Penderitaan itu tidak netral
Tidak ada penderitaan yang netral. Yang dimaksud adalah ketika Anda menderita, Anda tidak hanya mengalami penderitaan itu tetapi Anda juga mengalami cara atau jalan dari penderitaan itu. Kita tidak pernah menghadapi penderitaan dengan tangan hampa. Bersama dengan kita ada sekarung pengalaman, harapan, asumsi, perspektif, kehendak, keinginan dan keputusan. Jadi, hidup kita tidak hanya dibentuk oleh apa yang kita alami di dalam penderitaan tetapi oleh apa yang kita bawa ke dalam penderitaan. Apa yang Anda pikirkan tentang diri sendiri, kehidupan, Allah dan sesama sangat memengaruhi cara pikir, interaksi dan respon kita terhadap kesulitan yang kita hadapi. Dua orang yang mengalami penderitaan yang sama tidak akan menderita secara sama. Berat ringannya penderitaan lebih ditentukan oleh apa yang ada dalam hati Anda daripada apa yang dialami oleh tubuh Anda atau apa yang terjadi di dalam dunia sekitar Anda.
Ada beberapa hal yang bisa memperburuk keadaan seseorang ketika ia menderita.
Pertama, pandangan teologi yang salah. Entah sadar atau tidak, setiap orang hidup dalam pandangan teologi atau world-view tertentu yang menjadi kacamatanya dalam menafsirkan pengalaman hidup. Saya akan memberikan satu contoh konkret bagaimana pandangan teologi yang keliru bisa memperburuk penderitaan. Dalam Rm 8:28 dikatakan, "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah." Ayat ini sering disalahtafsirkan sebagai janji bahwa apapun keburukan yang Anda alami, pada akhirnya akan menjadi kebaikan. Happy ending! Jika penderitaan terus berlanjut tanpa tanda-tanda happy ending, maka Anda akan menyalahkan Allah. Padahal yang dimaksud dengan "kebaikan" dalam konteks ini adalah penebusan atau keselamatan. Ketika segala sesuatu dalam hidup kita atau sekitar kita hancur, tidak ada suatu kuasa apapun yang dapat merusak atau merebut jaminan keselamatan yang diberikan Allah.
Kedua, meragukan Allah. Penderitaan punya kuasa yang luar biasa besar untuk mengungkap apa yang ada di dalam diri Anda. Ia menyingkap natur sesungguhnya dari hubungan dan persekutuan Anda dengan Allah. Penderitaan akan semakin terasa berat jika Anda mempertanyakan kehadiran, janji, kebaikan atau kesetiaan Allah. Anda membuat kesimpulan bahwa Allah itu tidak baik dan tidak dapat dipercayai.
Ketiga, harapan yang tidak realistis. Ada hal yang berkaitan dengan harapan yang tidak realistis: pertama, harapan bahwa keadaan akan tetap sama. Bahwa tubuh kita akan tetap sehat, rezeki akan terus lancar, hubungan dengan sesama akan terus baik, dsb. Kenyataannya, perubahan adalah realita hidup. Tidak ada yang tidak berubah di dalam dunia ini. Dalam Rm 8:21, Paulus mengatakan bahwa kita hidup dalam "perbudakan kebinasaan" yang mana kehancuran adalah kenyataan. Yang kedua adalah kekurangpeduliaan kita kepada keadaan dunia yang sudah rusak. Rm 8:22 mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia yang "mengeluh." Jika kita tidak mau menyadari keadaan dunia yang "mengeluh" itu, maka kita akan hidup dengan harapan yang naif. Kita tidak akan siap menghadapi kesulitan yang menghampiri dan rentan jatuh ke dalam pencobaan yang menghadang.
Keempat, harapan yang tidak realistis akan orang lain. Jangan lupa bahwa orang di sekitar kita adalah orang berdosa, bahkan sekalipun Anda dikelilingi saudara seiman. Setiap kita berhadapan dengan kesalahpahaman, konflik, luka dan penolakan. Tidaklah realistis mengharapkan rasa damai dari orang lain. Jangan berharap dari manusia perihal apa yang hanya dapat dilakukan oleh Tuhan Yesus. Penderitaan akan terasa lebih berat lagi ketika kita meninggikan manusia dalam hati kita dan ternyata mereka berlaku tidak sesuai harapan kita.
Kelima, keangkuhan. Yang dimaksud adalah keangkuhan yang lahir dari sikap mengandalkan diri sendiri. Kita bangga akan kesehatan kita, pikiran yang tajam, keterampilan sosial, kemampuan kita berorganisasi, kesuksesan kita, dsb. Akibatnya, timbul kecenderungan membanggakan diri atas apa yang sebenarnya bukan prestasi kita. Kita lupa bahwa kesehatan yang baik—meskipun Anda bergaya hidup sehat--adalah anugerah Tuhan; bahwa kesuksesan itu adalah berkat Tuhan; bahwa kemampuan diri kita adalah karunia dari Tuhan. Jika kestabilan hidup kita terganggu oleh penderitaan, kita menjadi panik dan kaget karena menghadapi kenyataan betapa kecil, lemah dan rentannya diri kita. Kita panik dan kaget karena tidak merasa siap dan sanggup menghadapi disrupsi itu.
Keenam, materialisme. Yang dimaksud materialisme adalah kecenderungan memberi tempat terlalu besar perihal rasa aman dan harapan kita pada hal-hal fisik seperti uang, rumah, usaha, bahkan kesehatan jasmani. Jika Anda mengandalkan hal-hal itu dan ternyata mereka gagal menjamin keamanan Anda, maka Anda akan kehilangan kesejahteraan dan berarti hancurlah kehidupan. Materi diciptakan Tuhan untuk melengkapi kehidupan kita tetapi tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan Tuhan. Materi tidak pernah bisa memberikan atau melakukan apa yang hanya dapat Tuhan lakukan.
Ketujuh, mementingkan diri sendiri. DNA dari dosa adalah mementingkan diri sendiri (2Kor 5:15). Dosa mengakibatkan kita menjadikan diri sebagai pusat dunia. Dosa menyebabkan kita didorong oleh hasrat diri sendiri yang tak pernah habis-habisnya. Kita ingin menempuh jalan sendiri, ingin berkuasa atas hal apapun juga termasuk hal yang di luar kendali kita, ingin orang lain tunduk pada kita. Penderitaan, di sisi lain, menghadapkan kita pada fakta bahwa hidup bukanlah tentang kita tetapi tentang Allah. Bukan tentang kemuliaan kita tetapi kemuliaan-Nya. Bukan tentang kesenangan kita, tetapi kesenangan-Nya. Bukan tentang rancangan kita tetapi rancangan-Nya atas kita. Jika kita adalah pusat hidup dan bisa mengendalikan hidup sepenuhnya, kita tidak akan pernah menderita. Krisis iman terjadi ketika kehendak kita dan kehendak Allah berbenturan. Di dalam pementingan diri, kita tidak bisa melihat adanya hal baik di balik penderitaan sehingga kita memertanyakan apakah Allah yang mengizinkan itu terjadi adalah Allah yang baik. Ketika kita menjadikan diri kita sebagai pusat, maka masalah yang kita hadapi akan menjadi lebih berat. *** (BSB).
sumber: Paul David Tripp, Suffering: Gospel Hope When Life Doesn’t Make Sense, Wheaton: Crossway, 2018.