Mengapa Orang Benar Mengalami Penderitaan?
Penderitaan adalah hal yang sulit untuk dipahami. Ketika manusia mengalami penderitaan, atau ketika kita menyaksikan orang yang kita kasihi mengalami penderitaan, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Mengapa? Mengapa saya mengalami hal ini? Mengapa dia harus menderita?”. Permasalahan tentang penderitaan semakin kompleks ketika kita mengetahui bahwa orang yang mengalami penderitaan adalah mereka yang begitu beriman, setia, dan menunjukkan kesaksian hidup yang baik.
Inilah yang terjadi dengan Ayub. Alkitab menyatakan bahwa Ayub adalah orang yang “saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” (1:1), bahkan Allah pun mengakui kesalehan hidup Ayub (1:8, 2:3). Dengan kata lain, Ayub adalah pribadi yang blameless – tak bercacat, tidak didapati suatu kelalaian atau sesuatu kesalahan padanya. Namun Ayub mengalami penderitaan yang begitu berat. Semua harta kepunyaannya diambil daripadanya, anak-anaknya meninggal, dan Ayub didera penyakit kulit di sekujur tubuhnya. Pertanyaan “Mengapa?” akan mengusik hati nurani kita yang membaca kisah Ayub, sebuah kisah yang begitu tidak masuk akal dan menuntut jawaban. Ayub sendiri menuntut jawaban dari Tuhan. Ayub 10:2 berbunyi “Aku akan berkata kepada Allah: Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku.” Bahkan, sebagian besar dari Kitab Ayub (pasal 3-37) berisi ratapan dan pembelaan diri Ayub.
Jadi, mengapa Ayub, orang yang benar di hadapan Allah, mengalami penderitaan? Yang pasti jawabannya bukanlah hukuman dari Tuhan, karena Ayub tidak melakukan kesalahan atau kejahatan di mata Allah. Jawaban lain yang biasa ditawarkan adalah karena penderitaan membantu pertumbuhan kerohanian seseorang. Namun jawaban kedua ini juga tidak valid dalam kasus Ayub karena Ayub adalah orang yang dewasa secara rohani dalam karakter, kehidupan moral, dan praktek imannya. Bahkan Iblispun tidak mendapati kesalahan padanya.
Kitab Ayub bagian terakhir (pasal 38-42) memberikan petunjuk dalam diskusi tentang topik ini. Di dalam pasal 38-41 kita melihat bahwa Allah menunjukkan diri-Nya dan berbicara kepada Ayub. Allah menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Hadir, kekal, dan berdaulat atas segala ciptaan. Di dalam pasal 42 Ayub berespon terhadap Allah: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal… Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu." (ayat 2, 5-6).
Dalam hal ini, Allah tidak memberikan jawaban spesifik kepada Ayub mengapa Ayub mengalami semua penderitaan yang dia alami. Allah tidak berkata, “Ayub, kamu mengalami penderitaan ini karena…”. Tidak ada penjelasan. Dalam pasal 38-42 Allah menyatakan bahwa Dia adalah Allah. Menariknya, meskipun tidak menemukan jawaban yang spesifik atas pergumulannya, Ayub memutuskan untuk mencabut perkataannya dan tunduk kepada Allah.
Ada berbagai interpretasi yang diberikan terhadap respon Ayub terhadap Allah ini. Ada interpretasi yang berkata bahwa Ayub menyesal telah menantang Allah. Interpretasi lain menyatakan bahwa penderitaan orang benar bukanlah berarti Allah mengecilkan manusia. Sebaliknya, penderitaan orang benar adalah panggilan mulia dari Allah kepada manusia sebagai gambar dan rupa-Nya. Gerald Janzen menyatakan bahwa Ayub akhirnya memiliki pemahaman akan penderitaan yang serupa dengan penggambaran Hamba yang Menderita (Yesaya 52-53) dan kepada peran penderitaan dalam konteks pelayanan kepada Allah yang digambarkan dalam Perjanjian Baru melalui Yesus dan Paulus. Tentu ini adalah jawaban yang secara teologis benar dan bermanfaat bagi orang Kristen, namun jawaban ini kurang tepat ketika diaplikasikan untuk menjawab pergumulan Ayub karena Ayub tidak menderita demi orang lain. Anggota keluarga Ayub pun tidak mati demi orang lain. Penderitaan Ayub dan kematian anak-anak Ayub adalah atas seijin Allah dan “tanpa alasan” (Ayub 2:3). Jika demikian, mengapa Ayub diam, meski dia tidak mendapatkan jawaban dari Allah? Karena pada akhirnya Allah menunjukkan diri kepada Ayub. Karena pada akhirnya mata Ayub sendiri telah memandang Allah. Ayub melihat Allah muka dengan muka.
Melalui peristiwa hidup Ayub kita menyadari bahwa tidak semua pertanyaan memerlukan jawaban. Ayub tidak mendapatkan jawaban spesifik atas pertanyaannya dan atas protes yang dilayangkannya kepada Allah. Pada akhirnya, Ayub mengakui bahwa Allah tidak perlu menjawabnya secara spesifik. Ayub pun menyadari bahwa meskipun Allah menjawabnya, sebagai manusia mungkin dia tidak dapat memahami jawaban Allah karena hikmat Allah jauh melampaui hikmatnya sebagai manusia. Ayub dengan sepenuh hati tunduk pada cara Allah memerintah ciptaan-Nya. Ayub berdamai dengan kenyataan bahwa dalam dunia ini anak-anak kecil yang tak bersalah bisa meninggal dan banyak ketidakadilan lainnya yang terjadi. Namun pada akhirnya Ayub melihat Allah dengan cara yang berbeda. Ayub berdamai dengan kebenaran siapa Allah dan siapa dia sebagai manusia.
Uniknya, tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tidak membuat Ayub meninggalkan Allah. Ayub tetap membangun relasi dengan Allah meski melalui ratapan, keluh kesah, dan bahkan protesnya kepada Allah. Satu hal yang Ayub tidak lakukan adalah mengutuki Allah. Dan Allah, dalam anugerah-Nya, meresponi Ayub. Jadi, pada akhirnya, ketika Ayub tetap memilih untuk menyembah Allah, relasi yang dia miliki dengan Allah berbeda dengan relasinya dengan Allah sebelum mengalami penderitaan. Ayub sangat menghargai relasinya dengan Allah.
Dalam berbagai situasi kehidupan kita, kiranya pertanyaan-pertanyaan kita bukan menjauhkan kita dari Allah, tetapi kita tujukan pertanyaan-pertanyaan kita kepada Allah dengan iman bahwa relasi kita dengan Allah akan membawa kita mengalami Allah, terutama di tengah penderitaan kita. Begitu juga ketika kita mendampingi mereka yang mengalami penderitaan. Kita boleh, dalam waktu dan dengan cara yang tepat, mengarahkan mereka untuk berpikir apakah ada dosa yang mungkin Tuhan bukakan melalui perenungan akan penderitaan mereka, atau apakah mereka mengalami pertumbuhan rohani yang disebabkan oleh penderitaan yang mereka alami. Namun, jika mereka tidak dapat menemukannya, mereka mungkin sedang mengalami apa yang dialami oleh Ayub. Kita berdoa dan berharap bahwa mereka tetap membangun relasi dengan Allah dan pada akhirnya melihat Allah dengan cara yang berbeda, memiliki relasi yang lebih intim dengan Allah, dan mengalami Allah dengan lebih luar biasa. * (YS).