Penyucian Jemaat Kristus
Pendahuluan
Artikel kita kali ini bersentuhan dengan kisah menarik yang dikenal luas, baik kalangan Kristen mapun non-Kristen, yakni Tuhan Yesus mencuci kaki para murid-Nya. Kisah ini seringkali dipakai sebagai ilustrasi par excellence gaya kepemimpinan servant-leadership (kepemimpinan yang menghamba) yang sangat disukai oleh organisasi profit maupun non-profit yang bergerak dalam pelayanan hospitality (keramahtamahan). Di dalam servant-leadership ini, nilai-nilai luhur seperti ketulusan, rendah hati, serta pelayanan yang penuh kasih diangkat ke permukaan.
Kisah ini juga seringkali dipakai sebagai analogi motif condenscending (penurunan diri) dari Allah yang turun untuk menghampiri manusia yang berdosa. Di dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah Anak turun dari surga, menanggalkan segala kemuliaan surgawi, mengosongkan diri, mengambil rupa sebagai seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Fil. 2:6-7). Tentunya analogi ini tidak sebanding dengan realita pengurbanan kristus dalam kenosis (pengosongan diri) Kristus, karena substansi Pribadi Kristus itu unik dan ada idiosinkratik dalam kategori-Nya sendiri.
Namun mari kita bertanya, apakah memang narasi pencucian kaki para murid hanya dimaksudkan bagi teladan moral tentang servant-leadership saja? Bagi kaum Kristen Liberal dan Karismatik yang lazimnya kurang sabar menelaah kekayaan dan kedalaman Firman Allah, mungkin jawabannya adalah ya. Namun bagi mereka yang sudah mengalami ajaibnya Firman Allah yang penuh hikmat dan kuasa, mereka tidak lagi mau dipuaskan oleh aplikasi Firman sebatas pengajaran moral belaka. Pada kesempatan ini, kita akan bersama-sama melihat bahwa apa yang ingin Yohanes sampaikan adalah analogi pengudusan yang sangat istimewa yang jauh dari kasat mata.
Pencucian Kaki Para Murid dari Perspektif Yohanes
Pertama, di dalam prolog perikop Yohanes 13, Yohanes mengangkat suatu poin penting tentang kesadaran Tuhan Yesus bahwa saat-Nya sudah tiba bagi-Nya untuk kembali kepada Bapa. Karena itu Dia yang sejak semula senantiasa mengasihi milik kepunyaan-Nya, kini semakin intens berketetapan hati untuk mengasihi milik kepunyaan-Nya itu hingga akhir (Yoh. 13:1). Terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia, kurang tepat karena langsung menerjemahkan kata ‘milik kepunyaan-Nya’ (Yun. idious) menjadi ‘murid-murid’. Padahal, di antara para murid ada yang bukan milik kepunyaan Tuhan Yesus. Yohanes 13:2 secara eksplisit menjelaskan bahwa Yudas Iskariot anak Simon dan si Iblis, bapa Yudas, yang telah membisikkan rencana pengkhianatan terhadap Tuhan Yesus dalam hati Yudas, bukanlah milik kepunyaan-Nya. Sehingga hadirin di dalam ruangan perjamuan itu dapat dibagi menjadi dua golongan, dan Tuhan Yesus hanya berkomitmen untuk mengasihi hanya kesebelas murid yang menjadi milik kepunyaan-Nya sampai akhir.
Kedua, Yohanes sekali lagi menggarisbawahi urgensi dalam eksekusi misi Allah dengan mengangkat tiga hal penting, bahwa eksekutor dari misi Allah ini adalah Tuhan Yesus; bahwa kepada Tuhan Yesus telah diserahkan segala sesuatu; dan bahwa setelah misi ini selesai, Tuhan Yesus akan kembali kepada Bapa (Yoh. 13:3). Lalu, apakah misi Tuhan Yesus itu? Penulis surat Ibrani dalam prolog suratnya memaparkan, ‘Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi’ (Ibr. 1:3). Misi Tuhan Yesus sebelum Dia naik ke surga adalah penyucian dosa.
Ketiga, Yohanes mengaitkan langsung peristiwa pencucian kaki para murid dengan urgensi eksekusi misi Tuhan Yesus. Dia bangun (Gk. egeiro) dari meja perjamuan itu dan menanggalkan jubah-Nya, mengambil handuk lenan dan mengikatkan-Nya pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah wadah, dan mulai mencuci dan menyeka kaki para murid (Yoh. 13:4). Urgensi misi Tuhan Yesus tidak dimaksudkan untuk mendirikan warisan kepemimpinan yang ‘memakai hati’ ketimbang ‘memakai tangan besi’. Urgensi misi Tuhan Yesus dimaksudkan untuk mengajarkan para murid tentang konsep pengudusan orang percaya dalam momen justification (pembenaran) yang satu kali untuk selamanya, serta sanctification (pengudusan) yang terus menerus dalam kehidupan orang percaya. Surat Paulus kepada jemaat di Efesus dengan lugas menjelaskan hal ini, ‘Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela (Ef. 5:25-27). Tujuan akhir dari misi Tuhan Yesus datang ke dunia adalah untuk mempersiapkan bagi-Nya mempelai wanita, yakni Gereja-Nya yang kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya.
Keempat, Yohanes mengaitkan pencucian kaki para murid sebagai analogi penyucian yang Tuhan Yesus akan lakukan. Tuhan Yesus berkata kepada Petrus yang menolak dicuci kakinya, ‘Jikala Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku’ (Yoh. 13:8). Dibasuh oleh Tuhan Yesus artinya dibasuh dalam Darah-Nya dan dibersihkan dari segala dosanya, yang dahulu, sekarang, dan yang akan datang. Sama seperti dosa orang Israel yang dihapuskan dosanya oleh darah yang dipercikan di atas Tutup Perdamaian Tabut Perjanjian di hari Penghapusan Dosa, demikian pula, penghapusan dosa jemaat Kristus terjadi ketika Allah Bapa memandang kepada Darah Kristus yang kudus yang tercurah untuk pengampunan dosa.
Kelima, Yohanes melakukan suatu pembedaan antara ‘mandi’ dan ‘membasuh kaki’ (Yoh. 13:10). Ketika seseorang menerima Roh Kristus di dalam hatinya, ia sudah dipermandikan (dibaptis) dalam nama Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus, dan masuk di dalam keluarga Allah. Dia sudah bersih dan tidak perlu ‘mandi lagi’. Yang perlu ia lakukan adalah dicuci kakinya oleh Firman Allah (Ef. 5:26) setelah berjalan-jalan di dunia yang kotor dan ikut menjadi kotor.
Keenam, Yohanes mengukuhkan suatu institusi pengudusan jemaat Kristus melalui teladan pengudusan Kristus. Tuhan Yesus berkata, ‘Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu’ (Yoh. 13:14). Karena Kristus menguduskan para murid dengan Firman-Nya (Yoh. 15:3), maka dengan cara yang sama pula jemaat Kristus diajak untuk ‘saling mencuci kaki’ dengan Firman Allah. Paulus menasihatkan, ‘Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian, dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu’ (Kol. 3:16).
Penutup
Ketika Tuhan Yesus bertelut di hadapan kaki para murid, tidak ada yang tahu bahwa Dia, Sang Mempelai Pria, sedang mempersiapkan bagi-Nya mempelai wanita yang kudus dan tidak bercacat di hadapan-Nya kelak. Tak lama lagi Dia mati disalibkan di atas kayu salib dan akan memandikan mempelai-Nya, dan melalui Roh Kudus-Nya yang bekerja di dalam Gereja-Nya, Tuhan Yesus akan terus melaksanakan proses pengudusan ini hingga akhir. Sudahkah kita sebagai mempelai Kristus mempersembahkan diri kita disucikan oleh Firman Allah yang murni? Sudahkah kita senantiasa menghadirkan perkataan Kristus di dalam segala kekayaan-Nya di dalam hidup kita secara pribadi dan secara gerejawi, di dalam kata dan di dalam sikap perilaku sehari-hari? ** IT