Manusia Potensial dan Segala Keabsurdannya
“Engkau harus belajar atau bekerja sungguh-sungguh, kelak baru bisa menjadi orang”. Demikianlah kata yang sering kita dengar keluar dari mulut orang tua terhadap anaknya, ataupun pimpinan terhadap yang dipimpin. Frasa “menjadi orang” seolah-olah hendak menyatakan bahwa manusia belum menjadi manusia, jika mereka belum menjadi seseorang yang hebat ataupun memiliki sesuatu hal yang dianggap “wah”.
Dalam wawasan Kristiani yang Alkitbiah, pernyataan semacam demikian harus kita kaji ulang. Manusia adalah manusia bukan karena ia memiliki kuasa, tahta, atau harta. Manusia bukan tentang apa yang menempel pada dirinya (to have), tetapi tentang keberadaan dirinya (to be), yang pada dasarnya adalah berharga, karena dicipta menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Sebab jika tidak, maka kita akan menyatakan mereka yang berada dalam status intelektual atau status material yang lebih rendah bukanlah seorang manusia yang sejati (less-human).
Padahal secara hakiki, manusia dan tidak pernah berhenti menjadi manusia saat ia berada di dunia ini. Dr. J. Budiziszewski, seorang filsuf dan teolog Kristen pernah mengangkat isu ini dalam bukunya yang berjudul, “The Line Through the Heart” di mana ia berkata, “Konsep tentang manusia potensial itu adalah absurd. Manusia tidak dapat dimengerti secara potensial. Non manusia tidak dapat menjadi manusia … pilihannya antara ia manusia atau bukan manusia. Pribadi atau bukan pribadi. Manusia yang belum lahir (masih dalam kandungan) pun bukanlah seorang manusia potensial, tetapi manusia aktual yang penuh dengan potensi.”
Jikalau kita mengerti bahwa sejak dalam kandungan bahwa manusia adalah manusia, maka seseorang akan menghargai yang namanya kehidupan. Seseorang tidak akan sembarangan menyakiti atau kemudian memilih untuk melakukan aksi terminasi terhadap sesama dengan sesuka hati, apalagi dengan alasan yang pragmatis. Dengan menyadari bahwa seseorang adalah manusia seutuhnya dan sepenuhnya, bahkan sejak dalam kandungan, maka seseorang tidak akan memperlakukan orang lain selayaknya seekor binatang atau sebuah benda (I-It relationship), yang dimana seseorang itu bisa kita eksploitasi dan manfaatkan sedemikian rupa, dengan alasan mereka bukan atau belum menjadi manusia. Mereka masih, “potentially human/person”.
Apabila konsep tentang manusia potensial terus kita pelihara, maka tidak heran bahwa akan sangat sulit bagi komunitas Kristen untuk menjalin kesatuan dan kebersamaan yang autentik. Seseorang akan sangat selektif dalam memilah dan memilih pertemanan dan pergaulan. Yang lemah ditinggalkan dan diacuhkan, yang kuat dipuja dan dihormati. Ya, karena alasan sederhana, yang kuat dan yang “berada” itu, barulah disebut dengan “orang”.
Ketika kita menyadari bahwa kita semua adalah manusia, pribadi yang dicipta oleh Tuhan dan yang dicintai Tuhan, kita sadar bahwa kita pun dipanggil untuk menyatakan kasih kepada semua orang, terlepas status dan kedudukan yang melekat pada diri seseorang. Sekalipun setiap manusia telah jatuh di dalam dosa, namun itu pun tidak membuat manusia berhenti menjadi manusia, atau turun level menjadi selayaknya binatang atau benda. Justru di situlah, dalam kerapuhan kita, kita diajak, dipanggil, dan bahkan dimampukan untuk mengasihi sesama kita sebagaimana Kristus, yang adalah Tuhan yang sempurna rela turun ke dunia dan menyatakan kasih-Nya bagi manusia yang berdosa. Maka kita pun harus belajar mengasihi sesama seperti Kristus.
Penerimaan dalam suatu komunitas juga dapat muncul dan tumbuh subur melalui kesadaran bahwa yang lain adalah sesamaku (I-Thou relationship). Sebagaimana aku adalah manusia yang utuh yang dicintai Tuhan, maka aku pun harus mengasihi mereka yang dicipta dan dicintai oleh Tuhan. Konsep “manusia potensial” menyulitkan dimensi penerimaan, karena ada sebuah pengotakan yang kontras antara mana yang dianggap sudah menjadi manusia dan belum menjadi manusia, dengan standar yang sangat absrud.
Sungguh lucu jikalau manusia itu baru disebut “orang” hanya jika ia memiliki timbunan emas, padahal tentang keberhargaan emas itu pun adalah hasil konsensus antar manusia, yang memberi nilai yang relatif tinggi pada emas. Manusialah yang seharusnya mendefinisikan suatu benda, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, manusia tidak disebut manusia karna apa yang dimilikinya. Namun ia adalah manusia dari asalnya, sebab ia dicipta dan dikasihi oleh Kristus. We are not less human or less person, we are a true human, a true person, because of God, because of Jesus Christ. **YCT