Para Wanita di Tengah Kebangkitan Jemaat Tuhan
Di zaman gereja mula-mula, Tuhan menempatkan seorang wanita yang luar biasa yakni Priskila yang dicatat dalam Kisah Para Rasul 18:24-26. Priskila, seorang istri yang membantu suaminya, Akwila, membuat kemah (18:3), tetapi juga rekan sepelayanan Paulus (Rom. 16:3). Ia bahkan terdidik di dalam hal teologi bahkan berani untuk mengajari Apolos sehingga Apolos memiliki pemahaman yang tepat akan kebenaran dan menjadi pemberita Injil yang lebih efektif. Dengan segala kecakapan ini, tidak heran Lukas, penulis Kisah Para Rasul, selalu meletakkan nama Priskila lebih dahulu, seolah menunjukkan peranannya yang lebih dominan di gereja daripada suaminya. Seorang ahli biblika Thomas F. Torrance mengemukakan kemungkinan bahwa Priskila mungkin sekali adalah seorang penatua (presbyter). Ruth Hoppin, ahli biblika lain, melihat kemungkinan bahwa Surat Ibrani ditulis oleh Priskila.
Rupanya dalam setiap momen kebangkitan sebuah jemaat, Tuhan akan meletakkan seorang wanita hebat. Jika gereja mula-mula punya wanita hebat multitalenta bernama Priskila, gereja Protestan mula-mula punya wanita hebat multitalenta bernama Katharina von Bora.
Sama seperti Priskila yang keluar dari Roma dan menetap di Korintus karena penganiayaan dan pengusiran terhadap orang Kristen di sana atas perintah Kaisar Claudius (18:2), Katharina von Bora juga keluar dari kota Nimbschen di Jerman dimana ia melayani sebagai seorang biarawati karena penganiayaan terhadap orang-orang Protestan atas perintah Kaisar Charles V. Ia bersama sembilan biarawati lainnya melarikan diri ke kota Wittenberg, tempat dimana Martin Luther memakukan 95 dalil enam tahun sebelumnya. Sama seperti Priskila bertemu dengan Paulus, rasul yang terkemuka pada masa itu, Katharina bertemu dengan Martin Luther, reformator yang mengguncang seluruh dataran Eropa. Kedua wanita ini menjadi rekan sekerja dari dua orang tokoh gereja yang kita kenal sampai sekarang.
Namun persamaannya hanya sampai di sini. Katharina von Bora tidak hanya menjadi rekan sekerja Martin Luther, tetapi pada akhirnya menjadi istri dari reformator Jerman tersebut. Dikisahkan bahwa sesudah kesembilan biarawati itu sampai di Wittenberg, Luther berusaha untuk mencarikan keluarga yang dapat menampung mereka. Sungguh kasihan sekali kesembilan biarawati ini karena mereka tidak diterima oleh keluarga kandung mereka sendiri karena keyakinan mereka, sehingga Luther akhirnya mencarikan seorang suami bagi masing-masing biarawati. Dua tahun berlalu, dan Luther berhasil menikahkan mereka kecuali Katharina von Bora. Banyak pria yang sudah melamarnya menjadi suaminya, namun ia menolak semuanya. Pada akhirnya, Luther sendiri yang menikahinya.
Berbeda dengan karikatur yang biasa digunakan untuk mendiskreditkan Protestanisme (“gerekan Protestan terjadi karena ada sepasang biara dan biarawati dan tidak bisa menahan nafsu ingin menikah!”), komponen romantisme tidak ada dalam pernikahan Luther dan Katharina yang diadakan pada 13 Juni 1525. Luther yang berusia 41 tahun tidak memendam perasaan romantis apapun kepada istrinya yang berusia 26 tahun. Alasannya menikahi Katharina adalah untuk membuat ayahnya yang menginginkan keturunan senang, sekaligus untuk membuat marah Paus karena ia membatalkan kaul selibasinya. Namun dengan cepat pandangannya tentang pernikahan berubah.
Katharina adalah homemaker yang luar biasa, tidak hanya mengurus keluarganya, tetapi juga anak-anak yatim-piatu yang ditampung Luther serta tamu-tamu lain. Tak hanya itu, Katharina juga pandai mencari dan mengatur uang. Ia bangun jam 4 pagi untuk mengurusi ladang dan peternakan mereka, sampai-sampai Luther menjulukinya “the morning star of Wittenberg” (“bintang fajar Wittenberg”). Ia merawat hewan ternak dan berjualan hasilnya, berkebun, bahkan memproduksi bir rumahan. Luther mengomentari kekayaan talenta istrinya, “to my dear wife Katharina von Bora, preacher, brewer, gardener, and whatever else she may be…” (“kepada istriku yang terkasih Katharina von Bora, pengkotbah, pembuat bir, tukang kebun, dan apapun lainnya ia”).
Uang yang diperoleh Katharina tidak hanya cukup untuk menafkahi segala kebutuhan keluarganya bahkan tetapi juga gereja dan biara Martin Luther yang menampung sekitar 40 orang. Luther yang sangat sering berderma tidak perlu lagi memikirkan darimana ia mendapatkan uang, karena segala urusan keuangan telah diserahkannya kepada “my Lord Katie” (“tuanku Katie”), demikian sebutannya untuk Katharina. Luther berkomentar, “in domestic affairs, I defer to Katie. Otherwise, I am led by the Holy Ghost” (“di dalam urusan rumah tangga, aku tunduk kepada Katie. Selain itu, aku dituntun oleg Roh Kudus”).
Apakah dengan segala kehebatan ini, semua orang mengagumi Katharina? Rupanya tidak. Sama seperti suaminya, ia pun dimusuhi kalangan Katolik. Lebih-lebih, serangan mereka terhadap Katharina lebih kejam daripada terhadap Luther. Manakala mereka menyerang teologi maupun kemampuan intelektual Luther, para biarawati Katolik menyerang karakter Katharina dengan mempublikasikan puisi satir yang dapat digolongkan sebagai pencemaran nama baik. Puisi itu berbunyi,
“Celakalah engkau, wanita berdosa yang jatuh, tidak hanya karena kau beralih dari terang kepada kegelapan, dari agama kudus yang terlindung di balik biara kepada kehidupan terkutuk dan memalukan, tetapi terutama karena engkau telah pergi dari anugerah kepada ketidakperkenanan Allah.. Engkau dikatakan telah hidup dalam dosa dengan Luther. Tetapi engkau kemudian menikahinya, dengan demikian meninggalkan Kristus, mempelai priamu.”
Serangan-serangan seperti ini tidak hanya terjadi sekali-dua kali, tetapi terus-menerus di sepanjang kehidupan pernikahannya. Namun, apakah ini membuat Katharia berkecil hati dan meragukan keputusannya untuk menjadi seorang Protestan dan menikahi Luther? Tidak! Sebaliknya, ia makin bersemangat menegakkan kebenaran sebagaimana diperjuangkan oleh para reformator, bahkan ketika sang reformator di sisinya malas dan lalai menegakkan kebenaran itu! Beberapa bulan sebelum pernikahan mereka, teolog Katolik Desiderius Erasmus menerbitkan sebuah buku berjudul On Free Will yang mengkritisi doktrin-doktrin Protestan. Awalnya, Luther malas untuk menanggapi karya ini karena ia tahu Erasmus menulisnya dengan setengah hati karena disuruh oleh politikus Katolik yang menghendaki redanya gerakan Protestanisme.
Di dalam kemalasannya, justru Katharina-lah yang mengingatkan reformator tersebut untuk menanggapi Erasmus dan menegakkan kebenaran. Pada akhirnya, mengikuti saran Katharina, Luther menulis sebuah karya teologi yang sangat terkenal di kalangan Reformed berjudul On the Bondage of The Will (“Mengenai Keterbelengguan Kehendak”). Jika tidak ada Katharina, kita tidak mungkin memiliki buku ini.
Pernikahan Luther & Katharina berpengaruh sangat sifnifikan terhadap formulasi doktrin gereja-gereja Protestan mengenai pernikahan. Luther mengatakan, “The Christian is supposed to love his neighbor, and since his wife is his nearest neighbor she should be his deepest love” (“orang Kristen seharusnya mengasihi sesamanya, dan berhubung istrinya adalah sesamanya yang terdekat, ia harus menjadi kekasihnya yang terdalam”). Luther juga mengatakan bahwa tanpa wanita, “the home, cities, economic life and government would virtually disappear. Men cannot do without women. Even if it were possible for men to beget and bear children, they still could not do without women.” (“rumah, kota, kehidupan ekonomi serta pemerintahan akan lenyap. Pria tidak dapat melakukannya tanpa wanita. Sekalipun pria dapat melahirkan anak, mereka tetap saja tidak akan dapat melakukan semua ini tanpa wanita.”)
Sangat menarik bahwa di sepanjang sejarah, tidak hanya sejarah keselamatan sebagaimana tercatat dalam Alkitab tetapi juga sepanjang sejarah gereja, ada sebuah pola dimana Tuhan menempatkan wanita-wanita multitalenta yang luar biasa di momen kebangkitan umat-Nya. Di momen kebangkitan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, Tuhan memakai Miryam untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan bayi-bayi oleh Firaun. Di momen mula-mula pendudukan Israel atas tanah Kanaan, Ia menempatkan hakim Debora bersandingan dengan Barak yang pengecut. Di momen kedatangan Mesias, Ia memilih Maria untuk menjadi ibunda Anak-Nya. Di momen kebangkitan-Nya, Ia menugaskan Maria Magdalena menjadi saksi pertama kebangkitan. Di momen berdirinya gereja mula-mula, Ia menempatkan Priskila. Dan di momen berdirinya gereja Protestan mula-mula, Ia memberikan Katharina sebagai pendamping hidup Luther.
Apa maksudnya pola ini? Meski terdengar kontroversial, khususnya di tengah budaya patriakal, saya kira jelas bahwa pesannya adalah bahwa keterlibatan wanita sangat krusial bagi kebangkitan Jemaat Tuhan. Meski seringkali peran wanita sering terlupakan, tidak akan terjadi kebangkitan spiritual tanpa kehadiran mereka. Tidakkah jumlah jemaat wanita yang lebih tinggi daripada jemaat pria di gereja serta kekompakan dan militansi para wanita di dalam gereja merupakan petunjuk terbesar dari hal ini?(DO)