Penatalayanan kekayaan
Bagaimana bersikap terhadap kekayaan adalah isu krusial bagi orang Kristen. Di satu sisi kekayaan dibutuhkan bahkan sangat bermanfaat di dalam menunjang pelayanan dan perluasan kerajaan Allah. Namun di sisi lain orang Kristen diajarkan untuk bersikap hati-hati dan bijaksana terhadap kekayaan. Sikap yang salah akan menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa. Ketamakan misalnya, adalah pencobaan yang mengintip di setiap pintu kehidupan orang percaya. Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap godaan ini.
Sebagai orang yang dipercayakan kekayaan, setiap orang Kristen adalah penatalayan. Menjadi penatalayan kekayaan tidak hanya memberikan persembahan pada gereja atau organisasi amal tetapi juga dinyatakan dengan memedulikan ciptaan Allah, mengatur rumah tangga Allah, menghadirkan keadilan Allah di dalam dunia. Perjanjian Lama menunjuk pada datangnya kerajaan Allah yang bermurah hati: menyediakan kebutuhan bagi si miskin dengan menyisakan panen (kitab Ruth); menetapkan Sabat bagi tanah; pembatalan utang pada tahun ke tujuh yang menegaskan kasih kepada sesama (Ul 15:1-6); perintah untuk memberi pinjaman tanpa bunga (Ul 15:7-11), dsb. Meskipun perintah-perintah itu tidak perlu diikuti begitu saja pada masa Perjanjian Baru, tetapi mereka mencerminkan prinsip minimum bagi kehidupan ekonomi orang Kristen. Orang Kristen terpanggil untuk memelihara bumi, melepaskan utang, memberdayakan orang miskin, meningkatkan harga diri kaum marginal dan memerjuangkan kesetaraan kesempatan. Dengan kata lain, iman kepada Kristus bukan hanya persoalan hubungan yang baik dengan Tuhan tetapi hubungan itu harus tercermin dalam sikap yang baik terhadap sesama.
Salah satu tanda kerohanian sejati adalah bagaimana sikap kita terhadap uang. Seorang Kristen sejati tidak akan mengikatkan dirinya pada harta sebagai jaminan hidup. Ia sadar akan kefanaan harta sehingga memegangnya dengan longgar. Oleh karena itu, ia tak akan kikir untuk memberikan kepada yang membutuhkan dengan sukacita dan murah hati (Luk 6:38; 2Kor 9:7). Dalam hal ini, jumlah atau persentase pemberian tidak lagi menjadi perhitungannya.Sepuluh persen (persembahan persepuluhan) seharusnya bukan jumlah yang mengikat tetapi hanya menjadi panduan dasar bagi orang yang mengasihi Allah (bdk. jemaat Makedonia,2Kor 8:3). Jadi ketika kita semakin mengasihi Allah, maka kita semakin sanggup memberi melampaui panduan dasar itu.
Ada beberapa prinsip dalam penatalayanan kekayaan.
Pertama, fokus investasi kita seharusnya pada manusia terutama pada mereka yang membutuhkan. Investasi kita bukanlah untuk memperkaya diri sendiri. Satu-satunya harta yang dapat kita bawa ke dalam kehidupan yang akan datang adalah hubungan yang dibangun di dalam Kristus. Harta di surga adalah hubungan yang kita bangun melalui penggunaan uang dengan kemurahan hati. Karena itu, tujuan Tuhan memberikan kita harta bukan saja untuk kitanikmati, tetapi juga untuk investasi yang bernilai kekal. "Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi." (Luk 16:9). Uang memang tidak bisa dibawa mati, tetapi uang yang kita investasikan dengan bijaksana dapat berdampak positif bahkan setelah kita mati.
Kedua, kita harus memberi dengan bijaksana dan hati-hati. John Wesley mengatakan, "Dapatkan sebanyak-banyaknya, simpan sebanyak-banyaknya, berikan sebanyak-banyaknya." Ada orang memberi karena hasrat ingin beramal atau mendapat sanjungan. Ia merasa puas disebut orang yang murah hati atau filantropis. Pemberian yang sembarangan tidak akan bermanfaat apa-apa selain hanya membuat hati senang pemberinya.Oleh karena itu, kita harus bijaksana dalam memberi: kepada siapa, untuk tujuan apa, kapan waktunya dan bagaimana memberikannya. Melayani dengan memberi punya banyak tujuan: menyebarkan Injil, mendukung gereja, menolong yang miskin atau sakit dan tujuan lain. Tujuan utamanya adalah menyatakan kehadiran kerajaan Allah di atas bumi.
Ketiga, kita harus siap sedia berkorban harta jika Allah menghendaki. Ini sepertinya berlebihan tetapi jika harta membuat kita kurang mengasihi Allah maka ia telah menjadi jerat bagi kita. Tuhan Yesus memberi perintah kepada orang muda yang kaya untuk menjual seluruh hartanya oleh karena ia lebih terikat kepada hartanya daripada kepada Allah. C. S. Lewis mengatakan, "Berilah sampai engkau merasa sakit." Dalam anggapan dunia, uang yang ada pada kita adalah milik yang dapat digunakan sekehendak kita. Alkitab memandangnya berbeda. Uang itu adalah kepunyaan Allah yang dipercayakan kepada kita untuk digunakan bagi kemuliaan-Nya (1Taw 29:14, juga ay.11). *** BSB.