Panggilan Untuk Bersukacita
Mengalami sukacita adalah perkara yang sangat sulit. Dalam perjalanan kehidupan, semua orang--termasuk orang percaya Tuhan--mengalami kesulitan, air mata, penderitaan, kegagalan, kekecewaan, penghianatan, perselingkuhan, penghinaan, pelecehan, pertengkaran, kecemburuan, rasa sakit hati, sakit-penyakit, dsb. Pengalaman-pengalaman itu menguras tangki sukacita dalam hati kita. Rasa bahagia karena hidup yang lancar dan membawa sukacita menjadi menjadi “barang” yang mahal dan langka. Orang yang masih bisa mengalami sukacita adalah orang yang langka.
Kalau begitu, apakah itu berarti sukacita tidak mungkin lagi kita bisa alami? Tentu tidak! Karena di dalam panggilan untuk bersukacita itu, kekuatannya bukan terletak pada kondisi, situasi, keberadaan manusia, harta, posisi, status, serta pendidikan. Hal-hal itu bisa saja menjadi faktor yang membawa sukacita, tetapi hanya bersifat sementara. Sumber sukacita yang sejati bersumber dari Tuhan. Sungguh beruntung kita masih bisa mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang dekat kepada orang yang mencari-Nya. Coba bayangkan kalau Tuhan itu tidak ada seperti diyakini oleh penganut Ateisme, betapa berbahaya, menakutkan dan mengerikannya kehidupan ini. Yang terjadi adalah kehidupan “kanibal”, yaitu manusia menjadi mangsa bagi manusia yang lain. Yang kuat menjadi penguasa yang lemah.
Masih ada Tuhan! Keberadaan-Nya membuat semuanya jelas karena Tuhan adalah satu-satunya Sumber semua kebaikan yang dibutuhkan oleh manusia, dalam hal ini menerima dan mengalami sukacita. Pertanyaannya adalah seberapa dalam dan kokohnya kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan? Unsur dominan yang dituntut bukan pada Tuhan-Nya, tetapi pada diri manusia. Artinya kalau Tuhan dipercayai ada dan hadir, maka baik langsung atau tidak langsung kebaikan di dalam sukacita itu pasti ada. Penyebab utama kegagalan manusia melihat dan mengalami sukacita adalah Iblis yang membuat manusia hanya berkonsentrasi pada apa yang kelihatan yaitu pada persoalan dan kesulitan semata. Masalah itu dianggap olah lebih besar dan lebih kuat daripada perjumpaan dan pengalaman dengan Tuhan. Inilah kekuatan dosa yang menutupi mata jasmani dan rohani manusia.
Kalau begitu apa yang harus kita lakukan? Dalam Filipi 4:4 tertulis “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Frase “dalam Tuhan” berarti kembali kepada Tuhan. Sederhana bukan?
“Dalam Tuhan” mengandung tiga nasihat yang penting:
- Kita harus mengandalkan Tuhan yang sanggup memberi kekuatan dan kesanggupan di dalam menghadapi segala kesulitan dan persoalan hidup. Ketika kita ada di dalam Tuhan, maka Tuhan juga bersama kita Allah adalah Allah Imanuel (Mat 1:23).
- Kita harus menyerahkan apapun beban kehidupan kepada Tuhan. Jika kita mengambil sikap berserah, belum tentu segala sesuatu akan menjadi lebih mudah, tetapi kita akan merasa tenang dan damai. “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakan dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dan ucapan syukur” (Flp 4:6).
- Kita harus memperkuat hidup ini dengan nilai-nilai rohani yang baik dan benar, terutama memohon Roh Kudus memberikan buah Roh-Nya yang terdiri dari sembilan rasa atau sifat. Dari sembilan rasa itu, salah satunya adalah sukacita. Menarik kalau diperhatikan bahwa sukacita ada diurutan kedua setelah kasih (Galatia 5:22). Kalau urutan kedua, jelas sangat penting. Tidak terpikirkan, tetapi nyata karena Allah Roh Kudus yang mengerjakan semuanya dengan sempurna. Apakah Anda masih ragu?
Kalau Anda sungguh ingin mengalami sukacita yang sejati, katakanlah kepada Tuhan: “Tuhan aku butuh sukacita itu dan berikanlah itu dalam hidupku!” Pasti Allah Roh Kudus menggenapkannya dengan sempurna. Rayakan kesukacitaan di dalam Tuhan sekarang! Awali dengan menyebut nama Yesus, Allah Penyelamat. Soli Deo Gloria.*(LHP).