Pengampunan: bukti mengasihi musuh
Pasca bom bunuh diri yang terjadi di gereja Santa Maria Tak Bercela, pihak gereja mengeluarkan surat pernyataan sikap yang salah satu isinya menyatakan mereka dengan tulus mengampuni para pelaku. Pastor Kepala mengajak seluruh umat Katolik untuk selalu berbuat baik dan ikut memberi pengampunan yang tulus. Ibu dari Aloysius Bayu Rendra Wardhana, koordinator relawan yang meninggal karena menghadang teroris bermotor, berkata bahwa semua orang Kristen, termasuk keluarganya, “selalu dan harus mengasihi” para teroris.
Memang yang menjadi pertanyaan adalah apakah semudah itu mengampuni orang yang sudah melakukan tindakan jahat seperti ini? Jika kita adalah korban atau keluarga korban yang meninggal, bagaimanakah perasaan kita? Dalam kehidupan sehari-hari kita kadangkala bertemu dengan orang-orang yang menyakiti hati kita, mengkhianati kita serta membuat kita sengsara dan menderita. Sebagian dari mereka mungkin adalah orang-orang yang dekat dengan kita seperti orang tua yang menyakiti kita secara verbal maupun fisik, pasangan hidup yang mengkhianati cinta kita dan sebagainya. Bagaimana kita harus bersikap terhadap orang-orang yang kita anggap sebagai “musuh” dalam hidup kita?
Kalau memikirkan itu, pastilah tidak mudah untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Namun Stephen Tong mengingatkan bahwa kasih yang paling besar bukanlah mengasihi yang lebih tinggi, yang sejajar atau yang lebih rendah dari kita, tetapi mengasihi musuh (Pengudusan Emosi, 393). Mengasihi musuh menjadi kasih yang paling sulit dibandingkan mengasihi keluarga, sahabat, tetangga atau orang-orang yang bekerja bersama dengan kita bahkan orang lain yang tidak kita kenal. Ketika kita mengalami kepahitan dan amarah terhadap orang-orang yang sudah menyakiti kita, sulit rasanya mengampuni orang-orang tersebut. Namun sebagai anak-anak Tuhan, sekalipun mungkin sulit, apakah kita dapat mengasihi dan mengampuni musuh-musuh kita? Jikalau bisa dan harus, bagaimana caranya? Berikut ini adalah beberapa hal praktis untuk dilakukan:
Pertama, belajar dari teladan Kristus. Selama hidup di dalam dunia, Kristus sudah memberikan yang terbaik bagi para murid dan orang-orang yang dilayani. Dia menyembuhkan mereka, memberi makan, mengajar bahkan telah membangkitkan orang mati. Bukti kasih Kristus tidak diragukan. Tetapi apakah yang diterima-Nya setelah Ia melakukan semua itu? Pengkhianatan! Orang-orang yang Ia layani berteriak: “Salibkan Dia!” Petrus menyangkal diri-Nya. Para murid yang lain tidak berani menampakkan diri dan seorang murid-Nya menjual Diri-Nya. Walaupun demikian, di atas kayu salib Tuhan Yesus bisa berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Kristus menyadari bahwa karena dosa, mereka menyalibkan Dia dan demi mengalahkan kuasa dosa, Kristus rela mati untuk menebus mereka dan memberikan hidup yang baru bagi mereka yang percaya kepadaNya. Keteladanan Kristus mendorong kita untuk mengampuni mereka yang mengkhianati kita bahkan mau tetap berkorban demi kebaikan mereka.
Kedua, bersedia hidup dipimpin oleh Roh Kudus. Mengampuni orang menjadi hal mustahil jika kita mengandalkan diri sendiri yang cenderung egois. Sebagai orang yang memiliki hidup baru dan telah dimeteraikan oleh Roh Kudus, kita dapat mengampuni asalkan mau dipimpin oleh Roh Kudus. Jika kita mau berserah penuh pada Roh Kudus, maka hidup kita akan menghasilkan buah Roh Kudus: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Tetapi jika kita menolak dipimpin oleh Roh Kudus dan menyerah kepada keinginan daging, maka yang ada ialah perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah dan kedengkian. Hidup dalam kedagingan terus membawa permusuhan tetapi hidup yang dipimpin Roh Kudus memberi kita kasih, kemurahan, kesabaran untuk mau mengampuni orang-orang yang telah menyakiti hati kita.
Ketiga, menghargai karya penebusan Kristus. Sebagai orang percaya, kita ditebus dan diselamatkan oleh Kristus, bukan karena kita orang baik dan tanpa dosa, tetapi karena kasih-Nya yang mau mengampuni segala dosa kita. Karena itulah, kita pun harus mau mengampuni orang lain yang berdosa dengan kita. Perumpamaan tentang pengampunan di dalam Matius 18:21-35 menyatakan bahwa jika kita telah menerima pengampunan maka kita harus mengampuni. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pengampunan yang kita berikan kepada orang menjadi standar pengampunan Allah bagi hidup kita. Dalam Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus mengajarkan kita agar berdoa: “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” Ditegaskan ulang lagi oleh Tuhan Yesus bahwa jika kita mengampuni orang lain, maka Bapa yang di surga akan mengampuni kita juga, tetapi jika tidak maka maka kita pun tidak diampuni. Jelas bahwa orang yang sudah diampuni oleh Allah akan mengerti bahwa anugerah pengampunan tersebut ia juga harus nyatakan bagi orang lain. Jika itu terjadi, orang yang kita ampuni akan dapat merasakan kasih anugerah Tuhan. Tim Lane dan Paul Tripp dalam bukunya Relasi: Kekusutan yang Layak Dihadapi menyatakan: “Yesus dengan jelas berkata bahwa ketidakrelaan untuk mengampuni akan menuntut Anda membayar harga yang kekal! Allah akan memperlakukan Anda sama seperti Anda memperlakukan orang lain. Sebuah penolakan untuk mengampuni merupakan sebuah tanda bahwa Anda belum mengenal pengampunan Allah yang ajaib.” Lanjut Lane dan Tripp menyatakan: “Jika Anda adalah orang yang menerima manfaat dari anugerah Allah yang mahal, Anda akan mempraktikkan anugerah yang mahal dengan orang lain.”
Keempat, menyadari bahwa tidak mengampuni adalah dosa. Terkadang orang yang menyimpan dendam, amarah, kepahitan terhadap orang lain merasa bahwa dia orang yang benar dan tidak berdosa. Alasannya mungkin karena dia menganggap dirinya sebagai korban dari kejahatan yang dilakukan orang lain. Misalnya, istri yang menyimpan kepahitan terhadap suaminya yang berselingkuh atau seorang pengusaha yang membenci dan menyimpan dendam terhadap “mantan” rekan usahanya yang telah menipu dirinya habis-habisan. Namun Firman Tuhan sndiri menyatakan bahwa orang yang menyimpan dendam, kepahitan dan amarah dalam hati telah berbuat dosa di hadapan Tuhan. Dalam Markus 11: 25, Tuhan Yesus berkata: “Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” Jadi jika kita masih menyimpan dendam dan amarah maka Tuhan tidak akan senang karena itu adalah dosa di hadapan-Nya. Supaya mendapat perkenan Allah, kita harus memberi pengampunan.
Kelima, memandang orang lain berdasarkan belas kasihan Kristus. Kita dapat mengampuni orang lain jika kita dapat melihatnya sebagai orang berdosa yang membutuhkan kasih dan pengampunan Allah dan hati kita dipenuhi oleh belas kasihan Kristus. Pengampunan dapat terjadi apabila kita memiliki kasih yang lebih besar daripadakebencian.Kasih Allah kepada dunia lebih besar daripada kebencian-Nya kepada manusia yang berdosa (Yohanes 3:16). Melihat kejahatan manusia yang sedemikian besar, Allah merasa menyesal (Kejadian 6:5-6) tetapi di tengah ‘kepiluan’ hati Allah, “… Nuh mendapat kasih karunia di mana TUHAN” (Kej. 6:8). Ketika kita memandang “musuh” kita sebagai orang yang memerlukan belas kasihan Allah, maka kita dapat mengampuni mereka. Mereka adalah orang berdosa yang membutuhkan belas kasihan Allah.