Melarikan Diri dari Mentalitas Penonton
Di dunia marketing, orang mencoba beragam cara untuk memahami, “Kenapa dan bagaimana orang bisa berubah, dari pasif menjadi aktif, bahkan proaktif? Apa yang melatar-belakangi perubahan semacam ini?” Menarik bahwa di Alkitab, khususnya di Yohanes 4:1-26, terdapat jawabannya.
Tokohnya adalah seorang wanita yang merupkan minoritas tiga level. Pertama, minoritas secara politis karena ia adalah seorang Samaria. Orang Yahudi tidak menyukai orang Samaria karena mereka melakukan praktik-praktik religius secara sinkretis. Ketika orang Yahudi bepergian dari Utara ke Selatan atau sebaliknya, mereka lebih memilih jalur memutar daripada harus melintasi daerah Samaria.
Kedua, minoritas secara budaya karena ia seorang wanita. Di zaman Yesus, wanita memiliki status yang jauh lebih rendah dibanding periode sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh pengaruh periode intertestamental selama 400 tahun (antara jaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Selama masa itu tidak ada nabi atau pewahyuan dari Tuhan. Sementara di sisi lain, budaya Yunani-Romawi menjadi ancaman tersendiri. Itulah sebabnya orang Yahudi membuat banyak aturan sebagai upaya untuk memurnikan budaya Yahudi dari pengaruh budaya Yunani-Romawi. Diantaranya adalah dengan sangat membatasi wanita Yahudi dari sisi status maupun berbagai keterlibatan lainnya, sehingga mereka tidak bercampur dengan non-Yahudi.
Ketiga, minoritas secara sosial. Ia sudah pernah memiliki lima suami dan kini tinggal dengan laki-laki yang bukan suaminya. Banyak orang berpikir ia adalah seorang perempuan yang tidak bermoral. Namun sebetulnya menurut “Mishnah” atau tradisi orang Yahudi pada masa itu, istri tidak punya hak untuk bercerai. Ini berarti, kalau sampai ia pernah punya lima suami, kemungkinannya, ia adalah seorang wanita cantik tapi mandul. Pada masa itu, keberhargaan seorang wanita didasarkan pada fertilitasnya, apakah ia punya anak atau tidak. Jika tidak, maka ia menjadi seorang yang tertolak di masyarakat.
Sebagai triple minority, tidak heran jika wanita ini minder berat. Itulah sebabnya ia baru pergi ke sumur di tengah hari bolong ketika matahari sedang bersinar terik. Hal itu mungkin dilakukannya supaya ia tidak perlu bertemu dengan para wanita lain.
Tetapi Yesus, seorang rabbi Yahudi terhormat, sengaja berinteraksi dengan wanita ini dan bahkan minta minum darinya. Berbagai tindakan ini berpotensi membuat diri Yesus – di mata orang Yahudi, menjadi najis. Bahkan murid-murid Yesus pun kaget ketika melihat-Nya berelasi dengan wanita Samaria ini.
Larry Crabb, seorang psikoterapis Kristen, percaya bahwa “akar dari berbagai kesulitan pribadi maupun emosional adalah kegagalan untuk terkoneksi dengan yang lain.” Yesus yang mengerti hal ini, membangun koneksi dengan wanita ini secara bertahap. Mengajaknya bicara, minta minum darinya, lalu membahas kehidupan wanita ini di masa lalu dan masa kini, tanpa menghakiminya. Ia lalu bicara tentang cara berpikir wanita ini yang kurang tepat mengenai cara menyembah dan tentang kebutuhannya akan Air Hidup. Terakhir, Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai Mesias yang dinanti-nantikan.
Di dalam persahabatan, terdapat saling keterbukaan. Yesus tidak hanya menunjukkan kondisi wanita ini, tapi juga membuka kebenaran tentang diri-Nya. Membuka diri merupakan wujud kepercayaan dan kesediaan untuk menjadi rapuh. Wanita ini, yang selama ini hanya menjadi ‘alat’, sangat terkejut ketika ada seseorang yang bersedia untuk terkoneksi dengannya, melihat dirinya sebagai manusia dan bukan alat, tanpa menghakiminya.
Seringkali dunia menggantikan koneksi sejati dengan moralisme. Dunia berpikir, memaksa orang untuk melakukan hal yang benar dapat mengubah mereka. Padahal, kuasa untuk mengubah bergantung pada pemahaman, bukan tekanan; pada kesadaran diri, bukan aturan; serta pada koneksi yang saling menerima, bukan penghakiman. Ketika hal-hal tersebut terwujud, seseorang yang pasif bisa menjadi proaktif. Wanita yang minder ini bisa berani muncul ke permukaan dan menjadi penginjil pertama yang mempengaruhi masyarakatnya untuk berubah. ** GE