Optimisme vs Pengharapan
“Tenang… semuanya akan baik-baik saja.”
“Don’t worry, be happy.”
Kedua kalimat di atas sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari kita, bukan? Kalimat yang mengeskpresikan optimisme akan kehidupan. Banyak orang berpikir bahwa optimisme adalah sesuatu yang baik dan oleh karena itu adalah sebuah pola pemikiran yang perlu dikembangkan. Orang-orang yang optimis dianggap lebih bisa menikmati hidup dan biasanya adalah orang-orang yang enak untuk diajak berteman.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, optimisme didefinisikan sebagai “paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan; sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal.” Dengan kata lain, orang-orang yang optimis biasanya merasa bahwa “hal-hal yang baik” pasti akan terjadi. Yang menarik untuk diselidiki adalah alasan orang-orang untuk menjadi optimis. Biasanya kebanyakan orang memilih untuk menjadi optimis karena mereka ingin menghindarkan diri dari merasakan perasaan-perasaan yang negatif, seperti kesedihan, kemarahan, ketakutan, atau kekuatiran.
Selain itu, kita juga perlu melihat apa dasar dari cara pandang optimisme. Ada optimisme yang didasarkan atas ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau penolakan/penyangkalan atas realita. Optimisme kadang mengabaikan fakta-fakta dan tetap merasa positif seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Sebagai contoh, dalam pandemi ini ada orang-orang yang menolak memakai masker ketika pergi ke tempat ramai karena mereka optimis bahwa mereka tidak akan tertular penyakit Covid-19. Tentu ini adalah optimisme yang salah kaprah dan hanya akan menimbulkan akibat yang buruk. Ada pula optimisme yang didasarkan akan data-data dan fakta saat ini. Sebagai contoh, seseorang bisa merasa optimis ketika melihat kemajuan dan keberhasilan beberapa riset dan ujicoba obat atau vaksin bagi Covid-19. Namun tentu masa depan adalah misteri, dan kita tidak pernah akan apa yang terjadi. Optimisme yang timbul saat ini apakah bisa tetap bertahan di masa mendatang jika data dan fakta berubah di kemudian hari? Optimisme sepert ini adalah optimisme yang tidak memiliki jaminan yang pasti. Jadi, bagaimana dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen? Apakah orang Kristen harus optimis? Tentu kita perlu menyelidiki apa yang Alkitab katakan tentang optimisme.
Alkitab melihat dunia dengan cara pandang yang tidak optimis. Allah pada mulanya memang menciptakan dunia ini baik adanya, namun kejatuhan manusia ke dalam dosa telah merusak ciptaan Allah. Dosa mengakibatkan penderitaan dan kejahatan. Selain itu, bumi menjadi rusak dan manusia akan hidup dipenuhi dengan kesulitan-kesulitan (Kejadian 3:16-19). Tentu saja akan ada hal-hal yang indah di dunia ini tetapi juga akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan (Pengkhotbah 3:1-8). Selain itu, di dalam Alkitab Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa orang Kristen hanya akan menerima hal-hal yang menyenangkan saja. Alkitab menggambarkan orang-orang percaya yang mengalami penganiayaan, penderitaan, penyakit, dan penolakan oleh dunia. Yohanes Pembaptis mati dengan kepala terpenggal, Stefanus mati dirajam, Rasul Paulus mengalami banyak pengalaman yang sulit (2 Korintus 11:23-27). Tuhan Yesus sendiri sudah memperingatkan bahwa orang-orang percaya akan mengalami penderitaan karena Nama-Nya (Matius 24:9).
Alkitab mengajarkan tentang pengharapan, bukan optimisme. Alkitab mengajarkan bahwa dasar dari pengharapan kita hanyalah di dalam Tuhan (Mazmur 39:8). Berbeda dengan optimisme, pengharapan memiliki dasar yang pasti, yaitu Allah. Pengharapan Alkitabiah adalah jaminan atau kepastian yang didasarkan akan janji Allah, berpegang pada apa yang Allah janjikan, dan mengharapkan Allah memenuhi janji-Nya berdasar atas bukti-bukti sejarah yang Alkitab berikan. Allah memberikan janji kepada Abraham (Roma 4:18), kemudian pengharapan itu dianut oleh Israel (Kis 26:6-7) dan dinyatakan oleh Rasul Paulus sebagai pengharapan Injil. Pengharapan, dalam Kekristenan, selalu berhubungan dengan keselamatan yang telah Allah janjikan melalui Kristus Yesus. Pengharapan yang didasarkan akan keselamatan ini termasuk pengharapan akan masa depan, yang membuat orang Kristen akan menimbulkan ketekunan (Roma 8:24-25) meski dalam penderitaan (Roma 5:3-4). Pengharapan memberikan keteguhan bagi jiwa (Ibrani 3:6) dan adalah sauh bagi jiwa ketika dikaitkan kepada Allah yang tidak pernah berdusta (Ibrani 6:18-19). Pengharapan Kristen adalah pengharapan yang eskatologis, melihat lebih jauh daripada kehidupan di dunia ini (Wahyu 21:1).
Berbeda dengan optimisme, pengharapan tidak mencoba untuk merasa bahagia. Pengharapan bahkan kadang menyakitkan. Pengharapan akan didapatkan oleh orang-orang yang bersedia untuk bergumul dengan penderitaan, kejahatan, sakit-penyakit, ketidakadilan, dan kenyataan-kenyataan sulit lainnya. Pengharapan bergumul secara sungguh-sungguh dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, dan percaya bahwa akan ada jawaban meskipun pada saat itu sukar dipahami. Sebagai contoh, seseorang yang mengelami sakit-penyakit. Sudut pandang optimis bagi orang sakit adalah sudut pandang yang hanya mengharapkan kesembuhan. Sedangkan orang yang berpengharapan pada Allah akan berdoa bagi kesembuhan, namun menyerahkan hidup dan masa depannya ke dalam tangan Tuhan, percaya bahwa Tuhan memberi yang terbaik dalam waktu yang terbaik. Kenyataannya, banyak orang Kristen yang taat pun meninggal karena penyakit. Alkitab mengajarkan bahwa apa yang kita harapkan tidaklah lebih penting daripada kepada siapa kita berharap. Rasul Paulus meminta Tuhan untuk melepaskan duri dalam dagingnya, mengharapkan kondisi yang lebih baik, tetapi Tuhan tidak mengabulkannya. Tuhan malah mengijinkan terjadi berbagai macam penderitaan dalam hidup Rasul Paulus. Rasul Paulus menaruh pengharapannya pada Allah saja, bahwa Allah sanggup memberikan anugerah dan kuasa yang cukup untuk melewati berbagai macam penderitaan yang dialami dalam hidupnya.
Kita mungkin akan mengalami sakit-penyakit yang tidak bisa sembuh. Kita mungkin mengalami kegagalan dalam usaha, dalam pekerjaan, dalam relasi. Dunia akan mengalami krisis ekonomi. Tetapi pengharapan Kristiani akan tetap hidup karena Kristus kita hidup. Di dunia ini kita akan mengalami air mata, namun Allah akan menghapus air mata kita. Di dunia akan ada kerusakan dan kematian, tetapi Allah akan menjadikan segala sesuatunya baru dan menjanjikan kebangkitan. Allah berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun bukan dalam hidup di dunia ini. Pengharapan kita adalah pengharapan dalam kekekalan. Kita tidak perlu optimisme dunia, berpura-pura bahwa semua yang ada di dunia ini lebih baik dari yang kelihatannya. Sebaliknya, kita bisa menghadapi dunia ini dengan segala kebobrokan, keburukan, dan duka karena kita memiliki pengharapan kekal.***(YS)