Paradoks Kebebasan
Di masa kini, banyak sekali film dan game yang menceritakan tentang sosok ilah atau dewa jahat yang menindas manusia, tak ubahnya seperti seorang tiran. Kemudian muncullah sesosok jagoan yang memberontak dan mengalahkan ilah tersebut, dengan demikian membebaskan manusia.
Cerita-cerita seperti ini bukan fenomena baru karena dunia yang makin lama makin sekuler. Kisah-kisah seperti ini sudah ada dalam mitos-mitos Yunani Kuno. Prometheus, misalnya, adalah seorang titan yang dijuluki “Penolong Manusia” karena dia sering melawan dewa-dewi dan mengajarkan manusia bagaimana caranya memberontak. Dikisahkan suatu kali Prometheus menawarkan diri untuk mengajari manusia bagaimana cara mempersembahkan kurban berupa banteng atau sapi ke dewa-dewa. Prometheus menyuruh manusia membagi seekor banteng yang sudah disembelih, dengan bagian-bagiannya dipisahkan menjadi dua tumpukan. Salah satu tumpukan terdiri dari daging terbaik, sedangkan tumpukan kedua berisi tulang dan kulit. Namun, Prometheus membuat tumpukan kedua terlihat lebih menggugah selera dengan menutupinya dengan lemak. Zeus kemudian diminta memilih tumpukan mana yang dia inginkan dan ternyata memilih tumpukan yang berisi kulit dan tulang. Walhasil, manusia mendapatkan daging terbaik dan para dewa mendapatkan sisanya.
Zeus akhirnya mengetahui trik yang dilakukan Prometheus. Namun, alih-alih menghukum Prometheus, Zeus memutuskan untuk membuat manusia menderita dengan menghilangkan api dari manusia. Mengetahui hal ini, Prometheus yang tidak ingin manusia sengsara mencuri api dari Zeus. Sayangnya, dia ketahuan dan Zeus menghukumnya dengan cara diikat ke batu yang tidak dapat digerakkan dengan rantai yang tidak bisa dirusak, jauh di Pegunungan Kaukasus. Di sana setiap hari seekor elang akan mencabik hati Prometheus untuk kemudian memakannya. Setiap malam, hati Prometheus akan tumbuh kembali dan serangan elang akan terulang kembali keesokan harinya. Demikian terus berulang dalam keabadian.
Mitos ini begitu dikagumi seorang filsuf Jerman bernama Karl Marx yang bukan hanya seorang ateis tapi anti-teis, yakni anti-agama atau anti-Tuhan. Marx mengatakan, “Prometheus adalah martir sekaligus santo terpenting di dlm filosofi!” Mengapa? Karena Marx melihat Prometheus memperjuangkan kebebasan manusia dengan melawan dewa-dewi.
Sepertinya tidak bisa tidak Anda mulai berpikir, “sepertinya yang membuat manusia tidak bebas adalah penciptanya.” Bahkan ayat seperti Pengkotbah 3:10 mendukung pemikiran ini, “Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.” Manusia berjuang berbuat baik, taat beribadah, beramal, dan takut berbuat dosa karena, “kalau tidak, aku akan dihukum!” Bandingkan dengan mereka yang tidak mengenal Tuhan dan hidup dalam hedonisme. Manakala kita berjuang mati-matian menaati Tuhan Yesus yang memeringatkan bahwa memandang perempuan yang bukan pasangan kita dan mengingininya saja sudah termasuk zinah, para hedonis melakukan free-sex dan mengonsumsi porn sesuka hati. Jujur aja, orang-orang yang hidup dalam dosa terlihat lebih bebas. Perkataan karakter Iblis di dalam Paradise Lost karya John Milton, “lebih baik memerintah di neraka daripada melayani di surga” sungguh menggambarkan mentalitas mereka.
Jadi mengapa, alih-alih membebaskan, justru kelihatannya Tuhan-lah yang memperbudak dan mengekang kita? “Siapa bilang kita dikekang? Tuhan Yesus sudah mati untuk menebus kita dari dosa, baik dosa-dosa di masa lalu, masa kini, dan masa depan kita. Jadi, keselamatan kita sudah dijamin! Kita sudah tidak lagi hidup di bawah penghukuman! Jadi, tidak masalah melakukan dosa!” Saya tahu Anda pasti akan mengatakan hal ini secara terang-terangan. Tapi mungkin di dasar hati yang paling dalam, kita memendam pikiran seperti ini. “Tak apalah berdosa. Toh Tuhan Yesus sudah mengampuniku.” “Tak apalah. Ini tidak mempengaruhi keselamatan.”
Tetapi, kebebasan berbuat dosa seenaknya bukanlah kebebasan yang Tuhan Yesus anugerahkan kepada kita, sebagaimana dijelaskan Paulus dalam Roma 6:1-14. Jadi, apa kebebasan pengikut Kristus yang sesungguhnya? Jawabannya adalah: kebebasan untuk berjuang. “Hah?” Mungkin Anda protes. “Berjuang itu justru tanggung jawab, bukan kebebasan!” Jika Anda berpikir seperti ini, mungkin karena Anda memercayai presuposisi yang salah tentang kebebasan, yakni: kebebasan harus memberikan kenyamanan. Presuposisi ini banyak dipercayai orang, misalnya orang yang lumpuh 38 tahun dalam Yohanes 5:1-18. Jika kita baca dengan teliti, orang itu tidak pernah mengatakan ingin disembukan. Bahkan menurut beberapa penafsiran, justru orang itu kesal karena Tuhan Yesus menyembuhkannya. Mengapa kesal? Karena kini ia bebas berjalan, berlari, dan beraktivitas. Ini berarti dia tidak bisa lagi hanya duduk-duduk dan meminta-minta. Kini ia harus menggunakan kebebasannya untuk bekerja. Jelas, lebih nyaman hanya duduk ongkang-ongkang kaki dalam kecacatannya daripada bekerja membanting tulang, bukan?
Demikianlah gambaran orang yang hidup dalam dosa. Lumpuh oleh dosa-dosanya, tetapi tidak mau dibebaskan karena sudah terlalu nyaman duduk ongkang-ongkang kaki dalam dosa! Tidak salah Alkitab menyebut orang-orang hedon sebagai hamba dosa. Pecandu narkoba, misalnya. Apakah dia benar-benar bebas? Tidak! Orang yang kecanduan tidak bisa mengendalikan keinginannya. Itulah sebabnya orang-orang demikian disebut Paulus “dikuasai dosa.”
Jika Anda seorang pragmatis, Anda mungkin berpikir, “apa salahnya berbuat dosa selama hal itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain?” Celakanya, banyak sekali orang Kristen yang berpikir seperti ini. Dosa bukan berdasarkan perintah Tuhan melainkan pertimbangan pragmatis dari diri sendiri. Tetapi, coba kita pikir apa yang akan terjadi jika Tuhan Yesus juga berpikiran pragmatis seperti kita, “jika turun ke dunia dan disalib untuk menyelamatkan manusia ada untungnya bagi-Ku, akan Kulakukan. Jika tidak, ya sudah.” Jika Tuhan Yesus berpikir seperti ini, kita semua akan celaka! Puji syukur yang menjadi pertimbangan Tuhan Yesus bukanlah pragmatisme, melainkan kasih. Kasih adalah alasan mengapa Pribadi Yang Maha Bebas bersedia menjadi manusia yang sangat amat terbatas dan mati untuk membebaskan kita.
Timothy J. Keller pernah mengatakan “Kasih adalah hilangnya kebebasan yang paling memerdekakan” (“Love is the most liberating freedom-loss of all”). Maksudnya, seseorang yang jatuh cinta adalah orang yang paling tidak bebas sekaligus paling bebas. Anda yang memiliki anak tentu tahu rasanya. Harus bangun pagi-pagi untuk mengantar-jemput mereka ke sekolah, harus memberi mereka perhatian, mengajak main dan mengajari mereka. Namun Anda tidak merasa diperbudak atau dikekang oleh anak-anak Anda karena Anda menyayangi mereka. Anda makhluk yang paling bebas meski Anda tidak bebas, karena kasih. Anda dengan rela menyerahkan kebebasan Anda untuk sang buah hati.
Ini juga yang dilakukan Tuhan Yesus, yakni menyerahkan kebebasan-Nya karena kasih kepada kita. Demikian pula kebebasan sebagai orang percaya: sesudah ditebus dan diselamatkan, pengikut Kristus yang sejati akan berjuang hidup dalam ketaatan, berjuang melawan dosa, berjuang untuk makin hari makin serupa dengan-Nya. Namun, apakah ini karena ia diperbudak? Tidak! Kebebasan pengikut Kristus yang sejati adalah kebebasan untuk berjuang bagi Allah karena mengasihi-Nya.
Ada kisah tentang seorang gadis yang menghadiri pesta bersama-sama teman-temannya. Di penghujung pesta tersebut, mereka menawari si gadis obat-obatan terlarang. Gadis itu menolak dan segera pamit karena tidak mau terlibat dalam tindakan tersebut.
“Dasar anak papa!” Temen-temannya ngejeknya, “Kamu takut papamu akan menyakiti kamu kalau ketahuan, ya?” (“Are you scared your dad’s gonna hurt you if he finds out?”)
“Tidak.” Gadis itu jawab, “Aku takut aku akan menyakiti papaku kalau aku ketahuan.” (“I’m scared I’m gonna hurt my dad if he finds out.”)
Inilah gambaran paradoks kebebasan murid Kristus. Kita berjuang bukan karena takut Tuhan akan menyakiti kita, melainkan karena tidak mau lagi dosa-dosa kita menyakiti hati-Nya. * (DBO).