Mengenali 'Tangan Tuhan'
Salah satu kisah di Perjanjian Lama yang sangat memikat adalah kehidupan Yusuf. Perjalanan hidupnya yang luar biasa dan penyertaan Tuhan yang dialaminya menjadi inspirasi dan teladan bagi para pembacanya. Salah satu momen paling agung di bagian akhir kisahnya adalah ketika Yusuf menenangkan hati saudara-saudaranya yang takut akan pembalasan Yusuf kepada mereka setelah kematian Yakub, ayah mereka. Yusuf mengatakan: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kejadian 50:20).
Apa yang dikatakan Yusuf sungguh luar biasa. Dia mampu mengenali tangan Tuhan bekerja dalam hidupnya sehingga hal-hal buruk yang dialaminya selama bertahun-tahun ternyata membawa dia menjadi orang yang dipakai menolong keluarganya dan bangsa yang besar. Kita semua rindu untuk selalu bisa mengatakan demikian, yakni mengenali ada tangan Tuhan yang mengarahkan hidup kita pada sesuatu yang membawa kebaikan. Ini adalah yang disebut sebagai providensia Allah, yakni penyediaan atau pemeliharaan Allah.
Katekismus Heidelberg, salah satu pengajaran iman gereja-gereja reformasi, di dalam pertanyaan nomor 27, mengatakan bahwa pemeliharaan Allah adalah “Kekuatan Allah, yang mahakuasa dan yang hadir di segala tempat. Dengannya Dia memelihara langit dan bumi serta semua makhluk seakan-akan dengan tangan-Nya sendiri, dan memerintahnya, sehingga daun dan rumput, hujan dan kemarau, masa kelimpahan dan kekurangan, makanan dan minuman, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, dan segala hal tidak menimpa kita secara kebetulan, tetapi datang dari tangan Bapa saja.”
Untuk bisa melihat pemeliharaan Allah seperti itu, tentu pertama-tama kita harus sadar bahwa kita memiliki Allah yang aktif dan memerintah, menopang dan memelihara alam semesta ini dan umat Tuhan pada satu arah untuk mencapai tujuan-Nya sendiri. Menurut Deisme, Allah meninggalkan ciptaan-Nya setelah Dia menciptakannya. Jikalau alam semesta yang sangat besar ini saja ditinggalkan-Nya untuk beroperasi menurut hukum-hukum alam, mengapa Dia harus memerhatikan manusia yang sedemikian terbatas dan lemah. Namun jika Dia memang tidak hanya menciptakan tetapi secara aktif memelihara alam semesta serta umat-Nya di masa lalu, tentu ada alasan bagi kita secara pribadi sebagai bagian dari umat-Nya masa kini untuk juga dipelihara saat ini maupun di masa yang akan datang.
Di dalam konsep ketika Allah dipandang ikut berproses bersama alam ciptaan-Nya dan dengan demikian tidak sepenuhnya terlepas dari ciptaan, tentu juga tidak mudah untuk melihat bagaimana Dia dapat selalu mengarahkan alam ciptaan dan tetap mampu memelihara kita di tengah segala perubahan alam semesta ini. Karena itu, berbicara tentang tangan Tuhan, paling baik dan memungkinkan adalah ketika kita mengimani ada Allah yang transenden dan di atas semua ciptaan-Nya.
Ketika memahami tentang providensia ini, kita perlu menyadari bahwa tangan Tuhan bisa dilihat dengan aspek berbeda-beda. Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering memandang providensia Allah sebagai sesuatu yang sifatnya tidak disangka-sangka, tidak layak atau tidak sebanding dengan peristiwa yang terjadi. Misalnya, Tono bertemu dengan Tini dalam perjalanan kereta api karena mereka duduk bersebelahan dan menemukan kecocokan dalam percakapan mereka. Suatu perjumpaan tak disangka-sangka itu ternyata berlanjut sehingga keduanya menjalin relasi kasih. Ketika ditanya oleh teman-temannya, mereka mengatakan bahwa tangan Tuhan telah membawa mereka untuk menjadi pasangan dengan cara yang tak disangka-sangka. Nah, ungkapan akan pekerjaan tangan Tuhan di saat itu disebut oleh Paul Helm dalam bukunya The Providence of God sebagai providensia sesaat. Disebut demikian karena memang bagaimana perjalanan hidup keduanya di kemudian hari belum diketahui.
Jenis providensia berikutnya adalah yang disebut oleh Paul Helm sebagai providensia retrospektif atau evaluatif. Ini adalah providensia yang dinilai oleh manusia setelah peristiwa awal terjadi. Misalnya di dalam contoh Tono dan Tini, mereka kemudian menikah. Ternyata melalui pernikahan tersebut diketahui bahwa Tini memiliki latar belakang orangtua yang sedemikian parah sehingga ia sering menumpahkan kemarahan secara luar biasa dan merusak serta jatuh ke dalam berbagai depresi berat. Bukan hanya itu, ternyata Tono mengalami kegagalan bisnis yang berimbas pada kesehatannya sehingga ia terkena stroke. Tono sekarang hanya bisa terbaring di ranjang. Di dalam kasus demikian, sungguh tidak mudah bagi Tono maupun Tini untuk melihat bahwa memang tangan Tuhanlah yang telah mempertemukan mereka di atas kereta api sekian tahun yang lalu. Apa yang dianggap sebagai tangan Tuhan dalam analisis providensia sesaat mereka di masa lalu, ternyata diguncang sedemikian rupa di masa kemudian. Benarkah Tuhan yang mempertemukan mereka atau hanya keinginan mereka belaka untuk menjadi suami isteri?
Jadi, sebetulnya tidak mudah bagi kita untuk mengatakan ada tangan Tuhan yang memelihara dan memberikan manfaat bagi kita hanya pada satu titik tertentu dalam perjalanan hidup kita karena bisa saja kita memandangnya berbeda di kemudian hari. Karena itu, di dalam melihat kehadiran tangan Tuhan, aspek iman menjadi sangat penting, karena kita tidak selalu melihat manfaat atau keuntungan langsung bagi diri kita di dalam menjalani kehidupan. Seperti contoh di atas, kita bahkan sering mengalami kerugian dan penderitaan. Providensia sesaat yang kita rasakan secara sadar maupun tidak sadar akan terus dievaluasi melalui providensia retrospektif di masa-masa selanjutnya. Tentu ini akan berlanjut sampai kita kembali ke rumah Bapa di Surga. Jadi, perjalanan iman untuk melihat kehadiran tangan Tuhan memang tidak akan pernah selesai sampai akhir hidup kita. Hal iman ini bahkan menjadi lebih penting lagi karena di sebagian kehidupan orang percaya, pola kehadiran tangan Tuhan tidak selalu bisa terdeteksi dengan baik. Mereka bisa jadi mengalami penderitaan hidup secara berputar-putar, dari satu penderitaan dan kesusahan kepada penderitaan yang lainnya.
Sekalipun tidak selalu mudah untuk melihat tangan Tuhan yang bekerja, iman membawa kita untuk percaya bahwa ‘Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia’. (Rm 8:28) Apa yang disebut dengan ‘kebaikan’ di sini? Ayat selanjutnya memperlihatkan bahwa ‘kebaikan’ itu adalah ‘keserupaan dengan Kristus’. Jadi, segala sesuatu di dalam hidup kita adalah pekerjaan tangan Allah yang secara aktif bukan hanya menghadirkan peristiwa demi peristiwa, tetapi yang melaluinya membentuk kita sedemikian rupa untuk menjadi makin serupa dengan Kristus. Inilah wujud kasih Allah bagi orang percaya: mengajarkan kita untuk setia, tetap bermurah hati, tetap meyakini kebaikan dan penyertaan Tuhan, sabar, tetap tekun dan sebagainya. Hal ini terjadi, terlepas apakah peristiwa yang terjadi membawa kita menderita atau membawa kebahagiaan, terlepas apakah persentase kebahagiaan lebih besar atau lebih kecil di dalam hidup kita, terlepas apakah kita mampu mendeteksi pola-pola pekerjaan tangan Allah dalam hidup kita atau kurang mampu. Allah memiliki tujuan kekal demikian bagi kita dan tangan-Nya terus bekerja dalam hidup kita menggenapi tujuan itu.
Katekismus Heidelberg di pertanyaan nomor 28 mengajarkan bahwa tujuan kita mengetahui pemeliharaan Allah ini adalah supaya “kita dapat bersabar di tengah segala kesusahan (a) dan bersyukur dalam kelimpahan (b). Untuk masa depan juga kita menaruh kepercayaan penuh kepada Allah dan Bapa kita yang setia itu (c), bahwa tidak satu makhluk pun akan dapat menceraikan kita dari kasih-Nya (d). Sebab semua makhluk berada di tangan-Nya, sehingga mereka tidak dapat bergerak setapak pun melawan kehendak-Nya (e).”
Karena itu, mari kita terus memohon agar Allah memelihara dan terus memberikan iman yang cukup untuk menyadari dan mengenali kehadiran tangan-Nya yang penuh kasih di dalam hidup kita.*(TDK).