-itu yang berdosa. Sehingga, mudah sekali kita berkesimpulan bahwa orang-orang paling kudus adalah para pertapa atau kaum mistikus yang cenderung menghindari hidup berkomunitas. Tidak heran, semakin kita hidup mengisolasi diri, semakin sedikit dosa kita, bukan? Jadi, cara menjadi orang kudus adalah pergi ke hutan dan tinggal di gua-gua saja!
Namun, bukan ini pandangan Alkitab. Buktinya, Tuhan memanggil orang-orang Israel yang Ia bebaskan dari perbudakan di Mesir untuk menjadi “bangsa yang kudus” (Kel. 19:6). Tak hanya itu, Ia menempatkan mereka di daerah Palestina, sebuah lokasi yang sangat strategis menjadi titik pertemuan benua Asia, Afrika, dan Eropa. Dari sini jelas bahwa kekudusan yang dikehendaki Tuhan tidak bersifat pasif dan mengisolasi diri.
Untuk mengerti konsep kekudusan, Kitab Imamat adalah rujukan pertama. Di dalam Kitab Imamat, terdapat tiga level kekudusan. Yang paling rendah adalah keadaan najis. Di atas level itu adalah keadaan tahir. Di Puncak yang tertinggi adalah keadaan kudus. Keadaan najis adalah ketika seseorang melakukan dosa tertentu atau menyentuh objek-objek najis, misalnya mayat atau binatang-binatang haram. Seorang wanita yang sedang dalam masa menstruasi juga dianggap najis. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak boleh berada di daerah Kemah Suci. Untuk lepas dari keadaan ini, maka seseorang harus ditahirkan, biasanya melalui sebuah upacara yang dilakukan imam. Dalam proses ini, seseorang dibersihkan dari kenajisannya dan masuk ke dalam keadaan tahir. Ini adalah keadaan netral.
Salah satu kerancuan yang sering terjadi adalah karena dalam bahasa Indonesia, kata “suci” dianggap bersinonim dengan kata “kudus,” misalnya dalam lagu himne “Suci, Suci, Suci” yang terinspirasi dari pujian malaikat “Kudus, Kudus, Kudus” (Yes. 6:3). Namun, dalam Alkitab kata yang diterjemahkan “suci” justru lebih mendekati konsep “tahir” daripada “kudus.” Misalnya, kata “suci” dalam Mzm. 19:9, dalam bahasa Ibraninya adalah “tahir”. Suci juga bisa berarti “tidak bersalah”/innocent (Ay. 33:9) atau “bersih”/pure (2 Sam. 22:27). Bahkan, kata “suci” bisa juga berupa kata kerja (“disucikan” dalam Im. 8:15) dimana sebuah objek atau pribadi ditahirkan dari keadaannya yang najis oleh dosa. Satu contoh kasus penggunaan kata yang sangat menarik adalah dalam Im. 21:7. Di ayat ini, kata “suci” dan “kudus” muncul bersamaan. Namun, di dalam bahasa Ibraninya, dua kata ini sama sekali tidak bersinonim. “Kudus” berada di level yang lebih tinggi daripada sekedar “suci”, “tahir”, “bersih”, “tidak bersalah”, dan lain sebagainya. “Tidak berdosa” hanya mencapai level “suci” atau “tahir”, bukan “kudus”.
Jadi, apa arti “kudus” dalam Alkitab? Sebuah ayat dalam Imamat 19:2 yang menaungi seluruh kitab ini memberikan landasan pemahaman tentang kekududusan. “Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Berbeda dengan nilai-nilai lain, konsep kekudusan harus kembali kepada Tuhan sendiri. Kejujuran misalnya, dapat dijelaskan dengan pikiran atau konsep manusia. Orang ateis bisa hidup jujur. Tapi hidup kudus? Orang ateis tidak bisa mencapainya karena kekudusan selalu kembali kepada Tuhan.
Itulah mengapa kekudusan adalah atribut terpenting Tuhan, baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Yes. 6:3 dan Why. 4:8 mencatat bagaimana pujian untuk Tuhan adalah “Kudus” yang diulang tiga kali, menyiratkan penekanan. Tidak pernah sekalipun dalam Alkitab Tuhan dipuji “Kasih, kasih, kasih”, tetapi dua kali ia dipuji “Kudus, kudus, kudus”, dalam Perjanjian Lama dan Baru.
Kitab Yesaya, kitab yang sangat menekankan kekudusan Allah, juga pada saat yang sama mengecam penyembahan berhala dan membanding-bandingkan Allah Israel, Allah yang Sejati, dengan ilah-ilah palsu bangsa-bangsa asing. Dari sinilah kita mengerti bahwa makna kekudusan Tuhan adalah bahwa Ia berbeda, terpisah, dan tidak dapat disamakan dengan illah-illah yang mati. Itulah makna “kudus” atau “qadosh” dalam bahasa Ibrani.
Jadi, ketika dikatakan bahwa umat Allah harus kudus sebagaimana Ia kudus, perintah yang ingin diberikan adalah, “sebagaimana Tuhan berbeda, terpisah, dan tidak dapat disamakan dari illah-illah lain, maka umat-Nya pun harus berbeda, terpisah, dan tidak dapat disamakan dari penyembah-penyembah illah-illah palsu.” Inilah penyebab mengapa Kitab Imamat berisi peraturan-peraturan yang terdengar aneh, tidak masuk akal, menyulitkan, dan membacanya membuat kita mengantuk dan bingung. Melalui peraturan-peraturan sebanyak itu, Tuhan memastikan bahwa orang-orang Israel memiliki kehidupan yang sama sekali berbeda dalam segala aspek dengan bangsa-bangsa asing yang bertetangga dengannya. Makanan? Orang-orang Israel hanya boleh makanan binatang-binatang tertentu (Im. 11). Pakaian? Mereka tidak boleh memakai pakaian yang dibuat dari dua material berbeda (Im. 19:19). Kehidupan seksual? Mereka tidak boleh melakukan inses, homoseksualitas, dan dengan binatang (Im. 18), sesuatu yang terjadi pada bangsa-bangsa lain. Ini masih belum cukup. Tuhan bahkan memberikan hukum-hukum mengenai bagaimana para imam dikuduskan lebih lagi dibandingkan orang-orang Israel lainnya. Tidak sekadar larangan, Im. 8-10 dan 21:1-22:16 menginstruksikan upacara penahbisan sedemikian rupa untuk menekankan kekudusan mereka. Di sinilah kita melihat bahwa, kekudusan pada puncaknya bersifat aktif.
Tetapi, ini adalah cara hidup umat Allah dalam Perjanjian Lama, bukan? Bagaimana dengan kita, umat Allah dalam Perjanjian Baru? Kita tidak perlu lagi hidup di bawah hukum Taurat. Jadi, bagaimana cara kita menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang kudus, orang-orang yang berbeda, terpisah, dan tidak dapat disamakan dengan dunia – dengan kata lain hidup yang tidak “serupa dengan dunia ini” (Rm. 12:2)? Apakah sekadar “tidak berbuat dosa”? Tentu tidak! Kalau hanya sekadar “tidak menonton film porno”, “tidak melakukan hubungan seks di luar nikah”, “tidak menyontek”, apalagi “tidak membunuh”, “tidak selingkuh”, “tidak mencuri”, orang dunia juga sudah tahu! Bahkan, banyak di antara mereka yang hidupnya jauh lebih baik daripada orang-orang Kristen!
Jadi, bagaimana caranya menjadi kudus di zaman Perjanjian Baru? Prinsipnya tetap sama, yakni: “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” Sama seperti umat Perjanjian Lama, umat Perjanjian Baru harus hidup dengan cara yang sama seperti Allah. Bedanya adalah, pewahyuan Allah paling puncak terjadi dalam diri Yesus Kristus. Jadi, cara umat Perjanjian Baru menjadi kudus adalah dengan hidup serupa Kristus!
Itulah sebabnya perintah untuk menjadi serupa Kristus merupakan perintah paling inti. Semua perintah kembali ke sini. Mengasihi musuh (Mat. 5:44)? Supaya serupa Kristus. Tahan uji dalam penderitaan (Ibr. 12:3)? Supaya serupa Kristus. Menginjili (Mat. 28:19-20)? Supaya serupa Kristus. Membuang segala keegoisan dan mementingkan orang lain (Fil. 2:3-11)? Supaya serupa Kristus. Kalau sekadar menghindari larangan-larangan (“tidak” ini dan itu), orang Kristen masih tidak bisa dibedakan dengan dunia. Menjadi serupa Kristus – dengan kata lain, menjadi umat yang kudus – bersifat aktif. Dengan demikian, orang Kristen benar-benar berbeda, terpisah, dan tidak dapat disamakan dengan dunia. [DO]